3 - Bucin

1713 Kata
Tasya masuk ke ruangannya dengan wajah ceria, pasalnya dia baru saja kembali dari rumah sakit tempat Kasya bekerja. Meskipun Kasya masih tetap dingin padanya namun entah mengapa hal tersebut tidak mempengaruhi Tasya. "Bahagia banget kayaknya." Tasya langsung menoleh ke meja kerjanya di mana sudah ada seorang gadis duduk di sana. "Hai Reyna!" Sapa Tasya masih dengan senyum sumringah. Reyna sepupu sekaligus rekan kerja Tasya memasang ekspresi datar, "Habis ketemu doi lo?" "Iya dong!" jawab Tasya dengan nada semangat sambil duduk di sofa ruangannya. "Gue heran deh sama lo, lo sendiri yang bilang pertama ketemu setelah sekian lama dia masih cuek sama lo tapi kok lo masih mau aja kejar dia. Udah bucin akut lo ya?" Reyna berpindah duduk ke sisi Tasya. "Temen gue pernah cerita, dia tuh ngga suka kucing tapi adiknya pelihara kucing dan lama-lama dia jadi sayang juga sama tuh kucing." Reyna memasang ekspresi datar, "Jadi sekarang lo sedang menyamakan diri lo dengan kucing?" "Bukan gitu Rey, maksud gue siapa tau dengan gue sering ada di samping Kasya, dia jadi mau buka hati kan buat gue? Yang penting gue cukup sering memberi dia perhatian aja." "Memangnya lo yakin dia masih jomblo? Kalau ternyata udah punya pacar atau istri? Secara kalian tuh udah lama banget ngga ketemu Sya. Lo mau dikata perusak hubungan orang? Jangan aneh-aneh deh Sya!" "Aman kok Reyna sayang, gue dapat info dari sahabatnya kalau Kasya tuh masih single available! Karena Kasya itu kan orangnya cuek soal cewek, jadi gue ngga akan jadi perusak hubungan atau pelakor, masih sah untuk di kejar!" "Iya dia cuek soal cewek, memangnya lo bukan cewek? Kalau lo tau dia begitu, lo masih yakin punya harapan?" Tasya memanyunkan bibirnya, "Yah gue mau berjuang dulu Sya, kalau memang nantinya gue sampai pada batasnya, gue pasti akan mundur dan menyerah soal Kasya." Reyna menghela nafas menatap Tasya, "Iya Sya gue tau, mungkin kalian memang dijodohkan sejak kecil karena orang tua kalian saling kenal dekat, bahkan sampai diberi nama yang persis seperti anak kembar hanya karena hari lahir kalian sama, tapi bukan berarti Kasya itu mutlak sumber kebahagiaan lo Sya! Lo itu cantik, lo pintar dan lo punya kesuksesan lo sendiri, gue yakin banyak kok yang lebih baik dan mau sama lo." "Iya Rey, makasih ya, gue beneran akan mundur kok kalau memang udah ngga ada harapan, tapi untuk sekarang, lo mau kan dukung gue buat berjuang Rey?" Reyna meraih kedua tangan Tasya dan menggenggamnya, "Gue sayang sama lo Sya dan gue mau semua yang terbaik buat lo, gue mau lo bahagia dan gue mau dukung kebahagiaan lo tapi kalau Kasya justru buat lo sakit hati, gue bakal jadi orang pertama yang menarik lo buat mundur." Tasya tersenyum dan mengangguk, lalu memeluk Reyna, "Sekali lagi makasih ya Rey." Reyna ikut tersenyum, mengusap lembut punggung Tasya, "Iya sama-sama Sya." "Oh iya, orang tua lo jadi pindah ke sini lagi?" tanya Reyna setelah saling mengurai pelukan. "Jadi kok, ini masih mengurus pemindahan perusahaan, yang penting gue udah urus rumah di sini, jadi setelah mereka datang semua udah aman." "Lo juga jadi mau belajar bisnis sama suami gue?" Reyna memang belum lama ini menikah namun belum dikaruniai anak. Dan dirinya memilih membantu Tasya begitu tau sahabatnya itu kembali ke Indonesia dan akan membuka sebuah usaha sendiri. "Jadi dong, mau ngga mau gue harus belajar karena mungkin gue disini punya lo yang bisa bantu gue, tapi Papa cuma punya gue saat ini Rey yang bisa dipercaya membantunya." "Iya gue paham, nanti gue kabarin kalau suami gue udah pulang." "Memangnya belum pulang?" Reyna menggeleng sekilas, "Katanya kalau ngga besok, yah lusa baru