Bab Tujuh

1410 Kata
   pelan-pelan ya alurnya, biar kerasa feelnya hehe ...             “Kamu ngapain ke sini?” tanya Deeva mendapati Ario sudah berada di depan rumahnya pagi-pagi. Pria itu sedang duduk di depan motornya sambil memegang helm.             “Mau ngajakin kamu berangkat bareng,”             Deeva melirik ke belakang. Bersyukur orangtuanya masih di dalam rumah, jika tidak ia pasti akan ditanya-tanya. “Kok enggak chat dulu sih?”             “Kan biar surprise,” ujar Ario menyerahkan helm berwarna pink yang ia siapkan untuk Deeva ke gadis berjilbab itu.             “Yaudah yuk berangkat,”             “Tapi aku mau sapa orangtua kamu.”             Deeva menatap panik. Ia tidak bisa bilang kepada Ario jika orangtuanya tidak suka jika ia dekat dengan laki-laki. “O-orangtua aku udah berangkat kerja. Ayo!” Deeva segera naik ke atas motor Ario.             Deeva membuka kaca helmya begitu motor melaju cukup jauh dari rumahnya. “Yo, lain kali kalau mau antar aku kamu harus chat dulu ya? Jangan dadakan kayak gini.”             “Memangnya kenapa?”             “Yaaa biar kamu enggak nunggu lama,”             Ario terdengar tertawa. “Ya ampun Va, aku nunggu jawaban cinta aja udah hampir mau setahun tapi aku sabar, ya apalagi masalah nunggu kamu keluar rumah. Itu bukan masalah kok!” Ario menepuk lutut Deeva, seakan menenangkan gadis itu.             Deeva menggigit bibirnya, merasa tidak nyaman mendengar ucapan Ario padahal Ario tidak bermaksud menyinggunya.             Pria itu memang sudah menyatakan perasaannya sejak mereka kelas 1 SMA dan Deeva masih tidak memberikan jawabannya.             Alasannya? Deeva merasa tidak yakin, apalagi Ario juga pernah menyatakan cinta kepada Ainun sahabatnya. Rasa-rasanya aneh jika kini Ario menyukainya, walaupun dirinya juga menyukai Ario.             Alasan lainnya, keluarganya berapa kali mengingatkan agar dirinya tidak berpacaran dan fokus dengan belajar. Keluarga cukup ketat. Ayah Deeva seorang tentara dan Ibunya guru sementara Kakaknya yang pria kuliah diperguruan tinggi terkemuka, maka Deeva memiliki tekanan dalam hal akademis.             Ia tidaklah sebrilian keluarganya, namun Ayah dan Ibunya berharap dirinya menjadi seorang dokter. Sementara impian Deeva menjadi seorang penulis. Ia ingin kuliah jurusan sastra yang sangat diminatinya.             Begitu sampai sekolah, Deeva dan Ario berjalan menuju kelas tanpa suara karena sejak di jalan Deeva melamun. Mata Ario menemukan Sarah dan Ainun yang sedang duduk di depan kelas.             “Dev, tasnya biar aku simpenin di meja kamu.”             “Enggak usah, aku bisa sendiri kok.”             Namun Ario mengambil tas Deeva yang tersampir di pundak kiri gadis itu. Ario tersenyum dan masuk ke dalam kelas sambil menjinjing tas Deeva.             “Cieee pagi-pagi udah disuguhin roman picisan euy!” seru Sarah.             Deeva duduk di tengah antara Ainun dan Sarah. “Ario tuh nekad banget datang ke rumah buat jemput dong,” adunya kepada kedua sahabat.             “Uwoww terus gimana reaksi Bapak Mamat dan Ibu Julaeha?” tanya Sarah dramatis.             Deeva menepuk gemas lengan Sarah. “Enggak usah perjelas nama emak bapak gue ye!”             Sarah terkikik. “Abis begemana, gue kalau inget rumah lo yang yang keinget muka cemberut bapak sama emak lo tiap lihat gue.”             “Ya gimana emak Bapak gue kagak ngambek, lah lo datang ke rumah cuma pake BH sama celana ketat doang. Emak gue langsung nyeramahin gue!”             “Hahaha ya abis gue kan baru balik yoga langsung ke rumah lo. Lagian yang gue pake kan baju olahraga bukan bikini.”             “Tahu ah?! Pokoknya lo kalau ke rumah gue lagi, lihat-lihat baju ye.”             Ainun yang sejak tadi hanya mendengarkan kedua sahabatnya hanya tersenyum sambil sesekali mengelus pundak Deeva. “Jadi Ayah udah ketemu Ario?”             Deeva menggeleng. “Gue takut Nun, lo kan tahu gimana Ayah sama Ibu kalau udah dengar tentang teman cowo gue.”             “Mungkin itu cara Ayah sama Ibu ngelindungi kamu.”             “Iya sih, cuma jadinya bikin aku enggak nyaman. Gimana kalau Ario jemput aku lagi? Syukur hari ini Ayah masih di dalam, kalau Ayah lagi di luar gimana? Pasti Ayah bakalan marah-marah.”             “Kenapa enggak jujur aja sama Ario? Insya Allah dia bakalan ngerti.”             “Tuh dengerin Ainun, lo kudu jujur sama si Ario termasuk jangan gantungin perasaan dia nyaho?”             “Tapi kalau Ario sedih gimana? Gue enggak tega ngebayanginnya.”             “Dicoba aja dulu,” Ainun berdiri. “Masuk yuk bentar lagi masuk.” Ajaknya.             Begitu masuk ke dalam kelas, seperti biasa kelas ramai. Beberapa orang sedang ngobrol di kursi belakang, Bobby sudah bercanda menggunakan dasi yang ia simpan di atas kepala, dan Kahfi yang sedang membereskan meja guru.             Ainun duduk di meja dan mengambil semua buku di dalam tas dan menyusunnya sesuai jam mata pelajaran lalu menyimpan di bawah meja. Gadis itu sambil menunggu bel masuk seperti biasa menulis di bukunya, sementara Deeva dan Sarah sedang bercanda di sebelahnya.             Di sisi lain Jian Li baru saja datang dan bersyukur ia tidak terlalu terlambat.             “Pagi Kahfi,” sapa Jian Li pada Kahfi yang sedang membereskan meja guru.             “Pagi,” sapa pria itu singkat tanpa menatap Jian Li. Kahfi segera berjalan menuju kursinya.             Jian Li menghela nafas melihat Kahfi. Pria itu lelaki tertampan dan tersulit di dekatinya. Kemarin Jian Li mencoba men chat basa-basi pada Kahfi namun pria itu hanya me read saja. Amsyongg!             Namun anehnya, semangat Jian Li tidaklah surut. Sebaliknya, gadis itu semakin menyukai Kahfi dan menginginkannya.             Mata Jian Li melirik Kahfi yang kini sibuk entah menulis apa di buku, lalu tanpa sengaja mata Jian Li menatap Ainun yang sama seperti Kahfi sedang menulis. Seketika Jian Li merasa jengkel dengan kekompakan kedua orang itu.             Padahal belum ada guru, kenapa mereka kompak menulis?   …             Ketika jam istirahat, dengan langkah terburu-buru Sarah berjalan menuju gedung belakang sekolah yang sepi.             Di sana seorang pria yang tengah merokok menatapnya, seakan sudah menunggunya.             “Lama,” ucap pria itu kepada Sarah.             Sarah mengabaikan dan mengambil rokok dari mulut pria itu dan menghisapnya. “Ngapain sih lo nyuruh gue ke sini?”             “Gue mau pinjem duit,”             “Buat apa? Utang kemarin aja lo belum lunas, sekarang mau ngutang lagi.”             “Utang kemarin gue lunasin minggu depan, gue baru digaji minggu depan. sekarang gue urgent butuh buat bayar kosan.”             “Berapa?” tanya Sarah membuka dompetnya.             “500,”             Sarah memberikan 5 lembar berwarna merah pada Yogi, kakak kelasnya. Ia mengenal Yogi karena mereka suka nongkrong di The Mantion, sebuah club malam yang sering mengadakan performance band indie. Banyak anak-anak sekolah yang sering mengunjungi ke sana, tak terkecuali Sarah yang seringkali kesepian.             Di sanalah ia bertemu Yogi, sang kakak kelas. Yogi ternyata bernasib sama dengannya, namun bedanya Yogi pergi dari rumah dan memilih hidup mandiri. Yogi ingin lepas dari bayangan keluarganya yang kaya namun melupakan dirinya.             Yogi akhirnya memilih tinggal di kosan sempit dan bekerja sebagai pelayan restoran sepulang sekolah. Padahal pria itu sudah kelas 3 SMA, namun Yogi benar-benar berusaha memilah antara pekerjaan dan sekolah. Itulah yang membuat Sarah kagum kepada kemandirian dan kegigihan pria kurus di sebelahnya.             Yogi melirik foto di dompet Sarah yang masih terbuka dan tersenyum kecil. “Salamin ya,”             “Siapa? Ainun? Kenapa enggak deketin langsung sih?”             Yogi menggaruk tengkuknya. Ia memang naksir pada gadis tercantik di sekolah itu sejak awal. Bahkan ia selalu menitipkan salam pada Ainun melalui Sarah. “Ah elo kan tahu sendiri, lihat di ague udah minder.”             “Ainun baik, enggak pilih-pilih berteman. Buktinya sama gue dia mau sobatan padahal lo tahu sendiri gue di cap apa sama orang lain.”             “Lo sendiri udah berhenti ke club?”             Sarah tertawa. “Kalau gue enggak ke club ya ke mana lagi? Bosen gue di rumah!”             Yogi menghela nafas dan memasukkan uang yang diberi Sarah dan memasukkan ke dalam dompet. “Lo boleh aja ke club tapi jangan sampai teler.”             “Santai bos,”             “Thanks ya Rah, minggu depan gue lunasin.”             Sarah membuang rokok dan memakan permen yang selalu ia simpan di sakunya untuk menyamarkan nafasnya. Bersama Yogi mereka berjalan menuju kantin.             “Dari mana aja sih lo? Kita daritadi nyariin lo tahu!” omel Deeva ketika melihat Deeva yang baru masuk bersama Yogi.             Mata Yogi melirik Ainun yang sedang menatap Sarah. Jantung Yogi berdebar keras melihat wajah cantik gadis bermata biru itu.             “Sorry-sorry, tadi gue dari toilet terus ketemu Kak Yogi. Eh Kak Yogi makan bareng kita boleh kan?”             “Enggak usah, gue mau ke kelas kok.” Elak Yogi panik.             “Santailah Kak, gue traktir kok. Enggak apa-apa kan Ainun?”             Ainun yang merasa dipanggil hanya mengangguk dan membuka kotak makannya yang selalu ia bawa.             Yogi dengan gugup duduk di depan Ainun. Mata Yogi melirik Sarah dengan kesal, sementara Sarah hanya cengengesan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN