Beberapa orang ibu-ibu langsung mengurus ke rumah sakit. Sedangkan sebagian lagi merawat Hasbi yang syok berat. Dan masih belum bisa diajak bicara sama sekali. Tampak Botek mengikuti beberapa warga yang menuju ke rumah sakit.
"Ini tadi kenapa Paman?" salah seorang warga bertanya. Namun, Botek hanya bisa menggeleng. Karena dia sendiri tidak mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi.
"Aku juga kada tahu," sahut Botek, terisak.
"Telponlah Bu Syarif di Jawa. Kasihan anti Sofia kalau keadaannya kayak gini."
"Iya, Paman. Bener apa yang dibilang Bu RT. Jangan sampai Sofia tahu hal ini."
Sejak itu semua masukan yang dianggap baik, diterapkan oleh Botek dan istri. Mereka pun sudah sepakat dan berjanji pada Bu Syarif untuk tak menceritakan semuanya.
**
Tangis Sofia kembali terdengar. Dia tidak menyangka jika kejadian yang menimpa keluarganya akan seperti ini.
"Apa Mama langsung meninggal?"
"Dua hari setelah perawatan di rumah sakit. Bu Lidia meninggal. Hanya selisih tiga hari, Pak Hasbi pun meninggal dengan penyakit yang sama lagi. Muntah darah."
"Apa ... Papa terkena benda itu lagi?"
Botek menggeleng.
"Kada ada yang tahu, Sofia. Kita membawanya ke rumah sakit."
Sofia pun terdiam. Dia mengusap air matanya, dan turun dari ranjang.
"Mau ke mana kamu?"
"Tolong Paman bantu ulun cari benda itu!"
"Ta-tapi, Sof? Ini tuh sudah malam." Mina berusaha untuk menghentikan, akan tetapi gadis itu semakin bersikeras. Dia abaikan larangan MIna.
"Paman kada usah ikut mencangkul. Tunjukkan saja sama Sofia. Di mana letaknya benda itu di pendam."
Keduanya tak bisa mengelak atau menolak kemauan Sofia. Mereka sangat paham betul sikap yang dimilki oleh gadis manis itu.
Tak lama, Paman Botek sudah membawa cangkul. Langkahnya cepat mengikuti Sofia yang lebih dahulu menuju arah pintu belakang, yang diikuti oleh Mina.
Kini, ketiganya telah berada di teras belakang. Sengaja Paman Botek, memindahkan lampu untuk menerangi mereka.
"Di mana Bah tempatnya? Masih ingatkah?" tanya sang istri resah. Apalagi melihat raut wajah Sofia yang sudah tidak sabar. Terlihat kusut, berantakan.
"Di batu ini, Mina. Memang sengaja mendiang Kai Bahrun meletakkan batu itu sebagai tanda."
Sofia berpaling padanya.
"Sebagai tanda? Apa mungkin mendiang Kai Bahrun tahu kalau suatu saat kita akan mencari benda itu?"
"Mungkin saja begitu, Sofia. Paman pun baru terpikir sekarang ini. Saat kamu ajak cari benda itu. Kalau memang niat di pendam biasa, kada mungkin lah dipakai batu. Iya kan?"
Segera Botek mencangkul tanah yang berada di sekitaran batu. Tampak Sofia memindahkan batu seukuran kepala manusia. Sesekali terdengar suara burung hantu yang bertengger di sekitaran pepohonan.
"Apa dalam kah, Paman?"
"Kayaknya kada sampai setengah meter, Sofia."
"Mungkin Paman bisa lebarkan lagi cangkulnya. Siapa tahu batu ini, kegeser Paman."
"Nah, bener juga Bah, yang dibilang Sofia," sahut Mina.
Setelah mencangkul di sekitaran batu. Mata Sofia seperti menangkap kain hitam yang berbungkus plastik.
"Itu, Paman!" teriak Sofia keras.
"Ehhh ... iya, Sof!"
Segera mereka bertiga berjongkok, dan Sofia mengambil bungkusan itu. Dalam pikirannya, besok akan dia bawa ke orang pintar, tempat Nini Amas.
"Mau kamu simpan?"
"Iya, Paman. Apa ada masalah kah?"
Lelaki itu menggeleng.
"Kalau begitu, biar ulun simpan."
Paman Botek hanya manggut-manggut, sambil menyeka keringat yang membasahi wajahnya. Kemudian, mereka kembali masuk rumah.
Sofia langsung menuju kamar. Dia mencoba membuka bungkusan plastik dan kain hitam. Sejenak pandangannya terfokus pada benda berwarna hitam pekat. Sofia mencoba meletakkan di tengah telapak tangan. Lalu, mengayunkan sejenak.