tiba. Jadi malam ini gue harus tidur sendiri deh." "Yang sabar ya 'zheyenk'. Oke deh gue tunggu infonya kalau suami lo udah pulang, lagian ilmunya kan lumayan buat usaha gue ini juga." Tasya tersenyum sumringah. "Iya, lo ngga ada rencana berkunjung ke rumah Kasya? Secara orang tua kalian deket banget sejak dulu. Memangnya ngga apa kalau orang tua Kasya belum tau lo udah di kota ini?" "Tadinya sih mau, cuma kayaknya mereka udah ngga di rumah yang dulu, soalnya kemarin gue mampir ke sana sekalian liat rumah gue yang dulu tetanggaan sama mereka, tapi rumah mereka udah ganti penghuni. Nanti deh gue cari tau alamat yang sekarang, gue maunya kalau orang tua udah disini biar sekalian reunian mereka." "Iya deh. Eh iya, ini bentar lagi gue izin ya mau keluar, ada yang mau gue beli sebelum suami sampai di rumah, gue belum belanja bulanan." "Iya gak masalah, gue pasti izinin kok." Keduanya tersenyum. Sorenya, setelah Reyna pergi, Tasya memilih memantau tokonya. Mengecek stok jualannya. Tasya memiliki beberapa pegawai untuk membantunya melayani pelanggan serta bagian pembayaran. Ia bersyukur, meski baru beberapa hari merintis, sudah cukup banyak mendapat pelanggan karena Tasya memang mau memberikan kualitas yang terbaik. Suara lonceng diatas pintu masuk berbunyi saat Tasya sedang mengecek data di bagian kasir. Salah satu pegawai dengan sigap segera melayani. "Mau pesan apa bu?" tanya pegawai tersebut dengan ramah. "Saya mau red velvet ya Mba." Mendengarnya, Tasya langsung mengangkat wajahnya menatap pelanggan yang baru menyebutkan pesanannya tersebut. Seorang wanita yang wajahnya tidak lagi asing di mata Tasya, dan Tasya yakin tidak salah mengenali. "Tante Vina?" Elvina, Mama Kasya, mendengar namanya dipanggil langsung menoleh pada Tasya. Elvina memicingkan mata menatap Tasya yang sudah berdiri dihadapannya. Tasya tersenyum kecil, "Ini Tasya tante, Latasya, anaknya Mama Indira. Tante ngga lupa sama sahabat sendiri kan?" "Eh?!" Elvina terlihat terkejut, "Tasya? Ini Latasya?!" Tasya mengangguk dan kembali tersenyum, "Iya Tante." "Ya ampun Tasya, makin cantik lho sekarang, Tante sampai pangling hampir ngga kenal tadi. Kamu sedang apa di sini?" "Ini toko Tasya tante, masih merintis." "Toko Tasya?" Tasya mengangguk sekilas, "Iya tante." "Owalah, udah cantik, mandiri pula. Oh iya, Papa Mama apa kabar? Kok ngga bilang sih kalau udah di sini sekarang?" "Baik kok tante, Mama sama Papa belum bisa ke sini, jadi rencananya baru ke rumah tante setelah Papa Mama tiba." "Jadi sekarang Tasya tinggal di mana sayang?" "Setelah pindah ke sini, Tasya langsung ambil rumah di salah satu perumahan Tante, beberapa hari kemarin baru beres, jadi Papa Mama sampai, udah ada tempat tinggal." "Iya deh, kalau mereka sudah sampai, bilang ya wajib laporan ke tante." Tasya terkekeh pelan, "Siap Tante." "Tante minta nomor Tasya deh soalnya tante udah engga di rumah yang dulu, nanti biar bisa kirim alamat yang sekarang." "Oh iya Tante." keduanya pun bertukar nomor ponsel. "Tasya udah ketemu Kasya dan Helen tante, Helen makin cantik ya Tante," lanjut Tasya setelah menyimpan kembali ponselnya. "Kapan ketemunya?" "Dua hari lalu di rumah sakit keluarga tante." "Oh! Jangan-jangan yang dimaksud Helen soal calon istri Kasya itu Tasya?" Wajah Tasya mendadak merona membuat Elvina terkekeh gemas, "Tasya masih suka ya sama Kasya? Sabar ya sayang," Elvina mengusap lembut lengan Tasya, "Kasya kan memang sulit didekati, jadi harus ekstra sabar menghadapinya, tapi kalau ngga sanggup jangan dipaksa ya sayang, walaupun Kasya anak Tante dan kami pernah berniat menjodohkan kalian tapi Tante ngga mau Tasya sakit hati." Tasya tersenyum dan mengangguk, "Iya Tante, terima kasih ya Tante." Elvina ikut tersenyum, pegawai yang tadi melayani, datang membawa pesanan Elvina setelah dirasa pas untuk memberikan pesanan karena sejak tadi Elvina terlihat asik mengobrol dengan Tasya. "Jadi berapa Mba?" tanya Elvina. "Bawa aja tante," Sela Tasya sebelum pegawainya bicara dan Elvina mengambil dompetnya. "Eh jangan! Kan Tasya masih merintis masa udah kasih gratis-gratis?!" "Ah tante kayak sama siapa aja, anggap aja ini hadiah temu kangen dari Tasya buat tante, lagipula hari ini toko Tasya memang lagi ramai kok jadi ngga apa lah kasih hadiah ini ke Tante." Elvina tersenyum, "Iya deh, terima kasih ya sayang, Tante pulang dulu ya." Tasya mengangguk, "Hati-hati Tante." *** Malamnya di kediaman Arkasya. "Kok kamu engga cerita Sya kalau udah ketemu Tasya?" Tanya Elvina di acara makan malam keluarga mereka. "Tasya?" Tanya Reiki, Papa Kasya. "Latasya lho Mas, anaknya Kenan dan Indira." "Mama ketemu kak Tasya?" Helen terlihat terkejut, "Di mana Ma? Kak Tasya udah di sini?" "Lho, Helen kan udah ketemu juga sayang." "Hah? Masa sih? Kapan Ma?" Helen terlihat mengingat-ingat. "Di rumah sakit, yang mengaku sebagai calon istri kakakmu." "Ma..." protes Kasya karena Elvina kembali mengungkit hal yang tidak ia suka. "Eh, itu kak Tasya? Wah tambah cantik banget! Pantesan aja Helen jadi pangling tapi tetap familiar." "Jangan berlebihan." Ingat Kasya membuat Helen memasang wajah sebal. "Kenan dan Indira sudah di sini?" tanya Reiki lagi. "Belum, baru Tasya karena sedang merintis toko kuenya di sini." Jelas Elvina. "Dia buka usaha sendiri?" "Iya, katanya sih tadi begitu." "Bagus dong, masih mudah sudah berani punya usaha sendiri." "Iya, Mama ngga nyangka deh, perasaan baru kemarin liat masih pada kecil-kecil, eh sekarang udah pada sukses." "Kak Tasya tinggal di mana sekarang Ma?" tanya Helen. Kasya mendadak kenyang karena nama Tasya masuk dalam topik obrolan di acara makan malam keluarganya. "Tadi dia bilang ada ambil rumah di salah satu perumahan, dia duluan ke sini selain buat usaha juga buat menyiapkan tempat tinggal bersama orang tuanya." "Nanti Helen minta alamat toko kuenya ya Ma, mau berkunjung." Elvina tersenyum mengangguk, acara makan malam pun dilanjutkan. *** "Kak Sya." panggil Helen sebelum Kasya masuk ke kamarnya. "Kenapa?" "Memangnya kakak masih ngga suka sama kak Tasya? Padahal dia udah suka sama kakak dari sejak lama lho." "Lalu gue juga harus suka sama dia?" Helen mengangkat sekilas bahunya, "Setidaknya kakak belajar buka hati gitu, daripada nyesel kan nantinya?" "Mendingan lo urusin aja kerjaan lo di kantor Papa, ngga perlu urusin gue." Helen memanyunkan bibirnya, "Helen kan hanya mau peduli sama kakak, memangnya mau sampai kapan kakak ngga mau punya pasangan? Umur udah pas, karir juga udah bagus, apalagi sih yang kakak cari? Kakak cuma perlu pendamping kok." "Lo ngga perlu repot memikirkan gue, gue bisa urus diri." "Memangnya kakak mau jomblo sampai umur berapa kak? Sampai tua?" Kasya menatap datar adik semata wayangnya. "Percuma ganteng kak kalau jadi bujang lapuk." sindir Helen. "Helena..." Helen segera masuk ke kamarnya dan mengunci pintu sebelum Kasya memiting lehernya seperti sebelumnya. Kasya menghela nafas menatap pintu kamar adiknya, lalu kembali beranjak menuju kamarnya. Sejak Tasya muncul kembali, Kasya merasa tidak tenang. Meski entah mengapa tidak serisih saat bersama Diva namun tetap saja, Kasya yang ingin hidupnya penuh ketenangan, justru semakin pusing. Ia hanya ingin, cukup pekerjaan saja yang membuatnya lelah, jangan lagi ada yang lain, namun Tasya membuat hal itu hanya sebatas ekspektasi. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN