"Haaahhh! Si-siapa ... tadi yang berdiri di situ?"
Bukan semakin mundur, Nini Amas malah bertekad memasuki rumah Sofia. Sekilas dia melihat bayangan Irul yang berdiri di depan cermin.
"Irul! Irul anakku ...!"
Bergegas Nini Amas berlari mengejar, hingga langkahnya terhenti di ruang tengah. Dia masih bisa melihat sosok anaknya yang baru saja meninggal. Dia pun melihat, sosok Irul yang berlumuran darah. Sama persis seperti penggambaran yang dikatakan oleh Pak Ali.
Sejenak Nini Amas mengamatinya. Sampai sosok Irul beralih memandang ke arahnya.
"Ma-mak ... Mamak!"
Suara Irul terdengar parau dan terbawa angin. Hanya samar-samar Nini Amas dapat mendengarnya.
"Irul, kamu kenapa Nak? Kenapa badan kamu sampai penuh darah kayak gitu?"
Gerak pelan Irul berbalik arah menghadap Nini Amas. Wanita itu terhenyak . Saat melihat di tangan Irul memegang sebilah belati berwarna putih. Seukuran dengan gulungan kertas kalender yang dia temukan di atas kasurnya.
"Lepaskan pisau itu, Nak! Jangan kamu gunakan itu!" Suara Nini Amas terdengar bergetar. Sampai kedua matanya berkaca-kaca. Tanpa terasa air mata sudah membasahi pipi wanita itu
Namun sepertinya sosok Irul tak menggubris apa yang dikatakan oleh sang ibu. Dia terus berjalan mendekat. Hingga dalam jarak dua meter saling berhadapan.
Tangan kanan Irul mulai terangkat ke atas. Membuat Nini Amas terpaku dan hanya bisa memandang tanpa berkata-kata. Wajah Irul pun telrihat pucat, tanpa ekspresi sama sekali. Pandangannya terlihat kosong dan hampa. Dengan dua bola mata yang memutih pucat.
"Mak! Lihat aku, Mamak!"
Gerakan Irul begitu cepat mengayunkan belati itu ke dadanya berulang kali. Membuat Nini Amas melotot dengan mulut yang terbuka lebar. Dia terhenyak menyaksikan anak satu-satunya melakukan hal ini di depan mata.
Belum selesai juga, Irul masih meneruskan aksinya. Dia menyayat dua pegelangan tangan berulang-ulang. Nini Amas bisa melihat darah segar menetes dari tangan sang anak.
"Irul ... Iruuuul! Jangan, Naaaak!" teriak Nini Amas di malam yang hening. "Jangan Rul ... jangaaaan!"
Tubuh wanita itu terjerembab, hingga terhempas di lantai yang dingin. Hingga dia merasakan guncangan pada pundaknya.
"Bangun! Bangun!"
Perlahan kedua matanya mengerjap pelan. Dia mencoba membuka mata, dan sungguh terlejut saat melihat Botek sudah berjongkok di hadapannya.
"Kenapa kamu bisa ada di sini?"
"Kamu?"
"Iya, ini aku. Kenapa kamu bisa-bisanya membuka pintu pagar sama rumah?"
"Bu-bukan aku."
"Kalau bukan kamu, terus siapaaa?" bentak Botek kesal.
Lamat-lamat tersdengar suara adzan Shubuh. Tanpa menjawab pertanyaan Botek, Amas berusaha untuk bangkit dari lantai. Dia berjalan sempoyongan dengan tubuh yang terasa dingin. Sesekali, Amas menoleh ke arah dalam, tepatnya di ruang tengah.
Di mana Irul berdiri dan memperlihatkan kejadian yang membuat hatinya terasa perih. Sakit dan sedih, dia merasakan penderitaan yang bertubi dalam hidupnya. Kematian sang suami dan anak.
**
"Jadi, apakah Nini hampir tiap malam ke rumahku?"
"Iya, Sofia. Sampai Paman Botek kesal sama aku. Dia anggap semua yang aku ceritakan mengada-ada. Dan ... aku dikira sinting, karena kematian anakku."
"Semua warga beranggapan sama?"
Nini Amas mengangguk pelan.
"Sampai akhirnya mereka juga takut sama aku. Karena aku selalu bilang bisa melihat sosok lain di rumah kosong itu."
Sofia dan Eno hanya bisa terdiam mendengarkan kisah Nini Amas yang pilu.
"Tunggulah sebentar!"
Wanita tua itu masuk ke rumah. Sofia hanya memperhatikan langkah kakinya yang diseret. Wanita itu telah terlihat tua, dalam kehidupannya yang sendiri.
"Mau ambil apa si Nini itu, Sof?"
"Kada tau juga aku. Kita lihat aja."
Tak lama langkahnya yang diseret kembali terdengar. Lalu, dia mengulurkan tangan yang membawa bungkusan plastik putih.
"Ambillah! Ini tasbih yang semula akan diberikan buat suami aku. Hanya saja itu terjatuh di lantai rumah Abah Saipul."
"Ohhh, ini tasbihnya?"
"Iya, Sofia."
"Apa beliau masih hidup?"
"Sudah meninggal." Pandangannya tertuju pada Sofia. "Apa, Paman Botek sudah menceritakan semuanya?"
"Iya, Nini. Paman sudah ceritakan semua. Kecuali kematian Irul dan juga tentang Nini yang sering datang ke rumah."
Wanita itu hanya manggut-manggut.
"Tasbih ini sudah terputus dari talinya. Dalam setiap butirannya, terdapat doa. Kalau ada makhluk itu mengganggu kamu, bacakan sholawat lalu lempar ke arah jin yang mengganggu."
"Baiklah, Nini. Terima kasih banyak."
"Pulanglah! Jangan sampai lelaki itu mencari kamu di rumah ini!"
Segera Sofia dan Eno meninggalkan rumah Nini Amas.
"Apa yang akan kamu bilang sama Paman Botek?"
"Entah!"
"Ini udah sore soalnya. Pasti Paman kamu akan bertanya-tanya terus."
Sofia pun mengangguk, seraya membenarkan apa yang dibilang oleh Eno.
"Boleh aku minta tolong?"
"Apa, Sof?"
"Ikut ke rumah seolah kita sedang pergi berdua. Kamu bilang ajak aku ke mall, atau ke mana."
"Beres sih kalau soal itu."
Keduanya berjalan memasuki halaman. Tampak di teras Mina dan Botek terlihat senang begitu melihat Sofia bersama Eno.
"Ya, Allah Sofiaaaa! Ke mana aja kamu sampai jam segini baru pulang?" tanya Acil Mina menghampirinya.
"Maafkan Sofia, Acil. Tadi di tengah jalan ketemu Eno, terus aku ajak jalan sekalian."
"Iya, Acil Mina. Tadi ulun ajak Sofia ke mall. Kita jalan-jalan."
"Ya sudahlah kalau begitu. Yang terpenting kalian selamat. Ayo makan dulu, udah Acil buatin masakan."
"Makasih, Acil."
Sekilas Sofia melihat Paman Botek yang tampak marah padanya. Gadis itu menghentikan langkah, dan berdiri di depan lelaki tua itu.
"Apa ... Paman marah?"
"Sedikit."
Sofia menarik kursi yang tak jauh, agar lebih mendekat pada lelaki tua itu.
"Sekali lagi Sofia minta maaf Paman."
"Sudah aku maafkan. Kamu dari mana?"
"Tadi Sofia kan sudah bilang?"
"Paman melihat kalian datangnya dari arah belokan. Apa kalian naik jukung ke kota?" (Jukung = perahu tanpa mesin)
Sontak Sofia terdiam.
"Kenapa kada jawab? Atau ... jangan-jangan kalian bukannya ke kota. Tapi ke tempat lain. Benar kada?"
Sofia terlihat kelabakan dengan pertanyaan Paman Botek. Membuat Sofia kebingungan untuk menjawab.
"Ulun ini hanya ingin tahu kota kalau lewat sungai Paman. Mumpung lagi jalan sama Eno. Apa memangnya itu kada boleh?"
"Siapa bilang kada boleh? Cuman Paman kada suka kalau sampai kamu bohong."
"Kada, Paman! Mana pernah Sofia bohong."
Botek tampaknya percaya dengan semua yang dijelaskan oleh Sofia. Hingga dia menyuruh Sofia dan Eno untuk masuk rumah.
"Ayo makan dulu! Pastinya lapar 'kan?"
"Iya, nih Cil."
"Ini panggangan haruan sama sambal kacak. Pasti enyoss ini," celetuk Mina. (Haruan = ikan gabus, sambal kacak = mirip sambal matah)
Buru-buru Sofia dan Eno menyantap hidangan yang terlihat lezat.
"Sof, untung kada ketahuan. Kalau iya, bakalan parah kamu."
"Tadi, aku sudah ingin bilang. Tapi masihnya aku tahan jua."
Tampak Mina meninggalkan mereka menyusul sang suami di teras depan. Sofia dan Eno begitu menikmati hidangan sampai habis, tanpa sisa. Dalam waktu yang bersamaan. Ada suara pintu berderit. Seketika Eno menoleh, dan melihat pintu kamar orang tua Sofia terbuka perlahan.
Lahhh, kenapa pintu kamar itu, Sofia?" Eno menunjuk ke arah ruang tengah. Tepatnya berhadapan dengan kamar Sofia.
"Kamar ... orang tua kamu?"
"Iya," sahut Sofia.
"A-apa kamu kada dengar? Kayak pintu yang kebuka pelan."
"Dengar!"
Jawaban Sofia membuat penglihatan Eno membulat lebar.
"Kamu apa kada kaget?"
"Kada! Udah biasa yang kayak itu."
"Ta-tapi ... pintu itu kayak buka tutup, Sofia."
_00_