SUARA YANG SERING DIDENGAR

1301 Kata
"Abaaaahhhh! Kenapa, Bah?" Sontak teriakan wanita itu mengundang perhatian Sofia, Eno dan juga Nini Amas. Bergegas mereka beranjak dari tempat duduk, dan menuju kamar. "A-ada apa ini, Bu?" tanya Sofia terlihat cemas. Mereka melihat Ali yang sudah terbaring di lantai dengan memegang dadanya erat. Serta mata panah yang terbuat dari batu kecubung tergeletak tak jauh darinya. Bergegas Sofia dan Eno membantu sang istri mengangkat tubuh lelaki itu ke atas ranjang.  Wajahnya terlihat pucat. Dengan bibir yang terus bergetar, seperti menahan rasa sakitnya. "Abah! ada apa ini?" Lelaki itu, menunjuk ke arah lantai. "Ca-cari lelaki itu, bernama Ansyah. Dia berasal dari pulau laut bagian barat. Kalu saat itu dia orang yang punya kemampuan, pasti banyak orang yang tahu." "Pu-pulau Laut bagian barat?" ulang Sofia. Lelaki itu mengabgguk pelan. Bersamaan Ali memuntahkan darah hitam yang kental. "Abah kenapa ini?" "Sosok itu menyerang aku. Sepertinya bukan sembarang orang yang bisa mengalahkan sosok Sofia di rumah kamu." "Ja-jadi, ulun harus bagaimana Paman?" "Secepatnya kamu cari orang bernama Ansyah itu!" Eno yang mendnegar langsung ikut mendekat. "Maaf, Paman. Ulun ikut menyela. Bukannya kejadian itu udah lama, Paman. Kalau semisal orang itu sudah meninggal kayak apa?" "Pasti ada keluarganya yang meneruskan ilmu orang ini. Kada mungkin keluarganya tanpa seorang penerus." (Kada = tidak) Mereka terdiam.  Sekilas Sofia bisa melihat guratan yang ditulis dengan air, yang masih terlihat. "Ansyah," desis Sofia. "Ya, namanya Ansyah. Aku melihat sekilas, orang tua kamu memang menemuinya." Seketika Sofia meneguk ludahnya. "A-apa pulau laut jauh dari sini, Paman?" "Jauh. Bawa mobil ke sananya." Sofia pun menoleh pada Eno, yang juga melihat ke arahnya. "Bawa pula mata panah itu, untuk kamu tunjukkan pada keluarga Ansyah ini." "Ba-baik, Paman." "Sekarang kalian pulanglah!" Ketiganya pun saling berpandangan. Sebelum mereka beralih dari kamar. Suara Ali terdengar lirih memanggil Sofia. "Sofia!" Sontak langkah gadis itu langsung terhenti. Dia pun menoleh pada lelaki yang terbaring di ranjang. "Berhati-hatilah kamu! Karena dia ingin menggantikan jiwamu dalam ragamu. Dan ini bukan hal main-main." Tak ada kata yang terucap dari Sofia, dalam sekian detik.  "Apa ini memang nyata Paman?" Tiba-tiba Eno mengejutkan dirinya dengan sebuah pertanyaan, yang juga sama dalam benaknya. "Ini semua nyata dan memang ada. Ilmu tua yang sudah banyak ditinggalkan karena aliran hitam dan menyesatkan." "Ta-tapi ... ini semacam apa Paman? Pesugihan kah? Atau, untuk sebuah perjanjian?" lanjut Sofia. "Iya. Lebih tepatnya ada sebuah perjanjian yang terikat di dalam semua kejadian ini, Sofia." Deg! Jantung berdentum keras. Hingga membuat d**a Sofia terasa nyeri dan perih. Sampai sebelah tangan menahan dan menekan agar mengurangi debar di d**a yang semakin kencang. "Kamu kada apa-apa?" Sofia hanya menggeleng.  "Tapi, wajah kamu pucat Sofia," bisik Eno. "Kada apa-apa, En." Ali dan istri ikut prihatin dengan kondisi yang sedang dihadapi Sofia. "Tunggu sebentar Sofia." "Ada apa Paman?" Lelaki itu menyuruh sang istri mengambilkan tasbih, lantas memberikannya pada Sofia. "Jangan lupa berdzikir terus sama Allah. Minta perlindungan padaNYa, mintakan ampunan atas semua kesalahan yang telah diperbuat orang tua kamu. Kita kada tahu apa, tapi setiap manusia memang tempatnya dosa 'kan?" "Iya, Paman." Sofia menarik napas dalam sembari menerima tasbih itu. "Apakah menurut Paman Ali Papa dan Mama terlibat sebuah perjanjian?" "Iya!" "Apakah itu perjanjian dengan makhluk ghoib?" "Iya." "Tapi, kenapa Paman Ali kada tahu apa perjanjian itu?" "Aku takut salah, Sofia. Karena aku juga hanya meraba, bukan tahu dengan pasti. Makanya kamu aku suruh menemui keluarga Ansyah." Kepalanya pun tertunduk dengan wajah yang ditekuk. "Berdoalah, agar semua akan kembali baik. Andai ilmu aku mumpuni, pasti aku akan bantu kamu. Tapi aku juga sadar diri, baru menerawang saja, aku sudah dikalahkannya." "Iya, Paman. Terima kasih atas kebaikan Paman sama Sofia." "Sama-sama. Cepatlah pulang sebelum maghrib kamu harus sampai rumah." Sofia manggut-manggut. Bergegas mereka keluar rumah dan menyusuri jalan yang terbuat dari jembatan kayu menuju perahu klotok yang menunggu.  "Apa yang kamu pikirkan Sofia?" "Entahlah, En. Kepala aku tiba-tiba pusing." Tanpa disadari, Sofia pun mimisan. Buru-buru Eno mengeluarkan tisu dari dalam tas dan membantu Sofia. "Kamu ... kada apa-apa nih?" Sofia kembali menggeleng. Selama di Jawa tidak pernah sekali pun dia mengalami mimisan dan sakit kepala yang terus menyerang seperti ini. "Kayaknya kamu sudah di pengaruhi makhluk itu!" Suara Nini Amas terdengar parau. "Ayo cepetan kita balik perahu!" ajaknya, dengan berjalan mendahului. "Iya, Nini," sahut Eno, sembari menuntun Sofia. "Kamu harus kuat  dan tegar Sofia. Jangan lemah kayak gini. Ingat! Misi dan tugas kamu baru dimulai!" Eno terus mengingatkan dan memberi semangat., "Makasih, Eno." "Hemmmm ...." Perahu mereka mulai bergerak pelan mengarungi  anak sungai. Hingga akhirnya mereka sudah berada di jalur sungai besar, menuju rumah. Sofia masih berusah membersihkan darah dari hidungnya. "Masih pusing?" "Sedikit." "Ini tasbih yang diberikan Paman tadi, buatlah gelang. Sewaktu-waktu bisa kamu buat wiridan." "Iya, Eno." Tasbih itu dipasangkan Eno, yang perhatian pada Sofia.  "Malam ini aku akan temani kamu tidur. Gimana?" "Kada usah. Ada paman sama Acil Mina. Nanti kada enak aku, sama Mamak kamu." "Kenapa kada enak?" Sofia kembali terdiam. Dia hanya mengembuskan napasnya berulang-ulang. "Aku melihat rumah itu, seperti rumah hantu. Rumah yang menyimpan sejuta misteri dan angker untuk warga sekitar. Aku kada mau, Mamak Eno nanti kepikiran yang macam-macam." "Kamu kok bisa tahu pikiran warga sekitar rumah?" "Tahulah! Dari semua kisah, tak ada satu hal yang kada mengerikan. Semuanya menurut aku bikin ngeri." Eno pun tidak bisa memaksa lagi. Memang apa yang dikatakan Sofia benar adanya. Bahkan ada beberapa warga yang memang menghindar untuk melintas di depan rumah itu. Sampai sekarang, biar pun ada Sofia. "Sofia, cermin yang ada di rumah kamu tutupin semuanya sama kain atau kertas. Jangan pernah kamu berkaca di rumah!" tegas Nini Amas tiba-tiba. "Kok gitu, Nini? Bagaimana si Sofia bedakan nanti?" "Kamu baiknya diam saja Eno!" sentak Nini Amas ketus. Seketika bibir Eno maju beberapa inchi. Dia terlihat cemberut dan kesal dengan sikap Nini Amas. "Apa yang dibilang Nini itu benar, Eno. Pertama kali datang ke rumah saja aku sudah melihat hal ganjil dari cermin yang ada di ruang tengah." "Memangnya ... apa yang kamu lihat?" Eno semakin penasaran. "Ayolah ceritakan!" "Wajahnya memang mirip sama aku, Eno. Bahkan semuanya, sama persis. Kada ada yang beda. Dari rambut, baju, tangan, pokoknya semua. Cuman dia itu bukan aku! Bayangan di cermin itu bukan aku yang sebenarnya!" Seketika Eno merasakan bulu kuduknya merinding. Berulang kali dia mengusap pelan. Sembari merapatkan pegangannya pada Sofia. "Dan kamu masih berani tinggal di rumah itu?" "Kada ada pilihan lain 'kan?" Eno tak bisa menjawab. "Aku harus segera menjual rumah itu, biar urusan aku di sini kelar, Eno." Eno menatap wajah Sofia yang sedikit pucat. Bahkan keringat yang membasahi wajahnya, tampak berwarna merah. Ujung jari mengusap buliran keringat di dahi Sofia. "I-ini ... keringat kamu darah, Sofia?" Seraya memeprlihatkan pada gadis itu. Pandangan Sofia tak lepas dari ujung jari Eno. "A-apa kamu masih pusing?" "Ma-masih." Suara Sofia terdengar pelan. Tampaknya tenaga Sofia kayak habis terkuras. Dia mulai merasakan mata yang berkunang-kunang, sampai akhirnya tubuh Sofia ambruk di pangkuan Eno. Membuat gadis berambut ikal sebahu itu panik. Dengan cepat dia mengguncang pundak Sofia. "Nini! Kenapa ini Sofia?" teriak Eno, cemas. Sampai mmebuat Mamang tukang perahu pun menoleh dan ikut bingung. "Paman buruan aja klotoknya biar sampai rumah!" tegas Eno. "Ba-baik." Tampak Nini Amas mengambil minyak urut dari kelapa asli, yang selalu dia bawa ke mana-mana. Lalu menggosok kedua tangan Sofia yang snagat dingin. Memijatnya pelan-pelan. "Berikan dia minum!" "I-iya, Ni." Eno kelabakan mmencari air mineral di dalam tas Sofia.  "Alhamdulillah ada." "Tuh, percikkan airnya ke wajah Sofia!" "Baik, Ni." Mereka berdua berusaha membuat agar Sofia cepat siuman. Berulang kali Eno menepuk lembut pipi Sofia kanan kiri. Sedangkan Nini Amas masih berusaha dengan memijat jempol Sofia. "Sofia, bangun Nak!" Samar gadis itu mendengar seseorang memanggil namanya. Seperti suara yang dulu sering dia dengar. "Sayangku, bangun Nak!" "Ehhhh ...." Sofia menggeliat bahkan sampai menghentakkan kaki, sampai membuat perahu ikut oleng sebentar oleh gerakannya. "Sofia ... Sofia, sadar!" teriak Eno yang tambah panik dan cemas. _00_
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN