Bab Enam

1417 Kata
jangan lupa vote dan komen ya, biar aku tahu kalau cerita ini ada yang baca. oh iya jangan lupa hari ini aku mau update extra part "gara-gara" reuni di IG aku ya, yang belum follow jangan lupa follow IG : Spezinel.NyonyahCullen0611 ...                 Kahfi sedang dalam masalah yang rumit.             Dan ini pertama kalinya pria itu menghadapi ini.             Ia sering dimodusin atau digoda oleh perempuan, namun baru kali ini ada seseorang yang membuatnya kewalahan.             Jika biasanya Kahfi menolak maka perempuan akan menghargai pilihannya.             Namun hal itu tidak berlaku pada Jian Li yang sudah berjalan di sampingnya dengan riang. Awalnya Kahfi lega melihat Jian Li yang sudah pulang terlebih dahulu, membuatnya bersyukur ia tidak harus mengikuti keinginan gadis ini atas insiden tadi ketika olahraga yang memaksanya untuk mengantar Jian Li.             Namun ternyata, bukannya pulang Jian Li sudah menunggunya di gerbang sekolah yang membuat Kahfi tidak bisa berkata-kata.             “Kahfi!” panggil Jian Li. Gadis itu memamerkan sebaris gigi rapinya, matanya yang sipit nyaris terpejam karena senyumnya yang lebar. Rambut panjangnya tertiup angina ketika ia berlari kecil menghampiri Kahfi yang masih diam di tempat saking terkejutnya. “Ayo pulang,” ucap Gadis itu.             Kahfi menatap tajam Jian Li. “Kamu bukannya sudah pulang?”             “Enggak kok, daritadi aku nungguin kamu di sini. Aku tahu kok kamu pasti malu kalau di lihat orang lain karena antar aku pulang, ayo Kahfi keburu teman-teman yang lain lihat!” Jian Li menarik lengan Kahfi namun Kahfi menepisnya lembut dan berjalan mendahului Jian Li.             “Jian Li, saya tidak menggunakan kendaraan pribadi.” Ucap Kahfi begitu mereka berjalan cukup jauh dari sekolah. Berharap Jian Li tidak memaksanya untuk mengantar pulang.             “Naik angkot enggak apa-apa kok, eh jalan kaki juga oke. Rumahku enggak terlalu jauh dari sini.”             Kahfi menghela nafas. “Kita naik angkot saja,” putus Kahfi sambil memberhentikan angkot yang lewat.             Mereka berhenti di gerbang komplek. Sejak tadi Jian Li mengajaknya berbicara dan hanya dibalas seadanya oleh Kahfi. Bukan apa-apa, Kahfi tidak pernah berdekatan dengan perempuan dan ia memang menjaga untuk tidak berkhalwat dengan perempuan.             “Saya antar sampai sini saja,” ucap Kahfi begitu ia berhenti berjalan di dekat pos satpam.             “Enggak mau mampir? Mamiku buat dimsum lho! Enak banget!”             “Terimakasih, tapi saya mau pulang.”             “Yaudah, makasih ya udah antar aku pulang.”             Kahfi mengangguk dan hendak berbalik namun Jian Li memanggilnya membuat ia menatap sebentar Jian Li lalu menundukkan kepala.             Dalam keyakinannya, seorang lelaki maupun perempuan harus menjaga pandangan mereka. jika seorang laki-laki tidak sengaja memandang seorang wanita, maka tidak mengapa dan ia tidak berdosa, tetapi ia harus sesegera mungkin memalingkan pandangannya dari wanita tersebut. Jika ia tidak melakukannnya dan malah terus menerus memandangi wanita tersebut, maka hal tersebut dilarang dan hukumnya haram karena dikhawatirkan dapat menimbulkan perasaan tertarik dan lainnya.             “Aku chat kamu, kamu mau balas kan?”             “Tergantung, jika itu membahas tentang tugas sekolah Insya Allah akan saya respon secepat mungkin.”             Jian memajukan bibirnya. “Ih.. basi!”             “Saya harus pulang Jian Li, karena sore ini saya ada kajian.”             “Kajian itu apa? Aku boleh ikut enggak?”             Kahfi melirik sedetik salib yang ada di gelang Jian Li. “Tidak boleh maksud saya tidak bisa karena itu kegiatan saya mencari ilmu yang berkaitan dengan agama saya.”             “Ohh… kayak ngaji gitu ya?”             “Saya pulang duluan, permisi.”             …             “Ya ALLAH AINUN!”             Umi yang baru saja pulang dari supermarket terkejut melihat Ainun yang memekik hampir saja terkena cipratan minyak.             “Jangan langsung kena air sayang, sebentar Umi ambilkan salep dulu.”             Ainun mematikan kompor dan melihat kondisi dapur yang ia berantaki. Ainun baru menyadari kekacauan yang ia buat dan ia merasa malu karena Umi melihatnya.             Padahal Ainun ingin memasak nasi goreng untuk Uminya yang baru saja pulang berbelanja.             “Masak lagi, Nun?” tanya Umi meraih tangan Ainun hati-hati dan mengolesi jari Ainun yang terkena cipratan minyak panas.             “Maaf Umi, nanti Ainun bereskan semuanya.”             Ummi tersenyum dan membenarkan jilbab putrinya yang miring. Padahal sedang di rumah dan hanya ada mereka berdua, namun Ainun selalu mengenakan jilbabnya. Katanya kalau ada orang datang tidak perlu repot-repot mengenakan jilbab.             “Nanti Umi bantu. Memangnya kamu mau bikin apa? Sampai dapur jadi kayak kapal pecah gini?”             “Mau bikin nasi goreng Umi,” cicit Ainun malu.             Umi terkekeh, berjalan menuju kompor dan melihat nasi yang sudah berubah menjadi warna hitam gosong. Entah bagaimana nasi bisa hangus seperti ini?             “Kamu nyalain apinya besar ya? Bisa sampai keras dan hangus kayak gini.”             “Maaf Umi,”             “Udah enggak apa-apa, Umi malah kagum sama Ainun karena Ainun tidak pantang menyerah untuk belajar masak.”             “Padahal Ainun udah ngikutin resep di Utub, tapi kenapa tetap enggak berhasil ya Umi?”             “Namanya juga belajar, enggak langsung bisa kan? Umi juga sama pernah kayak giniu. Yaudah kita bikin bareng-bareng ya, tapi beresin ini dulu.”             “Biar Ainun yang cuci piring sama katelnya Umi,” ucap Ainun segera mengambil piring kotor ke wastafel.             Umi menatap Ainun yang sedang mencuci piring di wastafel. Meskipun Ainun tidak berhasil membuat masakan namun membuat Umi merasa bangga terhadap putri tunggalnya itu.             Sejak kecil Ainun adalah anak yang penurut, cerdas, santun dan selalu disukai siapapun. Parasnya yang cantik nan lembut serta tutur kata yang selalu menyenangkan selalu membuat orang-orang mengagumi putrinya. Seringkali Umi diajak untuk berbesan dengan rekan pengajian atau tetangga mereka. Bahkan atasan suaminya pun pernah mengunjungi rumah mereka hanya karena sang atasan ingin melihat Ainun, terpesona dan memintanya untuk berbesan.             Namun Umi dan Abi tidak pernah menjawab dan menghargai jawaban serta keputusan Ainun. Apalagi Ainun masih bersekolah kelas 2 SMA, tentu saja masalah pernikahan bukanlah hal yang terburu-buru.             Meski di mata orang-orang putrinya begitu sempurna, namun di mata Umi dan Abi, Ainun sama seperti anak lainnya yang masih manja dan ceroboh. Kekurangan Ainun yang hanya diketahui Umi dan Abi jika putrinya tidak bisa memasak.             Sungguh aneh, padahal Ainun selalu membaca buku resep, menonton pertandingan memasak di TV dan mengikuti tutorial memasak bagi pemula namun setelah ia praktekan selalu saja gagal. Memasak telur saja bisa tidak berbentuk.             Satu-satunya yang Ainun mampu membuat mie instan dengan telur, sayur dan cengek.             Apalagi Ainun memiliki impian menikah muda, maka dari itu gadis itu begitu gigih belajar memasak berharap kelak ia bisa memberikan gizi terbaik bagi suami dan putra putrinya kelak.             “Minyak untuk nasi goreng itu enggak usah banyak, kalau banyak nanti lengket.” Ucap Umi sambil mempraktikan membuat nasi goreng dan Ainun yang berdiri di sebelah menyimak begitu fokus.             “Tuh lihat, nasinya bercampur sama telur kan. Enggak lengket banget! Boleh dibesarin apinya, tapi enggak usah terlalu lama.”             Setelah nasi goreng tersaji. Umi dan Ainun makan bersama di meja makan.             “Ini enak lho Umi!” puji Ainun.             Umi menggenggam tangan Ainun. “Makan yang banyak ya,”             Ainun mengangguk,             “Umi, kira-kira aku bakalan bisa enggak ya membuka kedai sesuai mimpi aku?” tanya Ainun ketika mereka sedang menonton TV sambil menunggu ashar.             “Insya Allah bisa. Kenapa kamu kayak pesimis?”             “Soalnya aku udah belajar masak tapi kok enggak ada kemajuan ya Umi?”             “Namanya juga belajar dan usaha, ya tidak bisa langsung bisa. Dibutuhkan waktu untuk menjadi bisa. Insya Allah asalkan berikhtiar, pasti akan ada hasil. Umi juga lihat semakin hari kamu semakin pintar memotong bawang. Awalnya kamu potong bawang besar-besar, sekarang jadi kecil-kecil dan tipis. Itu kemajuan lho!”             Ainun tersenyum dan memeluk Umi erat.             “Umi tuh senang karena di usia semuda ini, kamu sudah memiliki mimpi untuk menjadi pengusaha dan Umi berharap Ainun meneladani cara berdagang Rasulullah. Menjual makanan halal, tidak mencari untung yang besar dan memberikan yang terbaik buat konsumen Ainun.             Ainun tahu kalau Rasulullah menyuruh umatnya untuk berdagang?”             Ainun mengangguk.             “Tahu alasannya?”             “Berdaganglah kamu, sebab lebih dari sepuluh bagian penghidupan, sembilan di antaranya dihasilkan dari berdagang. Alquran juga memberikan motivasi bagi umat Islam untuk berdagang seperti yang diterangkan dalam surah al-Baqarah (2) ayat 198: Bukan suatu dosa bagimu mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu” jelas Ainun.             “Betul sekali, bahkan Rasulullah tidak pernah mengambil keuntungan dalam dagangannya. Beliau selalu jujur kepada konsumennya mengenai modal yang beliau keluarkan dalam dagangannya. Namun karena kejujurannya Allah melimpahkan rezeki tidak terduga kepada Rasulullah.             Ainun, setiap orang pasti akan mengalami dari tidak bisa hingga menjadi bisa. Mungkin apa yang Ainun alami saat ini adalah proses untuk menjadi bisa. Kelemahan manusia adalah menjadi terburu-buru, hingga mereka tidak melihat bahwa ada perubahan dalam usahanya meskipun itu hanyalah hal yang kecil.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN