BAB 04

1881 Kata
"Terimakasih Tyson, sampai jumpa lagi." kata ku begitu turun dari mobil Tyson yang mengantarku pulang. Tyson yang berada di dalam mobil Lamborghini-nya mengangguk. "Senang bisa bertemu dengan mu, Zenna." kata Tyson. Aku mengangguk lalu membalikan badan ku berniar masuk kedalam rumah jika Tyson tidak menghentikan ku, "Tunggu!" aku membalikan badan ku, aku menaikan alisku sebagai isyarat bertanya padanya. "Mulai sekarang, jadilah teman ku." kata Tyson.  Aku mengangkat kedua alisku keatas sehingga membuat guratan di keningku, "Kenapa tiba-tiba?" tanya ku.  Tyson mendengus, "Apa yang tiba-tiba? kamu tidak mau?" katanya sambil menatapku dengan tajam. Aku tertawa canggung, "Tidak kok, aku mau."  Tyson tersenyum lebar, sangat menawan, bahkan aku sempat terpesona oleh senyuman itu, saat tersenyum, matanya seakan memancarkan kehangatan yang membuat orang yang melihatnya tertular. "Kalau begitu aku akan menjemputmu lagi nanti pagi, sampai jumpa." kata Tyson lalu dengan cepat mengendarai mobilnya dengan cepat.  Aku menghembuskan nafas ku lega, aku tidak menyangka tuan muda keluarga Adam memiliki keperibadian seperti itu, diluar ekspetasin ku tapi dia sangat menyenangkan. Aku kembali melangkahkan kaki ku masuk kedalam rumah, kini sudah pukul 5 sore, sepertinya Sarah sedang beristirahat.  Tapi dugaan ku salah, Sama seperti sebelum-sebelumnya, Sarah menungguku. "Zee, aku membuat sup jamur untukmu, ayo kita makan bersama." kata Sarah. Sarah duduk di meja makan sambil menatapku. "Kenapa tidak makan duluan? kamu pasti sudah kelaparan menunggu ku." kataku menghampirinya, aku menarik kursi dan duduk,"Wah, sepertinya masakanmu enak." kata ku mencium aroma sup-nya. Kepala Sarah tertunduk sambil memainkan sendok di mangkuknya dia berkata, "Tentu saja, memangnya selain memasak apa yang bisa kulakukan?" kata Sarah. Aku tertawa, menanggapi ucapan Sarah sebagai lelucon. "Oh iya, besok kita akan menginap selama 3 hari. aku mendapat pekerjaan yang bayarannya besar dengan pekerjaan ringan." kataku. Sarah menatapku, "Aku ikut bersamamu?" Tanya Sarah. Aku mengangguk, "Kamu keberatan? kalau kamu ingin tetap disini tidak masalah, aku hanya khawatir jika meninggalkanmu sendirian." kata ku. "Aku akan ikut denganmu." Kata Sarah, menyela ucapan ku. Aku tersenyum, "Baiklah, kamu bisa membereskan beberapa pakaian yang akan kau bawa." SArah mengangguk, aku mengambil sup masakan  Sarah dan mencicipinya. "Wah, benar kan! rasanya memang enak." kata ku memuji masakan Sarah.  Sarah hanya menanggapi pujian ku dengan senyuman samar. Setelah makan malam pun kami hanya membicarakan beberapa topik lalu pergi istirahat ke dalan kamar kami masing-masing. Di dalam kamar, aku memikirkan sikap Sarah padaku. Dia jadi sangat aneh belakangan ini, padahal sebelumnya ia sangat manja, kenapa dia berubah jadi lebih dewasa seperti saat ini dalam waktu yang singkat? Aku yakin ada sesuatu yang memicu perubahan sikap Sarah. Mungkin kami harus bicara dan aku akan lebih memperhartikannya. Aku pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhku setelah seharian beraktifitas lalu pergi tidur setelahnya, karena Tyson akan menjemputku pagi-pagi. *** Aku bangun lebih awal sebelum Sarah membangunkan ku seperti sebelum-sebelumnya, aku mengemas 3 setel pakaian ku beserta pakaian dalam yang kumasukan kedalam ransel besar. Kini jam menunjukan pukul 6 pagi, masih tersisa 2 jam lagi sebelum Tyson menjemput, setelah sebelumnya mandi, aku kini berniat membuatkan sarapan untuk ku dan Sarah. Sarah paling suka dibuatkan omelet, tapi aku tidak akan memasakan omelet untuk pagi ini. Saat buang angin bisa-bisa baunya seperti telur busuk yang bisa mematikan seekor gajah dewasa, jika anak itu makan telur omelet setiap harinya. Aku mengeluarkan tepung, 1 butir. Telur, s**u cair dan margarine untuk membuat pancake, dengan olesan selai coklat. Setelah membuat adonannya, aku mencetaknya satu persatu diatas teflon bundar, satu persatu dengan telaten. "Zee, apa yang kamu masak?" suara Sarah, mengagetkan ku, tubuhku sedikit bergidik mendengar suaranya yang tiba-tiba karena terlalu fokus memasak dengan suasana yang hening. Aku membalikan tubuhku, melihat Sarah yang masih mengenakan pakaian tidurnya menatapku dari pintu kamarnya,"Sarapan kita," jawab ku. Dengan langkah pelan, Sarah menghampiri ku, "lain kali biar aku saja yang membuatkan sarapan jika bukan omelet." kata Sarah. Aku mengernyit, "kenapa? Aku suka memasak ini," kata ku. Setelah menatap pancake yang sudah tertumpuk di piring, Sarah mendongak melihatku, "itu tidak perlu, aku bisa memasak untuk mu, kamu kan sudah lelah bekerja." jawab Sarah dengan wajah memelasnya. Aku tersenyum, mengelus kepala Sarah beberapa kali sebelum akhirnya berbicara, "Aku ini kakak mu, Sarah." aku berlutut untuk menyamai tinggi tubuhku dengan Sarah agar kami bisa saling bertatapan, "Memenuhi semua kebutuhan mu adalah tanggung jawabku sebagai kakak mu, pengganti ibu." "Itu juga yang membuatku tidak suka, Zee--" Sarah menatapku dengan natanya yang memerah, "Kamu bekerja dan ada disini, karena kamu kakak ku." kata Sarah. Aku tidak mengerti ucapan Sarah, kenapa ia kesal, kenapa ia menangis, aku tidak mengerti. Aku kembali berdiri, "Lupakan saja, kita akan sarapan sekarang dan setelah itu kamu mandi." kata ku. Sarah mengangguk samar, aku membawa piring besar berisi pancake, sedangkan Sarah mengikuti di belakang. Kami duduk di meja makan, baru saja aku ingin memyuap pancake ku setelah mengoleskan selai cokelat diatasnya, sebuah ketukan pintu menginterupsi. "Aku akan memeriksanya," kataku sambil melirik kearah Sarah yang juga melihatku sambil mengunyah pancake di mulutnya, Sarah mengangguk. Menaruh sendok dan meninggalkan meja makan, aku berjalan kearah pintu depan. Aku membuka pintu rumah dan langsung mendapati Tyson yang sedang berdiri disana. "Kamu--" aku menatap Tyson dari atas hingga bawah, "Kamu sedang apa pagi-pagi kesini? Bukankah harusnya masih 2 jam lagi." aku bertanya. Tyson menggaruk belakang kepalanya yang memakai topi rajut, "Sebenarnya, aku merasa kesepian dirumah, lalu aku teringat kamu, jadi tanpa sadar aku kemari." ungkap Tyson dengan polosnya. "Kamu kira rumahku adalah tempat dimana jika kamu teringat, kamu bisa datang sesukanya?" kataku mendelik kearah Tyson. "Kamu kan teman ku, bukannya sudah sewajarnya begini--?" Tyson menyengir lebar, "Teman akan selalu ada disaat membutuhkan'kan?" katanya, Tyson langsung melewatiku dan masuk kedalam rumah seenaknya seakan hal itu sudah biasa ia lakukan. Aku berbalik melihat Tyson yang sedang melepas mantel dan topi lalu menggantungnya di gantungan yang dekat dari sana. "Hei! Walau kita sudah jadi teman, pertemanan kita bahkan belum genap 24 jam dan kamu sudah bersikap seakan kita memang teman akrab." aku meneriaki Tyson walau tidak digubris oleh pria itu. Teriakan ku bagai angin lalu di telinganya, ia menoleh kearahku, "Aku mencium bau enak, kebetulan aku belum sarapan, aku ingin sarapan bersama." kata Tyson memelas. Aku mencibir, "Bilang saja kamu mau meminta makanan dari ku," aku berjalan melewatinya, yang langsung di ekori oleh Tyson, "yang seperti ini, yang katanya anak konglomerat," ejek ku.  Tyson menghiraukan ucapanku ia seenaknya masuk kedalam ruang makan, "Tyson! kamu tidak bisa seenaknya." kata ku sambil mengikutinya dari belakang. Saat itu aku melihat punggung Tyson yang terhenti di ambang pintu, aku mata ku mengikuti arah matanya yang rupanya sedang melihat kearah adik ku, Sarah. Sarah juga menatap balik Tyson dengan tatapan terkejut dan bingung, anak itu pasti sedang memikirkan hal aneh di kepalanya, "Tyson, dia adik ku, Sarah Francess. Sarah, dia teman baru ku, Tyson."  Sarah terlihat gugup saat ditatap oleh Tyson, "Hei! jangan menatap adik ku seperti itu. jangan-jangan kamu p*****l?" tuduh ku. Tyson langsung mengalihkan pandangannya padaku sambil memelototkan matanya, "Kau gila! aku hanya heran, kalian tidak mirip sama sekali." Tyson mengelak, sedangkan aku tertawa melihat raut wajahnya yang seperti pencuri yang tertangkap basah.  "Kalau mau makan, cepat duduk di meja makan! tidak perlu banyak bertanya." kata ku, aku berjalan melewatinya dan duduk di meja makan lebih dulu, dia menatapku sebentar sebelum akhirnya duduk di kursi yang terletak di sebelahku.  "Memangnya kamu tidak apa-apa, hanya makan ini? mungkin ini sangat sederhana dan bukan seleramu." kata ku sambil melirik Tyson yang sedang mengambil beberapa potong pancake.  Aku khawatir jika dia tidak suka dengan makanan yang kumasak, terlebih lagi dia adalah tuan muda dari keluarga Adam yang sangat kaya, mungkin ia biasa makan makanan restoran berbintang yang dimasak oleh chef ternama, berbeda sekali dengan pancake buatanku yang akupun mengambil resepnya dari website online.  Seperti biasa, Tyson tidak mendengarkan ucapanku. Sepertinya pria itu benar-benar menganggap aku tidak ada. Aku meringis melihat Tyson yang melahap pancake buatanku, satu-dua potong ia habiskan tapi dia tidak berkomentar apapun, karena penasaran akupun bertanya, "Bagaimana rasanya?" tanya ku sambil menatapnya yang sedang memakan pancake dengan lahap, terhitung sudah 3 potong pancake ia habiskan. "Rasanya seperti pancake," ia menjawab dengan acuh. Aku menahan rasa kesalku, "Maksudku rasa pancake-nya!"  Tyson berhenti menyuap pancake kedalam mulutnya, kepalanya menoleh padaku dengan mulut yang penuh, "Yah, seperti pancake yang biasa kumakan, aku kan sudah bilang."  Aku mengalihkan pandanganku pada Sarah yang sedang menatap Tyson dengan lekat, "Ada apa Sarah?" aku bertanya. Sarah melirik sekilas padaku lalu menggelengkan kepalanya, "Kakak, dia yang memberikanmu pekerjaan?" tanya Sarah, aku pun mengangguk menjawabnya. Setelahnya suasana kembali hening dan kami fokus pada kegiatan makan kami. Tyson memberikan tumpangan sesuai perkataannya kemarin. Sarah mendadak menjadi pendiam, selama dalam perjalanan ia hanya melihat kearah luar jendela, aku tidak tahu apa yang salah, mungkin suasana hatinya hanya sedang tidak baik.  