TABRAKAN YANG MENGENASKAN

1411 Kata
"Mana tadi yang kamu lihat? Aku kada melihat aapa pun juga di foto ini?" sahut Lidia, sembari mendongak pada Botek, yang ikut bingung. "Mana, Ma?" Hasbiansyah meminta untuk melihat foto tersebut. Segera Lidia memberikannya. "Ini, Pa! Coba Papa lihat!" "Maksud kamu yang aneh itu, mana?" Seraya melihat ke arah Botek, yang terlihat tegang. "Coba Pak Hasbi lihat bayangan hitam yang ada di belakang Sofia dan Bu Lidia!" Mereka berdua turut memperhatikan apa yang disampaikan oleh Botek.  Lalu keduanya saling berpandangan. "Perasaaan Mama, waktu naruh ini di tembok. Enggak ada bayangan kek gini, Pa?" "Iya, Ma. Papa masih ingat juga kok. Apa mungkin kotor?" "Bukan, Pak Hasbi. Ini memang ada bayangan hitam aneh." Tampak mimik wajah Hasbi, seketika berubah. Dia melempar jauh pandangannya ke luar pintu. Seperti ada yang sedang dipikirkan. Lidia pun menangkap keresahan suaminya. Dia meremat kuat pergelangan tangan Hasbi. "Mungkinkah ... ada hubungan dengan kejadian Papa tadi?" "Aku juga kada tahu nah, Lidia." Dalam waktu sekian detik, suasana kamar hening sejenak. Hanya terdengar embusan napas mereka yang kian berpacu dengan kejaran waktu. "Tadi ... Kai Bahrun ada bilang sama saya." Suara Botek terdengar lirih.  "Memangnya dia bilang apa?" Lidia memandang tajam pada Botek, yang tegang. "Kamu kok tegang kayak gitu? Ada apa Botek?" cecar Lidia penasaran.  "Ujar Kai Bahrun, ini ada hubungan  sama perjanjian dengan makhluk halus. Yang pakai perantara." Sontak kalimat itu membuat Hasbni dan Lidia terbelalak. "Ma-maksudnya apa?" "Ulun juga kada tahu, Pak Hasbi. Dua hari lagi, ulun di suruh datang ke rumahnya." "Kalau gitu kita juga ke sana, Lidia. Barengan kita bertiga." Lidia yang masih terlihat pias. Hanya mengangguk lemah. Tak bisa dia pungkiri, apa yang disampaikan oleh Botek, membuatnya berpikir. "Bisa kamu keluar kamar dulu, Botek?!" "Bisa, Bu Lidia." Botek pun keluar kamar sesuai permintaan Lidia. Dia sendiri tidak pernah tahu apa yang mereka bicarakan kala itu. ** Hingga pandangan mata nanar Botek, mengitari kamar Sofia.  Lelaki tua itu menarik napas dalam-dalam. Seolah berusaha mengingat apa yang terjadi selanjutnya.  "Jadi, Paman jugaa kada tahu kah apa yang di bicarakan Papa sama Mama?" "Aku kada pernah tahu sampai sekarang. Mungkin mereka membicarakan soal kejadian yang hanya mereka berdua yang tahu." "Lantas, setelah dua hari. Apa Paman sama Papa dan Mama jadi ke rumah Kai Bahrun?" "Jadi. Cuman, kita bertiga harus kecewa." Manik mata Sofia bergetar. Dia tahu pasti ada sesuatu yang tengah terjadi masa itu. "A-ada apa Paman?" "Saat kita datang, malam itu. Sudah banyak orang-orang yang turun dari masjid ke rumah Kai Bahrun. Kita mengira di rumahnya ada acara pengajian. Ternyata kita semua salah!" "Sa-salah? Memangnya kenapa Paman?" "Ternyata di rumah Kai Bahrun lagi ada acara tahlilan. Kita yang kada bisa msuk rumah, menunggu di luar, sampai acara selesai. Cuman beberapa kali, Paman waktu itu, mendengar nama Kai Bahrun disebutkan lengkap.  Hanya saja kita kada berpikir kalau yang meninggal ternyata Kai Bahrun," ucap Paman Botek lirih. Sontak Sofia terperanjat. Kedua matanya mendelik dengan mulut terbuka lebar. "Ja-jadi, Kai Bharun meninggal?" "Iya. Dan saat itu kami benar-benar syok. Setelah istrinya bekisah, kalau kematian Kai Bahrun satu hari sebelumnya." "Berarti, saat dia bilang akan mengajak komunikasi makhluk itu Paman?" Botek manggut-manggut.  "Memangnya apa kata istri Kai Bahrun waktu itu?" Sejenak pandangan Botek menerawang jauh. Seakan dia mencoba mengingat kembali semua yang terjadi kala itu. Sambil terpejam, dia kembali bercerita. "Kata istri Kai. Waktu malam di atas jam dua belas, Kai duduk di lantai. Dengan air putih di depannya. Ada beras kuning sama mawar merah. Belum sampai satu jam, beras kuning yang dtaburkan di sekitaran Kai, tiba-tiba berwarna merah. Banyak tetesan darah yang mengelilingi Kai." "Lalu, Paman?" "Yah, hanya berselang beberapa detik, badan Kai Bahrun ambruk. Di beberapa bagian pergelangan tangan. Kayak ada luka yang terus mengalir darah." "Luka? Tanpa ada orang lain yang ada di sekitaran itu?" "Iya, Sofia. Hanya ada Kai Bahrun sama istrinya, yang sesekali mengintip dari luar." "Menurut istrinya itu luka apa Paman?" "Kayak cakaran kuku sangat tajam. Berjumlah lima lubang yang cukup dalam." Sofia makin terhenyak dengan mata yang membulat lebar. "Jadi, memang ada yang menyerang Kai Bahrun?" "Pastinya Sofia. Malam itu setelah bincang sebentar, kita langsung pulang. Selama dalam perjalanan kada ada yang ngomong. Semua diam, termasuk aku." "Kira-kira apa yang sedang dipikirkan sama Papa dan Mama, Paman?" Sontak Botek menggeleng. "Jangan ada yang disembunyikan lagi dari ulun, Paman. Karena pada akhirnya Sofia juga akan tahu. Ulun kada akan tinggal diam, melihat semuanya ini Paman!" "Maafkan Paman Sofia." Seraya lelaki itu tertunduk. "Sekarang di mana benda kecil yang di tanam di belakang? Apa masih di sana? Atau, sudah ada yang mengambilnya?" "Sepertinya masih di belakang sana." "Sofia akan mengambilnya." Raut wajah Botek dan istri memucat. Tampak kecemasan menggelayut di wajah pasangan suami istri itu. "Ka-kamu ... jangan bertindak gegabah, Sofia!" "Bukan gegabah, Paman. Sofia ingin menyelesaikan semua ini. Ulun sangat yakin, kalau benda kecil itu bisa memberikan petunjuk." (Ulun - saya) Tak bisa lagi Botek dan Mina mendebat atau menentang kemauan Sofia. Bila gadis itu sudah menginginkan sesuatu, dia akan terus bersikeras. "Sekarang coba Paman ceritakan ulang dan detil peristiwa yang menimpa, Mama. Sofia Insyaallah sudah kuat." "Kenapa harus detil Sofia? Cukup itu saja Paman beritahukan sama kamu." Sofia menggeleng kuat. Dia ingin Botek untuk mengikuti apa yang diminta olehnya. "Ceritakan semuanya Paman!" Sekilas sang istri melirik pada Botek. Dengan anggukan pelan, yang memberi isyarat agar Botek menceritakan semua. "Sore menjelang Maghrib, Paman dengar suara klakson mobil." ** Tin tin! Dari arah dalam rumah, terdengar suara Sofia yang terus menangis. Tampak Mina sampai kewalahan menghadapinya, begitu juga dengan Botek. Gadis kecil itu terus meraung tanpa sebab. Begitu mendengar suara bel mobil, Sofia kecil berlari ke arah luar, yang langsung dibuntuti oleh Botek dan istri. "Mama ... Mama!" Sofia terus berteriak seraya memanggil sang mama. Saat langkah kaki mendekati arah pintu yang terbuka lebar. Tiba-tiba, tanpa ada sebab apa pun juga. Braaaaakkk! Pintu utama serta jendela rumah tertutup kencang dengan sendirinya. Bersamaan dengan suara nyaring yang berasal dari arah luar, yang disertai teriakan keras. Serta suara sesuatu yang berdecit dan menghantam pagar. Braaakkk! Blaaarrr! Tin tin tin tin tin! "Apa itu, Baaahhh?!" teriak Mina kencang. Dengan cepat dia menyambar tubuh Sofia yang terduduk meraung di lantai. Segera Botek membuka pintu rumah dan bergegas keluar. Namun, seketika langkahnya terhenti. Gerakannya begitu cepat, menarik lengan sang istri untuk kembali ke dalam rumah. "Ajak Sofia pergi dari sini. Bawa dia masuk ke kamar. Terserah mau kamu kasihkan permen, snack, atau apa pun yang biasanya dilarang sama Mamanya. Pokoknya buat dia betah di dalam." "I-iya, Abah. Ta-tapi, i-itu mobil Pak Hasbi kenapa, Bah?" "Minaaa!!! Masuk ke dalam rumah sekarang!" sentak Botek dengan suara menggelegar. Tanpa ada protes sama sekali, Mina pun mengikuti semua perkataan sang suami. Dia berjalan cepat kembali ke dalam kamar. Tanpa peduli tangisan Sofia yang terus meraung. Dengan tergesa-gesa, Botek menutup kembali pintu rumah. Dia merasakan kedua lututnya yang skeetika lemas. Saat pandangan matanya nanar, melihat tubuh Lidia yang terhimpit antara kap mobil depan dan tembok pagar. Belum lagi, besi pagar yang patah, menusuk bagian pinggang wanita cantik itu.  Masih segar dalam ingatan Botek. Saat itu, Hasbi hanya bisa ternganga dengan melotot melihat kejadian yang sangat cepat. Saat Botek tersadar. Dia berlari kencang menuju mobil di mana Hasbi duduk. "Bapak! Pak Hasbi mundurkan mobilnya!" teriak Botek. Namun, tampaknya lelaki berparas tampan itu, tak bisa mendengar atau diajak bicara dalam kondisi seperti sekarang. Dia terlihat linglung karena syok berat. Hanya terdengar desis suaranya, yang terus memanggil Lidia. "Lidia ... Lidiaaa!" Segera Botek pun mengeluarkan tubuh Hasbi dari dalam mobil.  Bersusah payah dia menarik tubuh Hasbi yang cukup berat baginya. Setelah berhasil, Botek memundurkan mobil. Dalam detik yang sama, tubuh Lidia langsung ambruk. Hanya berselang sekian menit. Para warga mulai berdatangan. Mereka yang melihat kondisi Lidia langsung menjerit dan syok. Beberapa warga mengambil inisiatif untuk sgeera membawa Lidia, yang berlumuran darah. Tidak ada seorang pun yang berani bertanya pada Hasbi. Beberapa orang ibu-ibu langsung mengurus ke rumah sakit. Sedangkan sebagian lagi merawat Hasbi yang syok berat. Dan masih belum bisa diajak bicara sama sekali. Tampak Botek mengikuti beberapa warga yang menuju ke rumah sakit. "Ini tadi kenapa Paman?" salah seorang warga bertanya. Namun, Botek hanya bisa menggeleng. Karena dia sendiri tidak mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi. "Aku juga kada tahu," sahut Botek, terisak. "Telponlah Bu Syarif di Jawa. Kasihan anti Sofia kalau keadaannya kayak gini." "Iya, Paman. Bener apa yang dibilang Bu RT. Jangan sampai Sofia tahu hal ini." Sejak itu semua masukan yang dianggap baik, diterapkan oleh Botek dan istri. Mereka pun sudah sepakat dan berjanji pada Bu Syarif untuk tak menceritakan semuanya. _00_   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN