KEGELISAHAN PAMAN BOTEK

1006 Kata
“Paman apa tidak mendengarkah, kalau Nenek sudah meninggal satu tahun yang lalu?” “A-apa …?” Paman Botek tersentak, kaget. Kunci rumah yang dibawa sampai terjatuh. Kedua tangannya bergetar. Seketika raut wajahnya terlihat sangat pucat. Dia melepas kopiah hitam yang dikenakan. Serta mengacak rambut yang memutih. Sejenak dia masih tak percaya. Kemudian, Paman Botek merogoh saku celana, untuk mengeluarkan ponsel type lama. Dia pun berjalan mendekati Sofia, sembari menunjukkan beberapa SMS yang masih masuk. “Ini, semua SMS Bu Syarif masih Paman simpan. Nomer yang kirim pun masih sama,” ujarnya lirih. Lalu menyodorkan ponsel pada Sofia yang masih terpaku. Dia menerima dan segera membaca SMS yang baru terkirim dua hari yang lalu. ‘Dua hari lalu? I-ini aneh banget? Nini ‘kan sudah meninggal? Ke-kenapa ada SMS yang berasal dari nomer HPnya?’ batin Sofia. Tenggorokkan terasa kering dan seolah tersekat. Berulang kali dia berdehem. Untuk mengalihkan perasaan yang mulai aneh. Pandangan kedua mata gadis itu, tak lepas dari layar ponsel milik Paman Botek. “Sebentar Paman! Saya ada bawa HP Nini di tas.” .Sofia  pun turut mengeluarkan sebuah ponsel dari saku tas ransel yang di bawa. Kemudian, dia hidupkan ponsel model tua itu. Gerakan tangannya begitu lincah mencoba mencari ruang pesan. Kali ini, dia semakin tak bisa membohongi perasaannya. Jantung yang berdetak, semakin berdegup kencang. Saat membaca pesan yang sama. Buru-buru dia melihat tanggal kirim yang tertera. Membuat Sofia semakin terperangah. “Sangat tak mungkin,” bisik Sofia hampir tak terdengar. ‘Siapa yang mengirim pesan ini? Padahal aku hampir tak pernah menyentuhnya, kecuali saat mengisi voucher,’ batin Sofia semakin kebingungan. Untuk menutupi situasi yang tiba-tiba menjadi aneh. Membuat gadis itu harus berbohong.  “Eeeh …! Itu sms dari Sofia, Paman. Maaf, Sofia lupa deh sepertinya.” Sofia hanya tak ingin lelaki yang kini berdiri di sebelahnya ketakutan. “Oh! Haduh,  Sofia! Paman sampai takajut (terkejut) mendengarnya. Untunglah kalau SMS itu dari kamu.” “Iya, Paman. Sekali lagi maafin Sofia ya.” “Kada (Tidak) apa-apa, Sofia, “sahutnya tersenyum. Sofia mulai merasa janggal masalah pesan itu. Dia mencoba menebak apa yang sebenarnya telah terjadi.  Siapa sebenarnya pengirim pesan itu? Tanya terus memenuhi otak Sofia. Begitu juga dalam hati. Sofia berusaha bersikap wajar, seolah tak terjadi apa-apa. Dia tidak ingin jika Paman Botek  mengetahui, apa yang telah terjadi. Setelah menaruh tas ransel di atas kursi. Sofia berjalan menyusuri seluruh ruangan. Hingga gadis itu, berhenti sesaat di ruang tengah. Banyak terdapat beberapa  perabotan yang terpajang. Namun, Sofia tertarik melihat sebuah cermin besar, yang hampir seukuran dirinya yang terletak di sisi kiri meja kecil. Bingkai di bagian pinggiran penuh dengan ukiran bunga dan burung. Terlihat indah kesan pertama yang dilihat Sofia. “Papa yang membeli cermin ini, di kota Sampit,” bisik Sofia, seraya tangan kanan mengusap debu yang masih menempel lekat. “Papa dulu menyukai cermin ini, Mama juga. Cuman dulu aku merasa ada yang aneh, kalau pas bercermin di sini. Aku kayak merasa ada orang lain.” Sofia terus memandang ke arah cermin itu. Hingga tak menyadari saat Paman Botek sudah berada di sebelahnya. “Dua hari yang lalu, sudah Paman bersihkan itu cermin,” celetuknya. Raisa langsung menoleh. “Iya, Paman. Masih kelihatan bagus.” “Iya, Sofia. Paman merawat semua barang-barang yang ada di rumah ini.” “Sekali lagi makasih Paman.” Kemudian, Sofia beralih pada sebuah kotak kecil yang terletak di atas meja. Kotak  yang keselurahannya terbuat dari kaca transparan. Ada kain hitam yang menjadi alas sebuah pajangan di dalamnya. Berbentuk balok persegi panjang yang terbuat dari kayu. Tak terlalu besar, hanya seukuran panjang pensil. Berwarna hitam gelap. Gadis manis itu, berdiri cukup lama terus memperhatikan balok hitam itu. Kedua matanya memicing. Saat melihat seperti ada sebuah tulisan yang terdapat pada sisi balok kayu. Walau terlihat samar, akan tetapi Sofia masih bisa melihat. Sebuah tulisan yang aneh menurutnya. Dia pun mengucapkannya perlahan “Sofia hirang?” ucapnya sambil menoleh ke arah Paman Botek. “Maksudnya apa ya ini Paman?” (Hirang = hitam) Lelaki tak menjawab pertanyaan Sofia. Yang ada dia hanya diam dan diam. Sampai Sofia menoleh ke arahnya. Lalu, mengernyikan dahi. .“Waktu kecil, Sofia belum pernah melihat kayu ini, Paman? Trus, apa maksud tulisan itu? Itu nama Sofia ‘kan?” ujarnya penuh tanya. “Iya, Sofia. Mungkin buat kenang-kenangan. Makanya sama Papa kamu di ukir sebuah nama. Yaitu nama kamu,” sahut Paman Botek terlihat aneh. Sofia bisa membaca perubahan pada wajah lelaki itu, yang terlihat gelisah. Tampak Paman Botek menghela napas panjang berulang-ulang.    “Paman, ada yang salah kah?” Lelaki itu hanya melambaikan tangan, seolah mengatakan semua baik-baik saja. “Ayok, Sofia! Kita jalan lurus, ke arah belakang!” ajak Paman Botek buru-buru. “Semua masih terlihat sama, Paman. Masih seperti dulu.” Kemudian, mereka berdua sudah berada di depan dua kamar besar. Yang saling berhadapan. Dulu, Sofia masih ingat betul. Kamar yang berada di sebalah kiri adalah kamar orang tuanya. Sedang kamar yang satunya lagi. Adalah kamar milik Sofia. “Selambu ini masih tetap sama.” “Paman hanya bertugas membersihkan dan menjaga. Bukan untuk mengubahnya, Sofia” “Makasih ya, Paman.” Lelaki itu kini berdiri di depan pintu kamar. “Ini kamar Sofia!” Sofia mendorong pelan pintu yang tak terkunci. Aroma lembab tercium hidung Sofia. Walaupun begitu, kamar ini terlihat sangat bersih. Rapi dan terkesan nyaman. “Itu saklar lampunya!” ujar Paman Botek, seraya menunjuk pada dinding di belakang pintu. Gadis manis itu, menyusuri seluruh kamar. Lalu, duduk di pinggiran ranjang. Sembari menepuk kasur dan bantal. “Besok Paman ke sini lagi. Biar Mamaknya anak-anak bantu Paman membersihkan rumah ini.” “Iya, Paman. Terimakasih.” Kemudian, lelaki itu mengajak Sofia beralih ke kamar yang terletak persis di depan kamarnya. “Ini bekas kamar orang tua Sofia dulu.Masih ingat kah?” “Masih, Paman.” Paman Botek membuka perlahan pintu kamar. Bau pengap langsung menyergap hidung mancung Sofia. “Sofia, kalau mau tidur di sini juga bisa. Sudah Paman bersihkan semuanya, tapi di sini lebih pengap. Sinar matahari tak bisa masuk.” _oOo_
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN