BAB 06

1635 Kata
Aku duduk diatas rumput buatan di tepian ruangan, sedangkan mata ku menatapi Rhett dan Quinn yang sedang bermain setelah aku memberi mereka makan tadi, hari ini adalah hari terakhir aku menjaga mereka yang berarti sudah 3 hari aku berada disini, selama itu juga aku sudah menyayangi mereka dan menganggap mereka seperti anak ku, hei! memang semua majikan kucing menganggap diri mereka adalah orang tua kucing itu. beberapa jam yang lalu Tyson menelpon ku lewat telepon rumah-nya dan memberitahu jika dia sedang dalam perjalanan pulang, akupun sudah merapihkan pakaian-pakain dan kamar yang sebelumnya kutempati. Klak! Kepalaku sontak menoleh kearah pintu yang terbuka, disana Tyson berdiri sambil menunjukan sederet gigi putihnya padaku, "Sepertinya kamu senang sekali." kata ku. Tyson menghampiriku dan duduk disampingku, "Kenapa? Kamu terlihat tidak bahagia." Tyson balik bertanya. Aku memaksakan senyuman ku,"Kenapa aku tidak bahagia? Kamu sudah pulang, yang berarti gaji ku akan terbayar!" kata ku. Tyson mendengus, kemudian dia merogoh kantung celananya, mengambil sebuah dompet kulit lalu mengeluarkan dua lembar uang berjumlah 500 dollar, Tyson mengambil tangan ku lalu meletakan uang itu ditangan ku. Aku menatapnya, "Hei- ini terlalu banyak." kata ku Tyson tersenyum, satu tangannya mengusap puncak kepala ku dengan lembut,"kamu sudah bekerja degan keras." Apanya yang bekerja dengan keras? Selama 3 hari ini, selain bermain dan memberi makan Rhett dan Quinn, aku tidak melakukan apapun lagi dan bersantai, aku menolaknya, aku memberikan selembar 500 dollar itu lagi tapi ia tidak mau menerimanya, malah langsung berdiri dan bermain dengan kedua kucingnya. "Sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku minta dari kamu." kata ku dengan ragu, Tyson dengan cepat menoleh kearah ku, netra hijau itu membesar menatap ku dengan lekat sedangkan bibirnya tidak mengatup sempurna. Aku menundukan kepala ku karena tidak berani melihat respon Tyson akan permintaan ku yang akan ku katakan,"Aku tidak meminta bayaran lebih, tapi bolehkan aku mengunjungi Rhett dan Quinn dilain hari? aku sangat menyukai mereka." Aku menggigit bibir bawah ku cukup keras, mataku memejam dengan erat. Setelah menanti jawaban Tyson cukup lama, terdengar suara tawa pria itu, kepala ku terangkat secara refleks, pandangan kami bertemu dan bertatapan beberapa saat, "Kamu tidak perlu sekhawatir itu, kamu bisa datang kapan saja kesini." katanya, aku tersenyum begitu lebar saking senangnya. Aku berdiri menghampirinya, mengambil tangan kanannya lalu memberikan uang 500 dollar tadi, "Kalau begitu aku kembalikan ini, 250 dollar milik ku anggap saja diskon karena kamu sudah mengizinkan aku untuk menemui Rhett dan Quinn di lain hari!" Tyson hendak bicara atau mungkin akan menolaknya lagi, jadi cepat-cepat aku menginterupsinya, "Kalau kamu menolak, maka aku akan segan untuk datang lagi, jadi kumohon terima saja! lagipula upah ku sudah sangat besar, ini lebih dari cukup." aku memohon padanya sambil menatapnya dengan memelas, dia tertawa melihat kelakuan ku, tangannya lagi-lagi mengusap kepala ku seperti hal itu adalah hal yang sudah biasa dilakukannya. "Sebenarnya tidak perlu memberiku uang, tapi aku harus bagaimana lagi? aku ingin kamu datang sesuka mu jadi aku akan menerimanya, berkunjunglah sesering mungkin untuk bertemu Rhett, Quinn dan juga aku." katanya dengan senyum menggoda, astaga, apa pria ini tidak sadar akan pesonanya? kalau dia memperlakukan ku seperti ini terus, aku juga tidak akan tahan untuk tidak menyukainya. Aku mengalihkan wajahku untuk menjernihkan pikiran dan menetralkan detak jantung ku yang begitu cepat, "Kalau begitu aku akan pulang sekarang." kata ku yang langsung berlari keluar ruangan itub