"Cukup ringan," desis Sofia.
Dari ambang pintu, Botek beserta sang istri terus memperhatikannya. Hingga Sofia menoleh ke arah mereka.
"Besok, Sofia mau ke pergi ke Ban, Paman."
"Biar Paman antar."
Sofia langsung menggeleng..
"Kada usah, Paman Botek. Sofia udah besar. Bisa pergi sendiri."
"Kalau pergi ke Bank ... berarti kada lama 'kan ya?" tanya Mina, cemas.
"Kada bisa janji ulun, Cil. Soalnya Sofia juga ingin jalan-jalan."
Mina mendongak ke arah suami, yang mengangguk pelan.
"Yang penting Sofia hati-hati ya."
"Iya, Acil."
Mereka berdua meninggalkan Sofia seorang diri. Gadis itu pun kembali mengambil buku diary sang mama. Memasukkan benda aneh ke dalam buku tersebut.
Saat tanpa sengaja membuka lembaran diary. Dia kembali melihat sebuah tulisan dari sang Mama. Yang terlihat seperti sebuah pesan.
*
Mungkin semua nantinya akan menyalahkan kami. Tapi, kami merasa bahagia, sudah memiliki putri kami tercinta.
Saat ini, biarlah aku yang akan berkorban. Kamu harus tetap hidup dan berjuang anakku!
Jika suatu saat kamu membaca buku ini, berarti Mama sudah tiada. Ingatlah, kamu harus menjadi wanita yang tegar, kuat, dan berani. Hancurkan semua penghalang yang membuat kamu menderita, Sofia.
_Salam sayang dan cinta_
Papa dan Mama
*
"A-apa maksud Mama menulis ini?"
Seraya menerawang langit-langit kamarnya, hingga Sofia pun terlelap, dengan mendekap buku di d**a.
Hingga pagi pun menjelang. Sofia yang terbangun saat adzan Shubuh, bergegas keluar kamar. Dia mencium bau masakan yang lezat. Buru-buru langkahnya menuju dapur.
"Acil jam segini udah masak?"
"Iya, Sofia. Soalnya habis ini, Acil pulang dulu."
"Berarti pas Sofia pergi, Acil belum di sini?"
"Belum kayaknya. Mungkin jam sembilan. Abah ajak bersih-bersih rumah. 'kan besok ada teman-teman Sofia."
Senyum lebar mengembang di wajah cantik Sofia. Seraya dia memluk Acil Mina dari belakang.
"Makasih atas semuanya ya, Cil."
"Untuk apa?"
"Sudah baik sama Sofia dan rumah ini."
Wanita itu berbalik, memandang wajah Sofia.
"Kami seperti ini, atas kebaikan yang telah ditanam orang tua serta Nini kamu. Kami hanya membalas sedikit kebaikan mereka."
Tiba-tiba, Paman Botek sudah berdiri di dekat meja makan.
"Kamu ... akan berangkat jam berapa?"
"Jam tujuh, Paman."
"Kunci pagar sama rumahnya, jangan lupa!"
"Baik, Paman."
Setelah selesai masak dan menyiapkan segalanya untuk Sofia. Mereka pun segera pergi meninggalkan rumah. Setelah selesai mandi dan sholat Shubuh. Segera Sofia berdandan seadanya. Hanya memoles bedak tipis dan mengenakan lipstik warna nude.
Tepat pukul enam pagi, Sofia bergegas pergi keluar rumah, seraya mencangklong tas bertali panjang, ukuran sedang. Setelah mengunci pagar, dan memasukkan ke dalam tas. Langkahnya bergerak cepat menuju rumah NIni Amas. Namun belum sampai dia berbelok. Sebuah suara nyaring memanggilnya.
"Sof ... Sofia!"
Sontak panggilan itu menghentikan langkahnya. Sembari berbalik, Sofia melihat Eno yang sudah berdiri di belakang tak jauh darinya.
"Mau ke mana?"
Sofia tak langsung menjawab. Antara enggan dan ragu, takut bila dia akan sampaikan pada Paman BOtek atau Mamanya.
"Ditanya kok malah diam. Mau ke mana pagi-pagi gini?"
"Ada urusan penting."
"Aku enggak boleh tahu?"
Sofia menggeleng cepat.
"Udahan dulu ya. Aku mau berangkat. Tolong jangan bilang siapa-siapa."
"Ehhh! Tunggu dulu, Sofia!"
Eno berlari kecil menghampiri.
"A-aku ... boleh ikut?"
_00_