Pemandangan kota yang masih sepi, hanya satu-dua orang yang berlalu lalang sementara lampu jalan sedang di matikan, aku menghela nafasku, saat melihat gedung-gedung tinggi di kota, aku merasa bahwa diriku ini bukanlah apa-apa, terkadang aku ragu, apa aku bisa melewati hari-hari ku yang melelahkan? Jujur saja aku takut jika suatu hari aku jatuh sakit, bagaimana nasih Sarah nantinya. "Kakak, apa yang sedang kamu pikirkan?" lamunan ku terbuyar oleh suara Sarah, aku memalingkan wajahku pada Sarah. "Aku hanya merasa kecil," jawab ku jujur. "tentu saja kamu merasa kecil, kamu menatap gedung-gedung pencakar langit itu. Memangnya kamu raksasa? Ingin lebih besar dari gedung?" kata Tyson, aku menatap Tyson, Tyson hanya fokus menyetir. Perkataan Tyson memang sekilas terdengar seperti sedang meledek ku, tapi di balik itu, aku sadar jika Tyson berniat menyemangati diriku, aku tersenyum samar menanggapi ucapannya. "Terkadang yang berada di atas pun memiliki masalah dan kekurangannya sendiri, karena setiap manusia memiliki cobaan yang berbeda-beda dari tuhan." kata Tyson tanpa memalingkan wajahnya dari jalanan. Tyson yang bersikap sundere seperti ini lucu juga, tanpa sadar aku tertawa, "Kamu berkata seperti kamu adalah pakarnya." kata ku mengejek, Tyson mendengus kesal, ia mempercepat laju mobilnya membuat aku maupun Sarah takut. "Hei, pelan-pelan! Aku hanya bercanda, okay?" kataku menatapnya dengan kesal. Tyson melirik ku, ia kembali memperlambat laju mobilnya, bibir Tyson membuat senyuman miring, "okay." jawabnya. Entah kenapa aku merasa kesal dengan jawabannya, tidak lama mobil Tyson pun memasuki perkarangan rumahnya yang mewah, aku melirik Sarah yang bereaksi sama seperti ku saat pertama kali melihat rumah milik Tyson, aku mengulum senyuman ku. Kami turun dari mobil dan masuk kedalam rumah dengan cepat, "Woah.." guman Sarah sambil melihat kesekelilingnya. Tyson menunjukan pada kami kamar yang bisa dipakai lalu menunjukan bahan makanan di dalam kulkas, "Anggap saja seperti rumah mu sendiri, tapi ku peringatkan untuk tidak merusak benda apapun di rumah ku!" kata Tyson. Aku dan Sarah mengangguk serentak, Tyson tersenyum tipis, "Berikan ponsel mu!"? Tyson mengulurkan tangannya untuk meminta ponsel ku. Aku mengeluarkan ponsel yang berada di saku celana ragu,"U-untuk apa?" tanya ku dengan gugup. Tyson tidak menjawab, tangannya menyambar ponsel ku dengan cepat, "Kita kan teman, kamu harus menyimpan nomor ku, jika terjadi sesuatu kamu langsung saja menghubungi ku! mengerti?" katanya sambil mengetik nomornya di ponsel ku. Secara reflek aku menganggukan kepala ku, Tyson tersenyum lebar, ia mengembalikan ponsel ku lalu mengelus kepala ku, tiba-tiba jantung ku berdetak lebih cepat, "Anak pintar." kata Tyson. Ke gugupan ku saat itu juga langsung menghilang, apa katanya? Anak pintar? apa pria itu menganggapku sebagai anjing kecil? Aku mendengus lalu menjauhkan tangannya dari atas kepala ku, "ya,ya, aku sudah mengerti, tuan muda silahkan pergi jika tidak ingin terlambat." Tyson terkekeh,"Baiklah, kalau begitu sampai jumpa 3 hari lagi, Zenna, Sarah." kata Tyson berpamitan, saat hendak pergi aku mencegah Tyson. "Tunggu, kamu tidak berpamitan pada Quinn dan Rhett? Mereka pasti akan mencarimu." Tyson menatapku lekat dengan wajah datarnya untuk beberapa saat, "Mereka sedang tidur, lagi pula aku sudah berpamitan pada mereka tadi malam." jawabnya sambil tersenyum. Aku menghela nafas ku, "Baiklah, sampai jumpa." kata ku. Punggung Tyson semakin berjalan menjauh, Tyson hanya menjawab ucapan ku dengan mengangkat satu tangannya tanpa berbalik, sampai pria itu menghilang di balik pintu. To Be Continue
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN