Lelaki yang usianya tak beda jauh dari sang istri, melongok ke dalam. Dia melihat Nini Amas langsung tersenyum.
"Sudah lama kah Ni?"
"Barusan saja. Ini ... ada apalagi, Nini?" Pertanyaan penuh keheranan. "Apa masih berhubungan dengan masalah dulu itu?" Sembari lelaki itu duduk di lantai bersama mereka.
"Iya, Pak Ali." Seraya melihat pada Sofia. "Ini Sofia, anak yang punya rumah kosong itu."
"Ohhh ...."
Ali menatap sekilas pada Sofia, yang mengangguk padanya.
"Terus ada apalagi ini Nini?"
"Cobalah kamu cerita sama Paman Ali."
"Ehhh ... begini Paman. Ulun nih baru saja datang di sini, niatnya menjual rumah. Soalnya ulun udah bermukim di Jawa. Usaha pun di Jawa pula. Kada mungkin ulun tinggal di sini lagi. Cuman baru beberapa hari ulun tinggal di rumah, banyak kejadian yang aneh. Kada bisa diterima akal ulun." (Ulun = saya, kada = tidak)
"Aneh yang kayak apa itu?"
Sofia mulai menceritakan kejadian di cermin, pesan dan telpon yang masuk di Paman Botek dan juga Alam. Lalu, dia juga menceritakn beberapa foto yang terlihat aneh menurut Sofia, hingga melihat dengan mata kepala sendiri bayangan sosok gadis yang selalu menghantui.
"Siapa sabujurnya sosok itu Paman? Banyak kejadian di masa lalu yang baru dikisah, termasuk kematian orang tua ulun." Suara Sofia lirih, dengan wajah yang tertunduk. Membuat Nini Amas dan Eno terperanjat. Karena pada akhirnya Sofia bisa tahu tentang peristiwa pahit yang menimpa keluarganya. (Sabujurnya = sebenarnya)
"Ternyata ... masih berhubungan dengan peristiwa Irul." Suara Ali seraya berbisik. Tampak lelaki itu pun menarik napas panjang.
"Apa ... Sofia sudah tahu peristiwa kematian Irul?"
Seketika Sofia menggeleng.
"Ulun hanya tahu sebagian kisahnya. Kalau soal kematian Irul, masih belum Paman."
Kemudian, lelaki itu menoleh pada Nini Amas. "Boleh ulun mengisahkannya?"
"Boleh."
"Irul mati karena ketakutannya sendiri, yang selalu dihantui oleh sosok yang menyerupai anak pemilik rumah kosong itu. Mungkin saja menyerupai Sofia."
"Ketakutannya snediri? Bukannya orang dikampung mengira kalau Nini Amaslah yang membuat Irul mati. Karena selalu mengurungnya di kamar Paman?" tanya Eno menyela.
Lelaki itu menggeleng cepat.
"Nini hanya ingin menyelamatkan anaknya. Yang selalu ingin ke rumah itu, atas undangan ... ehhh, SOFIA."
Raut wajah Sofia pias seketika.
"Sofiaaa," desis Sofia.
"Iya,. Sosok itu menamakan seperti nama kamu."
"Lalu ... apa yang terjadi saat itu? Kenapa Paman kada membantunya? Kenapa Irul sampai meninggal?" Sofia terus mencecar dengan banyak pertanyaan.
"Semua itu memang sudah takdir Sofia. Saat itu Paman sudah berusaha untuk menghalangi sosok itu agar menjauh dari Irul. Memang untuk beberapa saat berhasil, teryata aku salah. Sosok itu sudah merasuki alam bawah sadar Irul."
Mereka terdiam, sekian detik.
"Irul menikam dirinya sendiri. Sebelum kehabisan darah, dia masih sempat menuliskan nama SOFIA di dinding kamar. Dan ... yang aneh, alat untuk menikam dirinya berupa gulungan kertas. Darah yang menetes dari badannya, hanya terlihat seperti keringat yang bercucuran. Bahkan tulisan di tembok kamar, bukanlah merah darah. Lebih mirip air yang diusapkan."
"Lalu, yang melihat itu berupa darah siapa?"
"Aku, Sofia. Hanya aku sendiri yang melihatnya seperti itu."
Sofia menarik napas panjang.
"Dia mempermainkan pikiran kita, Paman?"
"Kamu benar. Bahkan hampir tiap malam, Nini Amas mendatangi rumah itu. Karena dia selalu mendengar suara jerit tangis Irul dari rumah kamu. Hampir satu tahun Nini Amas seperti itu. Makanya orang-orang kampung menganggap dia gila. Padahal kada."
"Apa sekarang Nini sudah kada bisa mendengar jeritan itu lagi?"
Kali ini, perhatian mereka tertuju pada wanita tua itu. Dia tak langsung menjawab.
"Sudah lama aku kada mendengarnya lagi. Cuman, satu minggu sebelum kedatangan kamu. Aku selalu melihat dia lagi, yang dulu sering aku lihat. Berdiri di balik jendela, sama persis kayak kamu."
"Ke-kenapa Nini bisa melihat wajahnya? Ujar Paman Botek, wajah Sofia kada kelihatan." Suara Sofia tegas dengan terus memandang ke arahnya.
Segera Ali menyahut,
"Sebelum kematian Irul, memang sosok itu tak berwajah. Tampaknya itu lah yang menjadi alasan dia mengejar Irul."
"Menghisap jiwa atau apa Paman?"
"Paman pun tak paham soal ini, Sofia. Yang jelas dia seperti mempunyai wajah untuk sosoknya."
Sofia teringat bagaimana bayangan itu muncul sebagai dirinya di cermin. Lalu, di kamar orang tuanya. Terkadang sekelebat bayangan yang melintas, seolah ingin menunjukkan kehadiarannya pada Sofia.
"Sekarang, dia seolah ingin menjadi diri aku, Paman. Dari pesan lewat Hp ke pacar ulun, itu menunjukkannya."
"Makanya kamu harus berhati-hati sekali Sofia. Karena Paman yakin dia juga penyebab kematian orang tua kamu."
Kemudian Sofia menyodorkan benda yang dibungkus oleh kain hitam. Yang semalam dia gali di halaman belakang.
"Coba Paman lihat ini!"
Lelaki itu terpaku sesaat. Tatap matanya terus mengarah pada benda berbentuk mata panah berwarna hitam. Dia mengambil dan membuka pembungkusnya. Lalu menjumput dengan dua ujung jari, terangkat hingga sejajar pandangan mata.
"Ini kayak terbuat dari batu kecubung hitam. Sebagian orang kadang mengisi dengan hal yang mistis batu macam ini. Untuk penangkal dari makhluk lain yang ingin mengganggu."
Tampak Sofia, Eno manggut-manggut dengan penjelasannya. Tak lama, istri Ali keluar membawakan kue dan minuman.
"Ayo, Nini. Diminum dulu kopinya."
"Makasih."
"Ayo, silakan diminum dulu. Sambil diicip wadainya. Hanya pisang goreng aja ini." (Wadai = kue)
Sejenak pembicaraan serius mereka terputus. Eno yang merasa lapar langsung melahap pisang goreng hangat di hadapannya. Sofia hanya menyeruput teh hangat yang aromanya sangat wangi.
"Paman, apa benda itu memang dipakai untuk melindungi dari makhluk ghoib yang jahat?" Sofia kembali meneruskan pembicaraan mereka.
"Benar sekali. Ini, punya orang tua kamu?"
"Iya, Paman. Baru ulun ambil semalam di halaman belakang. Dulu, mendiang Kai Bahrun yang memendamnya di situ."
Tampak Ali manggut-manggut. Dia masih menimang benda kecil itu.
"Bagaimana kalau kita lihat? Dari mana asal benda ini. Biar Sofia tahu, harus memulai dari mana."
"Wahhhh, Sofia sangat senang kalau Paman Ali bisa melakukannya."
"Silakan kalian nikmati dulu hidangan yang ada. Aku mau lihat benda ini dulu."
Ali pun beranjak dan meninggalkan mereka. Dia masuk kamar, mengambil suatu tempat semacam mangkok dari perak, dengan ukiran kanan kiri bunga teratai. Lalu menuangkan air putih, memasukkan beras kuning, benang hitam dan kembang mawar yang sudah kering.
Kemudian dia duduk bersila dan meletakkan tempat perak itu di depannya. Dia mengaduk dengan ujung jari pelan-pelan. Lalu mengambil batu kecubung hitam itu, dan memasukkan ke dalam air. Tampak bibirnya bergerak-gerak, seperti membaca sesuatu.
Sesaat dia melihat air berubah warna menjadi hitam. Membuat Ali menarik napas dalam-dalam, dengan mata yang terpejam.
Dalam bayangan dia, Ali melihat sebuah peristiwa yang sudah terjadi di masa lalu. Sepasang suami istri yang tengah duduk bersila di hadapan seorang lelaki tua. Lalu lelaki itu, memberikan batu ini untuk dijadikan liontin.
"Dari arah barat," desis Ali. "Lelaki pemberi batu ini, dari arah barat." Ulangnya lagi.
Kepalanya sedikit bergerak-gerak, dengan alis yang hampir bertaut. Sepertinya lelaki ini, tengah mengeluarkan tenaga untuk mencari tahu. Tangannya terus bergerak mengaduk mangkok perak itu.
Sampai akhirnya dia menuliskan sebuah nama di lantai kayu ulin, ANSYAH.
"Ansyah?" desis Ali berulang-ulang. Hingga matanya terbuka perlahan. "Ansyah nama lelaki yang memberikan batu itu. Dia berasal dari kota kecil yang dekat laut. Sepertinya aku tahu di mana itu."
Segera Ali mengambil lagi batu kecubung hitam. Saay hendak keluar kamar, dia merasakan d**a yang tiba-tiba sangat sakit. Seperti diremas-remas oleh sesuatu yang tajam. Nyeri dan perih.
"Aaaarghhh!"
Dia tak sanggup untuk menahan kesakitannya.
"Aaarghhh, Riiin!"
"Iya, Abah. Ada apa?" Suara sang istri dari ruang tamu. Langkahnya terdengar memasuki kamar. Begitu melihat sang suami yang tergeletak di lantai dengan memegang dadanya. Spontan Rini berteriak.
"Abaaaahhhh! Kenapa, Bah?"
Sontak teriakan wanita itu mengundang perhatian Sofia, Eno dan juga Nini Amas. Bergegas mereka beranjak dari tempat duduk, dan menuju kamar.
"A-ada apa ini, Bu?" tanya Sofia terlihat cemas.
_00_