"A-apa kamu kada dengar? Kayak pintu yang kebuka pelan."
"Dengar!"
Jawaban Sofia membuat penglihatan Eno membulat lebar.
"Kamu apa kada kaget?"
"Kada! Udah biasa yang kayak itu."
"Ta-tapi ... pintu itu kayak buka tutup, Sofia."
Sofia melongok dari arahnya duduk. Sekilas dia pun ikut memperhatikan pintu kamar orang tuanya. Namun apa yang dilihatnya tak terlihat seperti apa yang ada dalam pandangan Eno. Sofia melihat semua biasa saja, bahkan pintu itu masih dalam keadaan tertutup rapat.
"Ehmmm ... kada ada yang aneh nah. Dah lah, habiskan makannya."
Eno pun mengikuti saran dari Sofia.
"Besok aku mau jemput pacar sama kawan aku. Mau ikut?"
"Di mana?"
"Bandara lah! Mereka 'kan dari Jawa."
"Boleh, dari pada bantuin Mamak di pasar."
Sofia menatap padanya.
"Jangan deh! Kasihan Mamak kamu, kada ada yang bantuin, En."
"Kada apa-apa, ada pembantu juga 'kan? Lagian belum pernah lah aku absen dari pasar."
"Kasihan Mamak kamu nantinya, Eno. Udahlah aku berangkat sendiri aja."
"Emang kamu mau naik apa?"
"Taxy aja."
Eno menghentikan suapannya. Lalu melihat Sofia dengan tatap yang tajam.
"Pakai mobilku aja. Biar aku yang nyetir."
"Kamu serius ini?"
"Iyalah, tapi bensin kamu yang isi. Gimana? Deal kah?"
Seketika Sofia yang tidak enak hati karena takut merepotkan, tersenyum lebar.
"Deal!" tegas Sofia.
"Habis ini aku pulang. Minta ijin sama Mamak. Sekalian mau ijin tidur sini temani kamu."
"Kan ada Paman sama Acil."
"Biasanya mereka habis ini pulang 'kan?" Sofia mengangguk. "Paling Paman sama Acil datang lagi jam sepuluhan."
"Iya, sih."
"Ya, udah aku balik dulu."
"Oke."
Sofia pun mengantar Eno hingga pagar rumah. Setelah kepulangannya. Sofia tidak langsung beranjak dari tempat itu. Dia teringat akan cerita Paman Botek tentang kejadian yang menimpa sang Mama. Langkahnya berjalan pelan menuju tembok pagar paling ujung luar.
"A-pa Mama terhimpit di sini?" bisik Sofia.
Tiba-tiba ....
"Bukan di situ! Agak masuk ke dalam, tepatnya di sini!"
Paman Botek berdiri di tempat Lidia terjepit.
"Jadi ... Mama membuka pintu dari sini!" Seraya Sofia menuju arah luar. Paman Botek pun mengangguk membenarkan posisi Sofia. "Terus?"
"Kayaknya mobil langsung ngegas tanpa bisa direm dan dikendalikan sama Papa kamu. Menabrak pagar yang ditarik ke arah dalam sama Bu Lidia. Dan dia kejepit di atara pagar."
"Aaaahhh!" Sofia menutup wajahnya. "Aku bisa bayangkan itu Paman. Aku bisa bayangkannya." Sembari tangan Sofia meraba tembok bekas mamanya terjepit.
"Udah, Yuk! Kita masuk lagi."
Walau perasaan Sofia hancur mengetahui kenyataan ini. Dia harus tetap tegar. Gadis itu mencoba menutup semua pintu kesedihan yang dirasa.
Langkahnya terayun perlahan. Sesekali dia masih menoleh ke arah pagar. Sepintas dia mencoba mnegingat kejadian di masa itu. Samar Sofia bisa mengingat suara sanga kencang dengan suara orang yang berteriak.
"Apa ... itu saat kejadian Mama?" gumamnya lirih. Dia pun menarik napas dalam-dalam. Mengembuskan perlahan.
Nini Amas pun menghampiri Sofia.
"Kita balik dulu lah! Nanti aku sama Paman ke sini lagi."
"Iya, Acil." (Acil = bibi)
Sofia pun masih berdiri di teras depan, seraya melihat mereka berdua yang menaiki motor butut. Dari luar pagar Acil Mina melambaikan tangannya. Sofia pun membalas dengan tersenyum.
Teringat akan dua tasbih yang dibawanya. Sofia pun menutup pintu rumah, berjalan cepat menuju kamar. Dia pun meletakkan tasbih pemberian Nini Amas di meja kecil sebelah ranjang. Sedangkan tasbih pemberian Pak Ali dipakai di pergelangan tangan.
Tak lama terdengar adzan Isya.
"Cepat sekali sudah Isya."
Sofia pun berniat untuk mengambil air wudhu dan menjalankan sholat Isya. Saat menuju ruang belakang, tempat kecil untuk berwudhu. Sofia merasa ada sepasang mata yang tengah mengawasi. Berdiri di antara pembatas ruang tengah dan kamar orang tuanya.
Namun Sofia berusaha mengabaikan dan bersikap lebih tenang.
"Kenapa setiap aku hendak sholat, sosok bayangan itu muncul, sepertinya kada suka?"
Mengabaikan bulu kuduk yang berdiri dan semakin merinding. Sofia terus menyelesaikan wudhunya dengan baik.
Gadis itu berlari kecil menuju kamar. Namun, saat hendak masuk. Sekilas bayangan dia lihat tengah berdiri menghadap cermin. Sontak Sofia terhenyak dan terperanjat. Sungguh membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Napasnya menderu bagai diburu oleh waktu. Pandangan mata yang ingin Sofia alihkan, seperti tak mampu lepas dari melihat ke arah ruang tengah, tepatnya di depan cermin, yang sangat jelas terlihat, dari tempat Sofia berdiri.
Sosok seorang gadis yang berdiri menyamping, dengan rambut yang terurai. Pakaian yang dipakai gaun selutut dengan motif bunga kecil. Seperti gaun milik Sofia ketika kecil dulu.
"Dia masih memakai baju itu?" bisik Sofia, tercekat. "Ke-kenapa aku sulit pergi dari sini?" Hendak hatinya berlari masuk kamar dan mengunci pintu. Namun kedua kakinya seperti terkunci. Sulit untuk Sofia melangkah.
"Ya Allah, tolong hamba!" desis Sofia.
Manik matanya bergetar, saat melihat sosok Sofia Hirang, mulai bergerak pelan. Walau tubuhnya masih menghadap cermin, leher Sofia Hirang sudah menoleh ke arahnya. Wajahnya terlihat sama, walau pucat. Sorot matanya kosong dan hampa, mengarah pada Sofia.
"Ba-bagimana bisa wajahnya sejajar lurus dengan arah pundak kanan? Se-seperti leher yang patah. Yang bisa bergerak ke mana pun juga."
Tarikan napas Sofia semakin terdengar kencang, saat sosok Sofia berjalan miring dengan wajah yang terus menghadap ke arahnya. Sofia ketakutan. Namun kedua kaki tidak bisa dia angkat sama sekali.
"Ya Allah ... ya Allah!"
Hanya kata itu yang mampu terucap dari bibirnya. Hingga, sosok itu dalam sekejap sudah berdiri di hadapan Sofia dengan posisi tubuh yang masih miring.
Tidak ada sepatah kata yang terucap. Bahkan bola matanya pun tak beralih, selain hanya tertuju pada sosok Sofia Hirang. Keduanya saling beradu pandang. Hingga Sofia seperti melihat sebuah bayangan di masa lalu. Tampak sosok sang papa dan mama yang melintas.
"Pergi kamu dari kehidupan aku!" Spontan Sofia berucap tanpa bersuara. Sosok Sofia Hirang menggerakkan sudut bibirnya melebar membentuk sebuah senyuman tepatnya menyeringai sadis. "Pergi .. kamu!"
Sosok Sofia memperlihatkan deretan giginya, yang menguning kehitaman. Perlahan mulut itru terbuka lebar. Bahkan semakin lebar, mengeluarkan aroma busuk yang mencekat hidung. Seperti bau bangkai bercampur t*i manusia. Sampai membuat Sofia menahan napas, serasa ingin muntah.
"Pergiiiiii!" Masih tanpa bersuara. Sekeras apa pun Sofia mencoba untuk berteriak. Dia tetap saja tak bisa mengeluarkan suaranya. "Pergi ... pergiiii! Aku kada akan menyerah sama kamu!"
Sosok Sofia Hirang menjulurkan lidahnya yang penuh darah dan lendir nanah. Baunya pun hampir sama dengan yang pertama. Lalu terdengar tawa yang melengking, seolah mentertawakan ketakutan Sofia saat ini.
"Kamu akan musnah!"
"Kamu akan musnah!"
"Kamu akan musnah!"
_00_