dengan cepat. Aku masuk kedalam kamar, ruangan berukuran 5 x 4 meter dengan desain mewah yang dilengkapi fasilitas lengkap, di atas kasur, Sarah sedang memasukan buku-bukunya kedalam tas, "Sudah datang? ayo kita pulang, besok kan sudah mulai sekolah, ada beberapa hal yang mau kusiapkan." Sarah menoleh kearahku, kaki kecilnya membawa dirinya turun dari atas kasur yang ukurannya sangat besar itu hingga kembali menginjak lantai. *** Suara detik jam terdengar memenuhi gendang telinga, menemani malam ku yang panjang, setelah menyiapkan perlengkapan sekolah dan membersihkan rumah hingga larut malam, aku menyeduh coklat panas sementara aku duduk diatas meja belajar ku sambil menulis rencana-rencana yang akan kulakukan untuk hidup selama satu tahun kedepan setelah aku lulus dari SHS. Aku mungkin tidak akan melanjutkan pendidikan ku ke jenjang sarjana jika uang tabungan ku tidak mencukupi, karena bagaimanapun juga, aku masih harus membiayai pendidikan Sarah. tok! tok! tok! Suara ketukan pintu menginterupsi ku, aku menoleh kearah pintu tanap merubah posisi duduk ku, "Zenna, apa kamu masih terjaga?" terdengar suara Sarah yang bergetar dari balik pintu kamar ku. Aku baru saja ingin membukakan pintu kamar ku untuknya namun perkataanya selanjutnya membuatku mengurungkan niat, langkah kaki ku terhenti di depan pintu, "ada sesuatu yang perlu kita bicarakan--" suaranya terdengar bergetar, aku memegang kenop pintu tanpa berniat memutarnya, "dan aku harap kamu tidak membenciku setelah mendengar itu." Jika itu bisa membuat aku membenci-nya aku lebih memilih untuk tidak mendengarnya, "Zenna tolong, beri tahu aku jika kamu masih terjaga atau aku akan menyimpan rahasia ini selamanya karena aku takut kehilanganmu." ucapan Sarah begitu ambigu dan membuat ku penasaran, setelah itu suasana kembali hening, aku tidak mendengar suara Sarah dari balik pintu lagi. Aku benar-benar penasaran dengan apa yang ingin Sarah katakan padaku, kenapa ia sangat yakin jika aku akan pergi meninggalkannya setelah mendengar rahasianya? dengan cepat aku membuka pintu kamar ku, tapi begitu membuka pintu, sarah sudah tidak ada disana, hanya ruangan yang gelap dengan penerangan redup. Aku menghela nafas ku, apa mungkin aku hanya berhalusinasi karena butuh tidur? jika Sarah benar-benar ada di depan pintu tadi, dia tidak mungkin secepat ini menghilang. Pikiran ku mengingat beberapa film horor yang pernah ku tonton, bulu kuduk ku terus meremang, dengan cepat aku kembali menutup pintu kamar ku dan loncat keatas kasur dengan selimut yang menutupi seluruh tubuh. Walau belum mengantuk tapi aku memaksakan diriku untuk terlelap dengan menghitung domba di dalam hati ku. Aku berjanji aku tidak akan menonton film horor lagi, padahal aku sangat penakut, tapi aku selalu tertarik dan penasaran karena film horor selalu ramai menjadi bahan perbincangan orang-orang dari kalangan remaja hingga orang tua sekalipun. Mungkin lain kali aku akan menonton film romantis saja, tapi aku tidak suka dengan akhir cerita yang tragis, kebanyakan film-film romantis yang bagus dan keren memiliki akhir yang tidak terlalu menyenangkan bahkan menguras air mata seperti Romeo And Juliet, Me Before You, Titanic, dan Breathe. Ya! aku menonton film-film itu padahal aku sebelumnya berkata tidak suka, sangat naif. *** Saat matahari mulai mengintip dan udara masih terasa dingin dan jalan masih cukup sepi, aku sudah terbangun dari tidur ku sejak pukul 4 tadi dan sekarang sudah pukul 5 pagi. Sarah masih tidur dan mungkin baru akan terbangun pukul 6 pagi, jadi aku menyiapkan sarapan untuknya sementara aku berangkat lebih awal. Aku membuatkan Sosis saus dan sebuah catatan di meja makan. Aku kesekolah dengan berjalan kaki karena letak sekolah tidak begitu jauh menurutku, hanya berjarak 2km dari rumah yang menghabiskan waktu 1 jam perjalanan, sedangkan sekolah Sarah berjarak kurang dari 1km dari rumah, Sarah biasanya pergi kesekolah bersama sahabatnya, Keenan Quinn Castiel, seorang tuan muda dari keluarga Castiel. Aku tidak tahu mengapa anak bernama Keenan itu selalu mendekati Sarah tapi anak itu sepertinya tidak memiliki niat buruk. Aku berjalan keluar dari rumah, aku melapisi seragam ku dengan cardigan tipis, walaupun sekarang sudah musim semi, tetap saja udara pagi hari masih sama dinginnya. Kaki ku menyusuri gang-gang kecil demi mempercepat rute perjalanan, matahari mulai terbit, aku berjalan sambil sesekali melihat kekanan dan kekiri menikmati udara segar dan pemandangan bangunan-bangunan kota yang indah dan belum ramai. "ZENNA!!" seseorang meneriaki nama ku, aku menoleh kebelakang dengan cepat, tidak jauh di belakang ku berdiri Melisa melambaikan tangannya padaku, aku menghentikan langkah ku sedangkan Melisa dengan cepat berlari menghampiri ku, aku menunggu. "Ayo berangkat bersama! tumben kamu berangkat jam segini." kata Melisa sambil mengatur nafasnya yang terengah. "Kamu sendiri, kenapa tidak berangkat bersama supir?" tanya ku. Dia terkekeh, "Malas saja," jawabnya membuat ku mengernyitkan kening. Padahal aku ingat sebelum liburan musim dingin, Melisa sangat suka diantar oleh supirnya yang katanya 'tampan'. Sampai setiap hari aku selalu mendengarnya menceritakan tentang pria 'tampan' pujaannya itu. Tapi itu kan bukan urusan ku, jadi biarkan saja. "Zenna, bagaimana kalau mulai besok aku berangkat bersama mu hingga seterusnya?" katanya dengan pelan namun masih sangat jelas ditelingaku. Aku meliriknya dengan cepat, apa wanita ini salah makan obat? bukannya dia paling benci berjalan kaki karena membuat kakinya pegal dan betis berotot? "Sebenarnya aku tidak masalah kalau kamu mau pergi kesekolah bersama ku, jika kamu memang menginginkan itu." kata ku. "Benarkah?!" katanya memekik girang, kemudian meloncat kearahku dan memelukmu dengan erat hingga sesak rasanya, aku melepaskan pelukannya dengan paksa, menyikirkan tubuhnya yang menempel padaku. "Tidak perlu sesenang itu." kata ku, aku memutar kedua bola mataku dengan malas, apa semua nona dari keluarga kaya seperti Melisa? rasanya tidak, sepertinya memang hanya Melisa yang selalu bereaksi berlebihan dengan apapun. Sepanjang jalan menuju sekolah, Melisa bercerita tentang bagaimana liburan-nya berjalan, "Astaga, aku melupakan sesuatu!!" katanya berteriak dengan heboh, aku meliriknya. "Ada apa?" "Hari ini kita-kan kedatangan murid baru! dan murid itu adalah tuan muda kedua keluarga Grey." katanya, ia mengeluarkan cermin lalu kembali mengatur rambutnya yang sudah rapih sejak awal, apa yang mau ia rapikan lagi? rasanya aku ingin mengacak-acak rambutnya. Keluarga Grey, sepertinya aku pernah mendengar nama keluarga itu. "Ayolah, karena kamu terus bercerita di sepanjang perjalanan, kita jadi berjalan 15 menit lebih lambat, dan sekarang kamu malah berhenti berjalan dan berdandan?!" Aku mendengus kesal, Melisa tidak mendengarkan gerutuan ku, wanita itu hanya fokus mendempulkan wajahnya dengan bedak. Sebuah mobil mewah berwarna hitam mendekat kearah kami, begitu mobil berpapasan dan melewati kami begitu saja, sekilas aku melirik kearah jendela penumpang di belakang, jendela itu sedikit terbuka, disana duduk seorang pria yang familiar di mata ku. Pria itu menatap ku dan mata kami bertemu untuk beberapa saat, matanya menatap ku dengan mata tajam nya, ah! aku ingat pria itu, dia adalah kakak dari adik kecil yang kutemani di taman beberapa hari lalu, kalau tidak salah nama adik-nya Luca. Sampai akhirnya pria itu kembali mengalihkan matanya. To Be Continue
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN