Lelakiku
Aku Laras. Seorang istri dari lelaki yang sangat baik, sabar, dan tentu saja tampan. Namanya Irwan. Dia, cinta pertamaku. Kisah kami seperti orang kebanyakan, bertemu di tempat menimba ilmu. Mas Irwan mahasiswa tingkat akhir. Saat itu dia sedang berkutat dengan skripsinya, sementara aku mahasiswi tahun ketiga.
Pembawaannya yang tenang dan sopan mencuri hati sejak pertama bertemu. Berawal dari kecerobohanku yang tidak sengaja menabrak Mas Irwan di gerbang kampus, beruntung lelaki itu hanya lecet dan tidak memperpanjang masalah. Sejak itu kami menjadi dekat. Tanpa ada ungkapan cinta, hubungan itu terjalin begitu saja. Bukankah setiap rasa tidak perlu untaian kata? Cukup mata dan sikap yang berbicara.
Dua tahun menjalin kasih, Mas Irwan telah cukup mapan. Terbukti, perusahaan yang dirintis dari nol berkembang pesat. Dia melamar tepat di hari kelulusanku. Seperti kembang api yang meletup indah, perasaanku begitu bahagia. Tentu saja karena sang pujaan hati yang dirindukan siang dan malam akhirnya menghalalkan dalam sebuah ikatan pernikahan.
Tak terlalu lama menunggu kami pun menikah. Bukan pesta yang mewah, hanya akad nikah yang sangat sakral dan resepsi sederhana. Orang tua Mas Irwan tidak bisa datang pada pernikahan kami, hanya Pamannya yang ada di Jakarta saja yang menghadiri. Saat kutanya, dia berujar orang tuanya tidak sempat datang karena harus mengurus adiknya yang masih sekolah. Aku begitu percaya dengan alasan yang dia berikan, walau terasa sedikit kejanggalan di hati, tetapi cepat kuenyahkan. Tak mau merusak hari bahagiaku.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Memasuki tahun ke tujuh pernikahan kami, usaha Mas Irwan kolaps, partner bisnisnya melarikan uang perusahaan yang jumlahnya sangat banyak. Dengan sangat terpaksa dia menjual semua aset termasuk mobil dan rumah yang kami tempati. Para investor menuntut pengembalian uang, jika tidak mereka mengancam mempidanakan Mas Irwan dengan pasal penipuan.
Disinilah kami sekarang, jauh dari hiruk pikuk Jakarta. Sejak kejadian itu Mas Irwan mengajak kami pulang ke tanah kelahirannya, Sumatera Barat, tepatnya di kota Padang. Saat ini kami menyewa rumah semi permanen. Rumah yang sangat jauh dari kesan mewah, tetapi cukup melindungi dari panas dan hujan.
Sejak pindah ke kota ini, hanya sekali Mas Irwan membawaku bertamu ke rumah Amaknya. Sambutan yang kurasakan tak seperti yang diimpikan selama ini. Amak Mas Irwan menelisik dari kepala, hingga ujung kaki. Sinar matanya tak terlihat ramah. Seolah sedang menyelidiki siapa menantunya ini. Beliau juga tak berbicara padaku. Bila aku bertanya, selalu dijawab sekadarnya.
Pernah bertanya pada Mas Irwan, mengapa sikap Amaknya seperti itu? Apakah beliau tak merestui pernikahan kami dahulu? Aku merasa tak dianggap sebagai menantu, tetapi kepada kedua anakku, Amak terlihat sangat sayang. Beliau bahkan betah berlama-lama berbincang dengan keduanya. Celoteh bocah-bocah itu meramaikan rumahnya yang sepi.
Berkali-kali Mas Irwan meyakinkanku, jika semua baik-baik saja. Dia mengatakan karakter Amaknya memang seperti itu. Sangat susah beradaptasi dengan orang baru, tetapi bila sudah dekat melebihi anak sendiri. Aku tersenyum tipis mendengar alasan tersebut. Bukankah gelar menantu cukup membuktikan aku bukan orang luar? Entah berapa kali mencoba mendekatkan diri dan mengambil hati dengan memasakkan makanan kesukaan Amak. Alih-alih tersenyum, beliau tak menyentuh sama sekali. Bahkan pernah di depanku, menawari tetangga yang melintas di depan rumah. Apa aku tersinggung? Sudah pasti. Namun, mencoba bersabar. Mungkin perlu usaha lebih keras untuk mendapatkan simpati beliau.
Sejak kami kembali ke Padang, Mas Irwan bekerja di toko material milik salah satu pamannya. Tak tega rasanya melihat suamiku yang dulu selalu berpenampilan rapi dan bekerja di ruangan ber-AC harus berkutat dengan pasir, bata, batu, dan material lainnya. Belum lagi teriknya matahari yang membakar kulit putihnya menjadi cokelat, tetapi dia tak pernah mengeluh karena hanya itulah satu-satunya sumber pendapatannya untuk kami bertahan hidup. Aku pun tak tinggal diam. Berusaha membantu dengan membuat kue dan menitipkannya ke beberapa warung di sekitar rumah, selain itu, aku juga menerima saat seorang tetangga menawari menjadi buruh gosok di laundry miliknya
Mas Irwan sebenarnya keberatan dengan pekerjaanku, tetapi aku bersikeras karena begitu banyak biaya yang harus dikeluarkan. Kedua anak kami sedang menempuh pendidikan di kelas satu dan dua sekolah dasar, tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit, belum lagi sewa rumah yang harus dibayarkan setiap bulan, sementara penghasilan suamiku itu hanya cukup untuk makan sehari hari.
*
Matahari telah lama surut ke peraduan, berganti cahaya bulan sabit dan bintang yang bertaburan di langit malam. Udara dingin yang berembus dari kisi-kisi jendela, membuatku menarik selimut ke atas hingga menutupi bahu. Anak-anak telah sejak tadi lelap ke dunia mimpi ditemani ayah mereka. Keduanya memang lebih dekat dengan Mas Irwan, mereka lebih suka mengerjakan tugas sekolah bersamanya karena lelaki itu memang lebih sabar dan telaten dalam menghadapi keduanya. Tidak sepertiku yang kerap tak sabar dalam mengajar.
"Laras, belum tidur?" Suara Mas Irwan terdengar lembut menyentuh gendang telinga. Aku mendongak dan tersenyum kala dia membubuhi ciuman di puncak kepala. Aku menutup mata, menikmati rasa hangat, dan menenangkan yang mengalir ke seluruh tubuh.
"Belum, Mas." jawabku, meraih tangan lelaki itu dan mengecupnya lembut.
Mas Irwan menatap lekat, dia tersenyum melihat kemanjaanku. Perlahan melepaskan tangan, lalu duduk di tepi ranjang, lalu merangkul bahuku agar lebih rapat padanya.
"Ada apa, sih, Mas?" Tak tahan mulut ini bertanya. Melihatnya tak berhenti tersenyum, seraya memandang ke arahku.
"Laras, makasih, ya. Kamu tetap ada di sampingku sampai detik ini. Aku ngga tau bagaimana bertahan tanpa kamu," ucapnya lirih. Sorot matanya berubah sendu, terlihat cinta di iris hitamnya. Cinta yang sama, meski bertahun telah berlalu.
"Mas, aku istrimu. Akan selalu ada saat kamu susah atau senang. Kamu jangan putus asa, ya. Tetaplah jadi suami dan Ayah yang hebat untuk kami," ujarku mengelus wajahnya yang mulai terlihat cokelat karena terlalu sering terbakar matahari.
"Sayang, apa pun yang terjadi kalian tempat aku pulang. Aku tidak akan menukar kalian dengan apa pun." Janji Mas Irwan. Pelukannya di tubuhku mengerat, seolah menegaskan bahwa dia bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
Aku membalas pelukannya lebih erat. "Iya, Mas. Aku berharap komitmen kita tentang kejujuran dalam rumah tangga, tetap yang utama. Apa pun masalah yang kamu hadapi, masalahku jua. Kita cari solusinya bersama."
"Jangan kuatir, Sayang. Janjiku tak pernah ingkar."
Hatiku menghangat mendengar untaian kata darinya. Berharap tidak ada masalah berat yang menghadang perjalanan rumah tangga kami. Jika di kemudian hari badai menerpa bahtera kami, kuharap Mas Irwan tetap teguh pada janjinya. Semoga kami saling menguatkan dan mengingatkan menghadapi badai tersebut. Aku yakin, cinta sejati mampu mengalahkan apa pun.