Sudah dua hari Tasya tidak dapat mengunjungi Kasya karena tokonya sedang cukup ramai sehingga Reyna tidak mengizinkan Tasya untuk pergi ke manapun termasuk saat jam istirahat. Reyna sampai memesankan makan siang Tasya secara delivery agar sepupunya itu tidak memiliki alasan meninggalkan tokonya. Tasya sedikit kecewa namun Kasya justru merasa lega.
Siang ini Kasya ditemani makan siang seperti biasa oleh kedua sahabat baiknya di kantin rumah sakit.
"Tasya ngga ada, makanan penutup juga ngga ada," Angga terlihat lesu, pasalnya jika berkunjung, Tasya seringkali membawa sedikit kue dari tokonya untuk Kasya, Angga dan Dilon.
"Lo pikir kerjaan si Tasya cuma bolak-balik rumah sakit?" Ucap Dilon.
"Lho, dia kan bucinannya Kasya?"
"Bucin sih bucin, beda urusan kalau udah soal nyari nafkah!"
Obrolan terjeda karena deringan ponselnya Angga. Angga berdiri sejenak setelah melihat layar ponselnya lalu sedikit menjaga jarak dari Kasya dan Dilon untuk menjawab panggilan tersebut.
"Nyokap lo?" tanya Dilon setelah Angga kembali duduk di kursinya.
Angga menggeleng sekilas.
"Lalu?"
Angga justru menatap Kasya, "Sya..."
"Hah?"
"Sebelum nantinya lo mau suntik bius gue, gue mau minta maaf dulu ya sama lo."
Kasya dan Dilon menatap aneh sahabat mereka ini.
"Lo habis kerasukan apa?" tanya Dilon.
"Yah pokoknya gue mau minta maaf sama lo, beneran gue ngga maksud mau buat lo kesel atau marah."
"Memangnya apaan?" Tanya Kasya.
"Tapi janji ya habis ini lo ngga kirim gue ke kamar jenasah." Angga memasang wajah memelas seperti habis melakukan dosa besar.
"Ya tapi apa--"
"Arka..."
Wajah Kasya berubah dingin, membuat Angga ngeri. Angga akan berdiri namun pundaknya ditahan oleh Dilon.
Ingin sekali Angga mengumpat Dilon namun ditahannya karena memang ini kesalahannya.
"Arka," Suara tersebut kembali memanggil dari arah belakang Kasya namun Kasya tidak mau menoleh. Selama ini jika pemilik suara itu datang ke rumah sakit, Kasya selalu dapat menghindar namun kali ini justru menjadi waktu yang buruk dan Kasya tidak perlu menebak siapa penyebabnya.
Terdengar langkah sepatu berjalan mendekat dan berhenti di samping meja mereka.
"Kamu kenapa sih Ka selama ini susah banget aku temui? Setiap aku mampir ke sini pasti kamu lagi ngga ada?!"
"Diva," Sela Dilon memanggil gadis bernama Diva tersebut, salah satu gadis yang sangat tidak Kasya harapkan kehadirannya. "Arka tuh sibuk mengurus pasien yang banyak, lo harusnya paham dong. Lagian lo kan bukan siapa-siapanya Arka?!" Lanjutnya.
Karena Kasya pernah marah jika Diva memanggilnya Kasya, maka sejak saat itu Diva memanggilnya Arka sehingga jika bersama Diva, Dilon dan Angga akan memanggil Kasya dengan nama Arka begitupula jika bertemu orang lain yang tidak dekat dengan Kasya. Terkecuali Tasya, meski Kasya tidak menyukainya namun Tasya mengenal Kasya sejak keduanya masih sangat kecil.
"Yah terus aku salah kalau mengunjungi Arka? Aku kan hanya mau bisa dekat dengan Arka, aku sampai bawa oleh-oleh spesial buat Arka," Diva berpindah tempat dan duduk di kursi kosong di samping Kasya. Kasya masih tidak menoleh sedikitpun pada Diva.
"Dicobain ya Ka..." Diva membuka bungkusan plastik yang dibawanya.
"Gue udah kenyang."
"Dikit aja Ka, aku bawa ini khusus buat kamu kok."
"Gue bilang gue udah kenyang." Kasya benar-benar merasa diuji kesabarannya. Sesekali dirinya menatap Angga yang duduk di hadapannya dengan wajah merasa bersalah, karena memang dirinya lah yang membuat Diva bisa bertemu Kasya.
"Udah Va, jangan dipaksa Arkanya." Ingat Dilon namun tidak digubris Diva.
"Ka--"
"Kak Sya."
Kasya akan berdiri dari tempatnya namun diurungkan. Helen adiknya, datang mendekat dan berdiri di tempat tadi Diva berdiri, "Lho kak Kasya lagi dapat kunjungan?" Tasya menatap Dilon, Angga dan Diva bergantian.
"Hai Helen!" Sapa Diva.
Helen tersenyum kaku, ia tahu siapa Diva, gadis yang sangat tidak disukai kakaknya, "Hai kak."
"Lo kenapa ke sini?" tanya Kasya.
"Oh itu, Papa minta gue ambil beberapa laporan rumah sakit, katanya tanya ke kakak, kakak yang tahu di mana ambilnya."
Kasya berdiri dari kursinya, "Gue balik kerja dulu," Pamitnya lalu menggandeng tangan Helen, membawa adiknya meninggalkan kantin.
Diva terlihat muram menatap bungkusan dihadapannya. Kasya sama sekali tidak menyentuhnya.
"Sabar ya Va, kan lo tau sendiri Kasya itu orangnya gimana."
Diva menatap Dilon dan tersenyum masam, "Ya udah deh aku pergi dulu ya Lon, Ga, ini buat kalian aja," Diva menggeser bungkusan tersebut ke arah Dilon, "Makasih ya." Diva beranjak dari tempatnya dan pergi.
"Lo sih! Anak orang sakit hati kan?!" Dilon menepuk lengan Angga setelah Diva pergi.
"Ya gimana lagi," Angga mengusap lengannya yang sedikit terasa sakit, "Dia semalam maksa gue Lon, lo tau sendiri si Diva itu kalau udah maksa gimana, mesti diturutin!"
"Ya udah jangan gubris lagi kalau dia kirim chat ke lo."
"Iya iya gue khilap semalam."
"Ya udah mendingan kita balik aja ke kantor, udah mau selesai istirahat, si Kasya juga jadinya jelek moodnya."
"Nanti gue minta maaf deh ke Kasya," Angga menghela nafas, "Biar dia masih mau kumpul makan siang sama kita."
"Iya emang lo harus minta maaf ke Kasya!" Dilon beranjak dari tempatnya dan Angga mengikuti.
***
Setelah dari rumah sakit, Helen menyempatkan mampir sejenak ke toko milik Tasya. Tentunya dirinya sudah izin lebih dahulu agar tidak disemprot oleh sang Papa karena terlambat kembali ke kantor.
"Kak Latasyanya ada?" tanya Helen pada pegawai yang menyambutnya.
"Oh, Bu Latasya, ada perlu apa ya?"
"Mau ketemu aja kok, bisa minta tolong dipanggil ngga ya Mba? Saya Helen, adiknya."
Pegawai itu tersenyum mengangguk, "Sebentar ya."
Pegawai itu pergi dan masuk ke sebuah ruangan setelah mengetuk pintu terlebih dahulu.
Beberapa detik kemudian, pintu kembali terbuka dan memunculkan pegawai yang tadi bersama Tasya yang segera menghampiri Helen.
"Helena?!" Tasya berjalan cepat ke arah Helen lalu memeluknya, Helen membalas pelukan Tasya dengan senyum sumringah.
"Kak Tasya makin cantik deh, Helen sampai pangling waktu itu ngga tau kalau itu kak Tasya!" Ucap Helen setelah mengurai pelukan.
"Kamu juga makin cantik sekarang lho," Tasya menjawil gemas hidung Helen membuat Helen terkekeh. "Kamu ke sini sama siapa?"
"Sendiri aja kak, tadi habis dari rumah sakit mau balik ke kantor Papa jadi sekalian mampir dulu."
"Owalah, ada apa nih memangnya?"
"Helen mau ketemu kakak sekalian mau belanja kue di sini soalnya kemarin Helen coba yang dibawa Mama dari sini enak."
Tasya tersenyum, "Kamu mau kue apa?"
"Helen mau tiramisu kak, ada kan?"
"Ada dong, tenang aja, di sini lengkap kok." Tasya mengerling sekilas sambil tersenyum, "Sebentar ya."
Helen mengangguk antusias, "Siap kak!"
Tidak lama, Tasya kembali dengan plastik berisi dua kotak kue, "Ini kotak yang bawah, tiramisu punya Helen, kalau yang atas, titip buat kak Kasya ya Helen."
"Sip! Jadi berapa nih kak?"
"Bawa aja Len."
Helen mendelik, "Ih jangan! Masa gratis sih? Kan Helen ke sini mau belanja bukan mau minta kue kak?!"
Tasya terkekeh, "Ngga apa-apa, kali ini karena kita udah lama ngga ketemu jadi anggap ini sebagai hadiah dari kakak buat Helen, tanda kangen."
Helen memicingkan matanya, "Bukan karena kak Kasya kan?"
"Bukan lah! Kan kalau kak Kasya udah nih, kalau buat Helen ya karena buat Helen bukan karena kak Kasya, ini hadiah karena kakak seneng banget bisa ketemu Helen lagi."
Tasya memang sudah menganggap Helen seperti adiknya sendiri sejak lama, hal ini semata bukan karena perasaannya pada Kasya namun karena rasa sayangnya, karena dirinya merupakan anak tunggal, keinginannya untuk memiliki adik sudah terpenuhi karena Helen.
"Beneran?"
"Beneran sayang."
"Ya udah, tapi lain kali Helen harus bayar ya kak, jangan kasih gratis lagi."
"Iya, tapi kalau nanti sesekali kakak kasih hadiah lagi ke Helen gak masalah kan?"
Helen tersenyum, "Gapapa kak asal jangan keseringan, ini kan usaha kakak."
Tasya ikut tersenyum, mengusap puncak kepala Helen, "Iya deh."
Helen segera berpamitan setelah mengucapkan terima kasih. Helen segera beranjak menuju kantor karena harus segera menyerahkan laporan yang dibawanya.
Malamnya, Helen baru saja tiba di rumah. Dirinya melihat lampu kamar kakaknya menyala dari sela pintu yang artinya sang kakak sudah pulang dari rumah sakit.
Helen terlebih dahulu masuk ke kamarnya untuk mandi dan berganti pakaian.
Setelah selesai, Helen beranjak ke kamar kakaknya. Mengetuk sejenak lalu membuka pintu sambil memegang kotak berisi kue pemberian Tasya untuk Kasya di tangannya yang lain.
Kasya terlihat sedang sibuk dengan laptopnya di atas meja.
"Kak," panggil Helen.
"Hm?" Kasya tidak mengalihkan tatapannya dari layar laptopnya. Namun sebuah kotak yang diletakkan Helen di samping laptop Kasya, berhasil mengambil perhatian Kasya.
"Apa ini?" Kasya menatap Helen yang sudah duduk di tepi kasurnya.
"Hadiah."
"Gue lagi ngga ulang tahun."
"Bukan dari gue kak."
"Lalu?"
"Dari calon kakak ipar dong." Helen tersenyum sumringah.
Kasya langsung tahu maksud Helen tanpa bertanya. Sejak dulu Helen memang sangat dekat dengan Tasya terlebih lagi Kasya bisa menebak apa isi kotak tersebut dari desain kotaknya.
"Lo mampir ke sana?"
Helen mengangguk.
"Ngapain?"
"Gue mau ketemu kak Tasya soalnya udah kangen, lama ngga ketemu. Tadinya mau sekalian beli kue soalnya kue di sana enak-enak, eh malah dikasih gratis, dan itu buat kakak katanya."
"Buat lo aja." Kasya kembali menatap laptopnya.
Helen memasang wajah cemberut,
"Ngga boleh gitu! Yang namanya pemberian dengan tulus itu ngga boleh ditolak, ngga sopan!"
"Ya udah lo aja yang makan, yang penting engga gue buang."
Helen berdecak sebal, "Lo mungkin ngga suka sama kak Tasya kak, tapi jangan ngga suka sama niat baiknya. Lagian ini kan kue kesukaan lo kak."
"Gue udah kenyang."
"Ya udah kan bisa lo makan nanti!" Helen merasa gemas dengan kakaknya sendiri.
"Buat lo aja."
"Kak..."
"Gue ngga mau."
"Kak Arkasya..."
Kasya menatap adiknya yang sudah memberikan tatapan kesal padanya,
"Kan lo bisa gantiin gue buat habisin ini kue, lagipula gue ngga minta dia buat kasih ini kan?"
"Iya kak gue tau, setidaknya lo hargain sedikit lah kak! Lo kira buat kue tuh jentikin jari langsung jadi?! Dan kak Tasya itu maunya lo yang makan bukan gue! Kak Tasya kasih ini tuh tulus bukan karena dia suka sama lo!" Helen bersidekap masih menatap Kasya. Keduanya saling bertatapan namun Kasya lebih dulu mengalihkan tatapannya ke arah lain, menghela nafas.
"Iya oke, gue terima dan gue makan." Kasya memilih mengalah, ia tidak sanggup berdebat lebih lama dengan adiknya.
"Dari tadi kek! Ngga perlu pake drama kan kalau kakak terima dari tadi?! Lagian ngga dosa gini kak lo makan kue buatan kak Tasya."
"Iya iya bawel, dari pada makin panjang ceramahan lo mendingan lo ambilin gue sendok biar bisa gue makan ini kue."
"Oke bos!" Helen mengangkat kedua ibu jarinya ke arah Kasya lalu pergi sejenak ke dapur.
Seperginya Helen, Kasya membuka kotak tersebut untuk melihat isinya walaupun Kasya sudah dapat menebak sebelum membukanya. Tasya memang selalu tau kue kesukaannya sejak dulu.
Cheese Cake.
Menurut Kasya, kue buatan Tasya terlihat enak meski dirinya belum mencoba kue yang ia dan mamanya beli beberapa hari lalu di toko Tasya. Dirinya hanya tidak berniat.
Perhatian Kasya teralih saat pintu kembali terbuka. Helen datang membawa sebuah sendok ditangannya yang langsung ia berikan pada Kasya.
Kasya akan menyendokan kuenya namun tertunda karena menyadari Helen sedang menatapnya saat ini.
"Lo kenapa masih di sini?"
"Gue cuma mau tau apa penilaian lo kak setelah memakan kue itu."
"Memangnya lo yang buat kue ini?"
"Bukan."
"Jadi bukan lo yang berhak tau penilaian gue."
"Kakak mau bilang ke kak Tasya langsung?" Helen memasang senyum sumringah.
"Enggak."
Senyum Helen menghilang berganti desisan sebal.
"Lo mau balik ke kamar lo atau gue ngga jadi makan nih kue?"
"Iya iya!" Helen segera meninggalkan kamar Kasya tanpa lupa menutup lagi pintunya.
Sebelum kembali makan, Kasya mengunci terlebih dulu pintu kamarnya agar Helen tidak masuk lagi secara tiba-tiba.
Sesendok kue masuk ke dalam mulut Kasya, membuatnya tersenyum tipis. Sesuai yang dipikirkan Kasya, rasanya tidak mengecewakan, bahkan tidak jauh berbeda dari yang pernah ia makan sebelumnya ketika masih kecil.
Meskipun Tasya selalu membuatnya pusing, setidaknya kue ini mampu menghiburnya saat ini.
...