MENUJU RUMAH BAPAK ALI

1033 Kata
"Ehhh! Tunggu dulu, Sofia!" Walau tampak keberatan dan enggan bercakap dengan Eno lebih lama, tetap Saja Sofia menunggu. Dia terus menatap Eno, yang berlari kecil menghampiri. "A-aku ... boleh ikut?" Ucapan Eno membuat Sofia terbelalak dengan dahi ikut berkerut-kerut. "Apa kada salah dengar aku?" (Kada = tidak) Eno langsung menggeleng. "Aku di rumah kada ngapa-ngapain. Kali aja kamu butuh teman. Swear deh, aku kada akan bilang siapa pun juga nah." Seketika Sofia memindai dari kepala hingga ujung kaki. "Kamu ... masih belum mandi? Mau ikut pakai babydol kayak gitu?" Dengan pandangan yang tajam mengarah pada Eno. "Emang harus mandi dan style gitu?" Sofia langsung mencebik. 'Ternyata, dia ini jauh lebih ngeyel dari aku,' batin Sofia. 'Sebenarnya sih lumayan juga nah ada kawan.' "Mandilaah sana! Aku tungguin!" seru Sofia. "Serius, aku boleh ikutan?"  "Asalkan kamu enggak bocor kayak ban motor." "Sreeeetttt!" Seraya tangannya beregarak mengarah pada mulutnya. Seperti gerakan mengunci. "Aku kalau udah bilang janji, kada bakalan kamu nambal ban deh," ucap Eno terkekeh. "Nambal ban?" "Yah, artinya aku kada bakalan bilang siapa pun. Termasuk Mamak aku, Sof." "Ya udah cepetan mandinya. Aku beri waktu lima menit. Toleransi lima menit." "Oke, jadi sepuluh menit lah. Tungguin aku!" Sambil berlari dan berteriak, meninggalkan Sofia yang mengulum senyum. Dia tergelak melihat tingkah Eno. Tampak Sofia menunggu Eno, di pinggiran sungai kecil yang berada tidak jauh dari rumahnya. Dia duduk di sebuah batu besar. Sesekali pandangannya melihat ke arah rumah Eno. "Tujuh menit ... kurang tiga menit lagi. Aku kada bisa tungguin kamu lagi, Eno. Maaf, kalau kamu nanti aku tinggal," gumam Sofia.  Tiba-tiba, dari arah belokan jalan. Seseorang meneriaki dirinya dan Sofia hapal betul pemilik suara itu. "Nini Amas ...? Ternyata dia juga sudah nungguin aku," ujar Sofia berbisik. Sekilas dia melirik ponselnya. "Kamu sudah melewati batas toleransi aku, Eno. Jadi, aku harus tinggalin kamu!" Tanpa ragu lagi, Sofia langsung bergegas meninggalkan tempat dia duduk.  "Ayo, cepat lah! Si Mamang sudah nungguin kita." "Mamang siapa, Nini?" "Tukang klotok." (Klotok = perahu pakai mesin) Dua menit berselang. Lamat-lamat Sofia kembali mendengar suara yang berteriak memanggil namanya. Sambil terus berjalan menyusuri jembatan, Sofia menoleh ke belakang. Terlihat olehnya Eno yang melambai tinggi ke arahnya. "Tungguin!" Sofia terkekeh, langkahnya pun terus berjalan tanpa menunggu Eno yang berlari kencang. Hingga menimbulkan suara berisik dari kayu yang terinjak. Hingga Eno berhasil mendekati dirinya. Kini, dia hanya berjarak satu langkah di belakang. Sofia bisa mendengar embusan napas yang terengah-engah. Sesekali dia menoleh sedikit ke arah Eno. Yang masih mengatur napasnya. "Sorry, Sofia. Mamak aku banyak tanya macam-macam. Dia kira aku janjian sama cowok, bahkan aku diantarnya sampai jalan. Makanya aku telat, soalnya harus muter dulu." "Oke." "Cuman gitu aja jawabnya?" Sofia mengernyit heran. "Terus? Harus jawab kek mana lagi?" Seketika Eno menyeringai lebar, sambil garuk-garuk kepala. "Nah itu klotoknya," ujar Nini Amas. Lalu dia memandang ke arah Eno. "Nah, ngapain kamu ikut ke sini?" "Ulun handak ikut, Nini." "Kamu 'kan anak si Yuni." "I-iya, Nini." Seketika dia menarik lengan Sofia seraya berbisik, "Dia bisa dipercaya kada?" "Insyaallah bisa, Nini." Namun, dari riak yang terpampang di wajahnya. Bibi Amas tak begitu menyukai kehadiran Eno. "Ayo, naik semuanya." Seorang lelaki dengan usia sekitaran lima puluh, mulai menjalankan perahunya. Membelah sungai yang masih penuh dengan beberapa pohon rumbia. "Jauhkah ini, Paman?" tanya Sofia. "Satu jam lah kurang lebih. Kalau mau ditungguin, tambah lagi lah ongkosnya." "Ohhh, kalau itu pasti lah Paman. Nanti Sofia beri tambahan lagi." Tak banyak pembicaraan yang terjadi di atas kapal itu. Mereka seperti lebih menikmati pemandangan yang masih hijau dan asri. "Apa masih banyak buaya di sini, Paman?" "Masih ada kadang-kadang. Kata orang-orang pun, di sungai ini masih ada juga buaya putih," ujar lelaki itu. "Buaya  ... putih?" ulang Sofia, sambil menoleh pada Eno. "Itu macam siluman Sof, Kata orang-orang sih kayak begitu," sahut Eno. "Nah, bujur itu!" seru sang lelaki. _Satu jam berlalu_ Klotok pun sampai di sebuah jembatan menuju sebuah kampung. "Aku tungguin di sini!" "Baik, Paman. Kita naik dulu ke darat," sahut Sofia. Mereka bertiga segera turun dan kembali menyusuri jembatan yang terbuat dari kayu galam. "Ini masih jauh kita berjalan, Ni?"  "Kada juga, Sofia. Semoga orangnya ada di rumah. Kada lagi menjala ikan." "Iya, Ni." Kemudian, Eno menarik lengan Sofia. "Ini ke rumah siapa sabujurnya?" (Sabujurnya = sebenarnya) "Nanti kamu tahu sendiri. Cuman, pegang omongan kamu tadi. Jangan bilang siapa pun juga!" tegas Sofia. "Iya, aku janji. Kayaknya ini benar-benar rahasia. Padahal kamu kada boleh berhubungan sama Nini Amas lagi 'kan?" "Iya. Paman Botek kurang menyukainya. Karena apa, En?" Gadis itu mengangkat kedua bahunya. "Mungkin berhubungan dengan kematian Irul dulu." "Hemmm ... pasti ada hal yang membuat Paman kada suka nIni Amas. Aku akan tanya sama dia nanti." Tak jauh dari mereka, terlihat Nini Amas berhenti di depan sebuah rumah. Ada beberapa anak kecil yang sedang bermain di teras yang terbuat dari kayu ulin. Perkampungan yang berdiri di atas sungai itu, hampir semua rumahnya terbuat dari kayu ulin dan galam.  Pandangan Sofia mnegitari beberapa rumah yang ada di sekitaran mereka berdiri.  "Ada Pak Ali di rumah anak-anak?" tanya Nini Amas, mendekati beberapa anak kecil. Seorang anak langsung menunjuk ke arah  dalam rumah. "Panggilkan bisa kah?" Segera bocah lelaki  berlari masuk rumah, sambil berteriak, "Mamaaaak! Ada yang cariin Abah nah." "Si-siapa?"   Seorang wanita dengan usia perkiraan lima puluh tahun, keluar rumah. Dia pun berdiri di teras, dengan memandang ke arah mereka bertiga. "Nini cari siapa?" "Cari Pak Ali. Adakah orangnya?" "Abah belum pulang, Nini. Cuman bentar aja kok. Lagi ke darat beli beras sama minyak. Kada bakalan lama." Sofia dan Eno pun mengikuti langkah Nini Amas yang masuk dan duduk di lantai beralaskan tikar pandan. "Nini dari mana?" "Kita ini dari seberang hulu. Ada keperluan penting sekali, ingin bertemu sama Pak Ali." "Ohhh ... ditunggu aja kalau begitu, Ni. Ulun buatkan kopi apa teh?" "Kopi pahit aja. Kada tahu nih mereka berdua." Sofia yang sungkan, lebih memilih teh hangat. Tak seberapa lama terdengar suara motor yang berhenti di depan rumah. "Abaaaah ... ada tamu," teriak bocah lelaki tadi. Lelaki yang usianya tak beda jauh dari sang istri, melongok ke dalam. Dia melihat Nini Amas langsung tersenyum. "Sudah lama kah Ni?" "Barusan saja. Ini ... ada apalagi, Nini?" Pertanyaan penuh keheranan. "Apa masih berhubungan dengan masalah dulu itu?" _00_
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN