Bab Delapan

1167 Kata
UP terakhir yaaa nanti aku bakalan UP lagi kalau udah ramai okeeyy jadi kalau mau aku UP terus,  wajib komen dan like oke guysss enggak susah kok cukup goyang jempol aja, enggak bayar juga. ...                 “Masak sendiri?” tanya Yogi pada Ainun.             Ainun menggeleng. “Umi yang buatin Kak,”             Yogi tersenyum malu, sedikit merutuki dirinya yang tidak tahan untuk bertanya. Soalnya Yogi selalu melihat Ainun membawa bekal makan.             Begitu selesai makan, Ainun segera memasukkan tempat makannya ke dalam kantong dan melihat kedua sahabatnya yang masih makan. Ainun merasa tidak nyaman dengan tatapan kakak kelasnya yang mengarah kepadanya sekali-kali. “Aku duluan ke kelas ya,”             “Ih kok buru-buru sih Nun? Gue masih makan nih.” Keluh Sarah.             “Saya mau duha dulu,”             “Oh oke, ketemu di kelas ya.”             Ainun mengangguk dan menatap Yogi sebentar yang masih memperhatikannya. “Duluan Kak,”             Sarah menyipit melihat Yogi yang masih menatap Ainun bahkan ketika gadis berjilbab itu sudah pergi.             “Sana ikut dhuha bareng Ainun,” ujar Sarah.             Deeva yang mendengarnya tertawa pelan. “Kalau dhuha cuma buat dilihat Ainun jangan harap deh Kak, hehe”             “Namanya juga usaha.” Gumam Sarah mengetuk jilbab Deeva.             Yogi hanya diam dan melanjutkan makan. Ia menyukai Ainun, bahkan rasanya tak bosan memandang paras cantik gadis itu. lagi diam saja Ainun terlihat seperti boneka, apalagi ketika matanya melirik sungguh ia terpesona dengan warna biru yang tersematkan pada mata Ainun.             Tetapi Yogi sadar, dirinya bukanlah pria soleh. Shalat saja bisa dihitung oleh jari, pernah ia bertekad untuk shalat lima waktu namun ternyata menjalani kewajiban itu godaannya banyak sekali. Akhirnya ia shalat seingatnya saja.             “Eh tuh Ario,” bisik Sarah kepada Deeva.             Deeva mengangkat kepalanya dan menemukan Ario sedang memesan kupat tahu. Pria itu bersama Bobby dan sepertinya tidak menyadari kehadiran Deeva. “Biarin aja,”             “Lagi berantem ya?”             “Enggak usah kepo lo, Nenek!”             Sarah mendecih. “Enggak seru lo!”             Yogi terkekeh. “Kalian tuh berantem terus tapi anehnya kok bisa sahabatan sih?”             “Terpaksa,” jawab Deeva sinis.             “Tega lo!”             “Yang satu alim. Yang satu cepet baper, yang satu bawel.”             “Ih siapa yang cepet baper?” tanya Deeva.             “Lo,” jawab Yogi dan Sarah berbarengan.             Deeva cemberut sementara Sarah tertawa keras di sampingnya. “Lo tuh baper tahu enggak, ambekan! Tapi si bikin kangen gueeee”             “Ih apaan sih lo meluk-meluk? Merinding tahu gue?!” Deeva melepas pelukan Sarah. …             Sementara Ainun yang baru akan masuk mushola sedikit bingung melihat Jian Li yang sedang duduk di dekat loker sepatu mushola. “Jian Li? Kamu ngapain di sini?”             “Eh Ainun, gue lagi nunggu Kahfi.”             “Hah? Kahfi?”             Mata Ainun sedikit terkejut ketika Kahfi baru saja keluar dari masjid. Kahfi pun sama terkejutnya menemukan Ainun, namun pria itu dengan cepat menatap Jian Li dengan ekspresi jengkel.             “Kamu ngapain di sini?”             “Aku nungguin kamu shalat, udah beres?”             Kahfi melongo.             Ainun berdeham. “Sa-saya masuk dulu, permisi.”             Jian tersenyum puas melihat punggung Ainun yang baru saja masuk ke dalam mushola. Lalu ia melirik Kahfi yang sedang memakai sepatu. “Kan belum adzan, kok kamu shalat sih?”             “Saya shalat dhuha,” jawab Kahfi setelah menalikan sepatunya.             “Dhuha?” ulang Jian Li yang kini mulai berjalan di samping Kahfi.             “Shalat sunah, di mana ibadah sunah itu tidak dikerjakan tidak menjadi dosa namun jika dikerjakan akan mendapatkan pahala.”             “O…”             Kahfi berjalan lebih cepat meninggalkan Jian Li. Pria itu risih karena orang-orang menatapnya. Apalagi Jian Li berdiri cukup dekat dengannya.             “Nanti kamu pulang antar aku kan?”             Kahfi menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Jian Li. “Saya enggak ada kewajiban untuk mengantar kamu pulang. kemarin itu karena saya terjebak dalam jebakan yang kamu buat,”             “Iya sih tapi…”             “Dan berhenti untuk bersikap sok akrab dengan saya Jian Li,”             “Kenapa? Kamu enggak suka?” cicit Jian Li.             “Saya tidak suka.” Tegas Kahfi dan berjalan masuk ke dalam kelas.             “Kahfi, tunggu sebentar!” kejar Jian Li pada Kahfi namun pria itu mengabaikannya membuat Jian Li hanya menatap sedih di ambang pintu.             “Duh sorry nih cantik, tapi dirimu menghalangi kakang buat masuk.” Ucap Bobby pada Jian Li.             Jian mengabaikan gurauan Bobby dan berjalan menuju tempat duduknya.             “Kenapa tuh si Ling ling?” tanya Bobby pada Ario.             “Tahu, lagi bulanan lagi.”             “Cieee tahu aja lo gejala cewek lagi berdarah! Jangan-jangan lo suka ngitungin mensnya si Deeva nih,”             “APA??”             “Eh buset gue terkedjoeet!” ucap Bobby menatap Deeva yang sudah ada di belakang mereka.             “Berisik ceking!” maki Sarah. “Eh ngapain kalian ngomongin mens Deeva hah? Jangan-jangan lo lo ya yang suka nyuri soptek punya dia.”             “Aww emang sopteknya Deeva mau kita apain? Dipake mah sakit atuh, kelipet puny ague.” Jawab Bobby dengan mimik tersakiti.             Deeva cemberut menatap Ario, sementara Ario ingin sekali memaki sahabatnya yang kalau bicara tidak pernah disaring. Kalau begini kan dia yang kena.             “Jangan dengerin Bobby, dia lagi kumat gilanya.” Ucap Ario pada Deeva.             Deeva mendelik. “Permisi,”             “Rasain lo,” bisik Sarah pada Ario.             “Heh Nenek jangan jadi kompor,” ucap Bobby menarik rambut Sarah.             “Diem lo ceking?! Lo sih ngomongin mens si Deeva udah tahu tuh anak lagi PMS.”             “Duh, kayaknya gue kudu nulis jadwal mens anak-anak cewe nih,”             “b**o lo?!”             Ario menatap kesal Sarah dan Bobby yang sekarang sedang berdiskusi soal mens. Ario berharap jika Tuhan khilaf dan menjodohkan mereka.             Ainun masuk ke dalam kelas yang baru saja bel masuk. Buru-buru gadis itu duduk di bangkunya dan bersyukur tidak terlambat.             Mata Ainun menemukan Deeva yang terlihat murung. “Kenapa? Kok murung?”             Deeva menggeleng.             Mata Ainun melirik Ario yang terlihat diam. Sepertinya Deeva dan Ario sedang ada masalah.             Ainun menghela nafas pelan. Inilah mengapa ia tidak mau terlibat kasmaran di usia muda seperti ini. Selain berdosa, hal tersebut juga menganggu konsentrasi untuk belajar.             Ia sadar di usia 17 tahun ini, emosi lebih mendominasi daripada logika. Maka, Ainun sebisa mungkin untuk menghindari hal itu. ia hanya ingin dekat dengan pria yang insya Allah kelak menjadi suaminya. Maka sejak dini, Ainun ingin mempersiapkan diri jika kelak ia bisa menikah muda seperti impiannya ia bisa menjadi istri yang baik sejak ibu yang pintar merawat keluarga kecilnya seperti Umi.             Jika ada yang bertanya, pernahkan Ainun tertarik dengan lawan jenis? Maka jawabannya Ya, namun Ainun tidak pernah mengutarakannya kepada siapapun. Teman berbicaranya hanyalah Allah. Ia meminta kepada Allah untuk menyimpan rasa ini dalam-dalam, dan jika perasaan ini akan muncul dalam keadaan halal.             Ia tidak ingin buta karena cinta yang tak pasti.             Maka ketika kau merasakan cinta datang, perdekatkanlah dirimu pada Allah. Mintalah Allah menyimpan rasa itu dalam-dalam dan hadirkan kembali ketika ia sudah menjadi pasangan halalmu agar rasa yang Allah hadirkan adalah cinta yang berasal dari imanmu.             Cukuplah Allah saja yang tahu.             
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN