"Husssst! Jangan pernah bicara kayak gitu lagi, Sofia. Bukannya tadi kamu sudah janji sama Paman?"
Gadis itu kembali menangis dan memluk lebih erat tubuh Acil Mina.
"Maafkan, Sofia! Maafkan Sofia, Paman! Ulun kada setegar bayangan Paman sama Acil," ucapnya lirih.
"Wajar semuanya ini Sofia. Apalagi kenyataan ini baru kamu ketahui setelah sekian lama. Setelah Bu Syarif sudah meninggal. Tolong, maafkan mereka semua, termasuk aku dan bini Paman juga. Sudah menyimpan bertahun-tahun rahasia ini."
Sofia mengangguk pelan.
"Sofia minta tolong sama Paman, untuk ceritakan semuanya. Termasuk apa yang dibilang Kai itu, waktu sama Mama di kamar."
"Mama kamu kada mengisahkan sama Paman soal ini, Sofia. Hanya saja, waktu itu pas Paman mengantarkan pulang Kai Bahrun. Dia pernah bilang sesuatu."
"Apa itu Paman?"
**
Dalam perjalanan mengantarkan pulang Kai Bahrun. Botek segera mengeluarkan mobil. Dia pun mempersilakan lelaki tua itu untuk masuk mobil.
"Silakan, Kai!"
Lelaki itu sempat mengusap keringatnya yang membasahi wajah dan pakaiannya.
"Haaaahhh!" Dia mengembuskan napas panjang dan terlihat sangat lelah. "Aku menguburkan benda kecil di belakang rumah ini. Benda itu yang mengakibatkan Pak Hasbi sakit sampai muntah darah."
"Benda kecil itu berapa apa, Kai?" (Kai = kakek)
"Seperti ujung tombak yang sekecil ruas jari kelingking. Warnanya kehitaman. Entah Pak Hasbi dapat dari mana benda seperti itu."
"Jadi bukan semacam teluh, Kai?"
Lelaki itu langsung menggeleng.
"Bukan! Memang benda itu jadi semacam pagar yang dipakai Pak Hasbi selama ini. Hanya saja, ada makhluk lain yang berbuat jahat atau curang, yang memang ingin mencelakai dia. Mungkin juga keluarganya yang lain. Anak juga istrinya."
"Ta-tapi ... kenapa bisa kayak itu, Kai?"
"Sepertinya Pak Hasbi dan istri terlibat perjanjian dengan seseorang sebagai perantaranya."
Botek pun sampai mengerutkan dahinya.
"Ulun makin kada paham, Kai?" (ulun = saya, kada = tidak)
"Jadi Pak Hasbi ini kayaknya mendatangi orang pintar atau yang mampu berkomunikasi dengan makhluk halus. Orang ini perantara Pak Hasbi dan istri mengenal sosok itu."
"Sosok yang ada di benda tadi?"
"Sepertinya bukan! Karena benda itu hanya sebagai pagar pelindung saja buat badannya Pak Hasbi."
"Lalu, apa Kai?"
"Tadi aku sempat mencoba untuk komunikasi dengan sosok makhluk ini. Hanya saja dia terus menghindar. Sepertinya dia memang tidak mau berkomunikasi dengan kita."
Pandangan matanya masih tertuju pada lelaki tua itu.
"Ayo dijalankan mobilnya. Aku ingin sampai rumah. Yang jelas makhluk ini sangat jahat. JIka apa yang dia inginkan tidak sesuai, maka dia tidak segan untuk menteror dan membuat kacau, semuanya."
"Ba-baik, Kai. Apa kita bisa menghilangkannya?"
"Hanya si perantara ini yang bisa. Atau seseorang yang mempunyai ilmu sama, bisa saja muridnya. Bisa juga anak turunnya. Karena ilmu ini hitam dan sesat."
Bagai disambar petir di siang bolong, Botek berulang kali meneguk ludah hanya sekedar membasahi tenggorokan yang kering. Dia tidak menyangka kalau sampai majikannya berhubungan atau mempunyai seorang teman yang memiliki ilmu hitam.
"Apa Kai tahu, tujuan dari majikan saya melakukan ini?"
"Mereka memiliki sebuah keinginan yang saat itu, belum tercapai."
"A-apa?"
"Aku kada bisa mengatakan semuanya. Tolong kamu pikirkan sendiri! Dua hari lagi, tolong datang ke rumah saya. Karena rumah Pak Hasbi itu harusnya dibersihkan. Banyak sekali yang tertanam di sana. Mungkin seseorang ini yang melakukannya."
"Seseorang?"
"Iya, semua atas ijin pemilik rumah."
Mendengar penjelasan dari lelaki tua itu, membuat Botek semakin terhenyak. Dia merasakan hati yang semakin gundah saat mendnegar hal ini.
'Apa yang telah dilakukan Pak Hasbi? Apa yang membuat mereka seperti ini?' batin Botek, membuat dirinya bertambah penasaran.
"Andai pemilik ilmu ini sudah meninggal dan tak memiliki murid atau sanak saudara, kira-kira bagaimana Kai?"
"Orang yang punya ilmu lebih tinggi dari seseorang itu."
Kembali terdengar embusan napas berat Botek. Akan sangat sulit menemukan seseorang itu. Apalagi cerita ini hanya sepenggal.
"Cuman, Kai. Apa kita kada sulit mencarinya?"
"Besok malam, aku akan coba komunikasi sama orangnya ini. Dia kayaknya masih hidup. "
"Kai bisa tahu lah?"
"Dari benda yang aku berikan sama Bu Lidia. Getaran benda itu, aku masih bisa merasakannya."
"Baiklah kalau begitu, Kai. Ulun lusa datang ke rumah Pian."
Kai Bahrun hanya manggut-manggut. Dia pun masih meraba-raba apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarga Hasbiansyah ini.
"Sosok jahat ini, akan terus mengikuti sampai ke anaknya. Kalau kamu sampai rumah nanti. Coba perhatikan di foto mereka. Apa ada tanda khusus yang terlihat aneh."
"Tanda khusus itu yang kayak apa nah, Kai?"
"Pokoknya yang kada lazim aja kita malihatnya nah."
Botek pun manggut-manggut. Seolah mengerti apa yang dikatakan lelaki tua ini. Dia pun ingin segera sampai di rumah Hasbi, hanya untuk sekedar mellihat tanda yang dikatakan oleh Kai Bahrun
_Satu jam berlalu_
Mobil sudah kembali memasuki halaman rumah Hasbiansyah. Tampak para tetangga sudah pulang ke rumah masing-masing. Hanya satu dua orang yang masih duduk di teras menunggunya.
"Belum pulang, Pak RT?" sapa Botek.
"Belum. Aku kasihan sama bini kamu, sama Bu Lidia. Kalau udah ada kamu gini, biar kita balik dulu."
"Makasih banyak ya, Pak RT."
"Sama-sama."
Tak lama Mina menghambur ke arahnya. Dia terlihat senang dengan kedatangan sang suami.
"Gimana, Sofia? Sudah tidur kah?"
"Sudah dari tadi."
"Pak Hasbi sama Bu Lidia?"
"Itu Bu Lidia masih di dapur. Minta aku gorengin telur, buat Pak Hasbi katanya."
"Ohhh, berarti Pak Hasbi udah bangun kah?"
Mina mengangguk pelan. Dia mengikuti langkah sang suami yang menuju kamar Hasbiansyah. Botek bisa melihat lelaki berparas tampan dan berkulit kuning bersih itu, duduk dengan bersandar pada tatakan ranjang.
Hasbi melirik sekilas pada Botek yang berdiri di ambang pintu.
"Masuklah!" ajak Hasbi.
Tanpa menolak, Botek pun masuk kamar dan duduk di ranjang. Dia memijat kaki Hasbi pelan. Pandangan matanya terus mengitari kamar, hingga akhirnya tertuju pada sebuah foto di dinding.
Tanpa bicara sepatah kata. Botek bangkit dari ranjang dan berjalan menuju foto yang diberi pigura dari kayu berwarna coklat tua.
"Ada apa, Botek?"
"Kada apa-apa, Pak. Cuma ingin malihat foto ini aja."
Perlahan dia mengambil foto itu. Memegang dengan kedua tangan, dan memandangnya dengan sorot mata tajam tanpa jeda. Sembari terus memperhatikan hal sekecil apa pun, yang terdapat di dalamnya.
Dalam penglihatan Botek saat itu. Dia memang melihat sebuah bayangan hitam yang ebrada di belakang mereka bertiga. Tepatnya di belakang Sofia. Ujung jari Botek, sengajak menggosok bayangan hitam yang terlihat jelas. Sampai membuat Hasbi penasaran.
"Apa yang kamu lihat?"
"Ehhhh ... kada, Pak. Hanya foto ini kayak ada yang aneh."
"Aneh bagaimana, Botek?"
Tiba-tiba Lidia sudah menyela apa yang baru dia katakan.
"Coba Bu Lidia lihat juga ini!"
Botek pun menghampiri wanita cantik itu. Seraya menyodorkan foto ikuran tanggung itu padanya.
"Mana tadi yang kamu lihat? Aku kada melihat aapa pun juga di foto ini?" sahut Lidia, sembari mendongak pada Botek, yang ikut bingung.
"Mana, Ma?"
Hasbiansyah meminta untuk melihat foto tersebut. Segera Lidia memberikannya.
"Ini, Pa! Coba Papa lihat!"
"Maksud kamu yang aneh itu, mana?" Seraya melihat ke arah Botek, yang terlihat tegang.
"Coba Pak Hasbi lihat bayangan hitam yang ada di belakang Sofia dan Bu Lidia!"
_00_