Bab Sembilan

1419 Kata
Sepinyaaaa... yaudah untuk menghargai pembaca Nyonyah yang udah komen. di hari libur yang hareudang ini Nyonyah update satu chapter yeee chapter selanjutnya? tunggu banyak yang komen ah, kalau enggak mah yaudah suka-suka Nyonyah kiss-kiss buat yang udah komen & love "muaaach" ...               Kahfi baru saja membereskan kelasnya seorang diri. Ia memang selalu pulang paling lambat karena ia harus mengecek hasil piket kelas teman-temannya. Sebenarnya Kahfi ingin pulang lebih awal, namun sejak semester kemarin selalu saja ada keluhan dari guru mengenai spidol kelasnya yang hilang atau tinta yang bercecer, belum lagi tempat sampan yang sering menghilang.             Akhirnya setelah dua hari Kahfi memantau, teman-teman yang mendapatkan jadwal piket setelah pulang sekolah memanglah ceroboh dan tidak bertanggung jawab. Mereka hanya membersihkan kelas sekedarnya saja, asal absen dan pulang tanpa menutup pintu serta memasukkan tempat sampah ke dalam kelas yang tentu saja seringkali di ambil oleh entah siapa. Walaupun tidak semua seperti itu, kecuali Ainun dan kedua sahabatnya yang setiap mereka piket keesokan harinya kelas keadaan rapi dan bersih.             “Sudah selesai?”             Begitu Kahfi menutup pintu kelas, ia menoleh dan mendapati Jian Li yang sudah menungguinya. Gadis itu juga membantunya membuang sampah serta mengisi tinta spidol yang akan dipakai besok.             Entah karena merasa lelah sendiri dengan keras kepala Jian Li yang mendekatinya, Kahfi akhirnya membiarkan Jian Li untuk berada di sisinya. Jian Li sendiri ternyata gadis yang cukup nyaman diajak berbicara, sifat periangnya terkadang membuat Kahfi merasa kagum karena gadis itu sepertinya jarang sekali sedih atau malah tidak pernah.             Kahfi tahu jika Jian Li menyukainya, gadis itu selalu perhatian kepadanya bahkan seringkali memberikan makanan kepadanya. Dan Kahfi mulai menganggap Jian Li sebagai teman dekatnya, bahkan Kahfi kini mulai sering mengantar Jian Li pulang ke rumahnya.             “Tahu enggak sih tadi Bobby ambil makanan aku! Padahal aku bawa croissant cuma sedikit. Alhasil kamu cuma kebagian 1 aja.” Keluh Jian Li begitu mereka turun dari angkot.             “Satu juga sudah kenyang,”             Jian Li mendengus. “Bobby tuh makan banyak tapi kok badan ceking ya,”             Kahfi terkekeh. “Bobby memang enggak ada bakat buat gendut,”             Jian melirik Kahfi yang kini tersenyum dan bercerita mengenai Bobby. Dalam hati Jian Li merasa sangat bahagia karena ia menjadi lebih dekat dengan Kahfi walaupun pria itu masih sedikit menjaga jarak namun dengan melihat Kahfi yang banyak tersenyum serta sukarela mengantarnya pulang ke rumah tentu merupakan perkembangan yang luar biasa bagi Jian Li.             “Shalat ashar dulu kan?” tanya Jian Li ketika ia melihat masjid di perumahan rumahnya.             Kahfi mengangguk.             Begitu sampai di masjid, Kahfi menitipkan tasnya kepada Jian Li dan gadis itu menunggu Kahfi shalat di teras masjid sambil memeluk tas pria itu.             Wangi kahfi, ucap Jian Li menghirup sisa aroma pria itu pada tas yang di peluknya dengan erat.             Selesai menjalankan shalat ashar, Kahfi segera keluar masjid dan melihat Jian Li yang sedang menunggunya sambil memeluk tasnya. Padahal Jian Li bisa saja menyimpan tasnya di sebelah, entah mengapa gadis itu malah memeluknya seakan takut hilang.             Gadis aneh, pikir Kahfi.             “Sudah selesai shalatnya?” tanya Jian Li pada Kahfi yang kini sedang memakai sepatu di sebelahnya.             “Ya, ayo kita jalan lagi.”             Jian Li menyerahkan tas Kahfi dan mereka berjalan kembali menuju rumah Jian Li. “Mau mampir dulu?”             “Saya langsung pulang, takut sampai rumah maghrib karena macet.”             Jian Li mengangguk mengerti walau sebenarnya ia berharap Kahfi tinggal lebih lama. “Oh iya, besok keluargaku mau pergi ke lembang untuk berendam. Kamu.. mau ikut?”             Kahfi tertegun mendengar ajakan Jian Li.             “Enggak banyak kok, cuma Mami Papi sama ciciku aja.”             “Lihat nanti ya, soalnya saya kalau libur suka ikut ke pasantren sama Abi.”             “Pasantren? Aku mau lihat dong pasantren itu kayak apa!”             “Hah?”             “Eh aku boleh ikut enggak?”             Kahfi menghela nafas. “Pasantren itu bukan tempat wisata Jian Li, pasantren itu tempat menuntut ilmu agama secara lebih mendalam. Dan lagi di pasantren saya, perempuan dan laki-laki terpisah, jadi kalau kamu ke sana pasti tidak diijinkan.”             “Kenapa di pisah?”             “Lain kali saya jelaskan ya, soalnya saya harus cepat pulang sebelum jam pabrik keluar dan macet.”             “Hati-hati di jalan ya Kahfi,”             “Terimakasih.” …             Ainun yang baru saja selesai mengikuti kajian rutin setiap sore hingga maghrib di daerah rumahnya, sedikit terkejut ketika ia berpapasan dengan Kahfi yang masih menggunakan seragam sekolah. Padahal sudah maghrib namun mengapa pria itu baru pulang jam segini.             Mata Ainun dan Kahfi bertatapan dan sontak gadis itu menundukkan kepala. “Kamu baru pulang?” tanya Ainun ketika posisi mereka sudah cukup dekat.             Kahfi hampir saja tersedak ludahnya karena terkejut Ainun yang menanyainya. “Iya,”             “Kalau begitu saya pulang dulu, Assalamualaikum Kahfi.”             “Waalaikumsalam, Ainun.” Jawab Kahfi pelan.             Sampai di rumah Kahfi menyalami Uminya yang baru saja selesai shalat maghrib. Uminya yang masih memakai mukena memandangnya khawatir.             “Darimana saja? Umi tuh khawatir sama Mas.”             “Maafin Umi, Mas tadi..” Kahfi terdiam sebentar. Menimbang apakah ia harus berkata jujur terkena macet karena mengantar teman perempuan atau tidak. “Mas tadi belajar kelompok di rumah Ario,”             Umi mendesah. “Mas harusnya bilang sama Umi, HP Mas juga enggak bisa di hubungi.”             Kahfi mengambil HP di dalam tas dan mengernyit mendapati HPnya mati. Sepertinya karena lowbet. “Maafin Umi, Mas.”             “Yasudah Mas sudah maghriban?”             Kahfi menggeleng.             Umi melirik jam di dinding. “Sebentar lagi maghribnya selesai, Mas shalat dulu aja ya Umi mau siapin makan.”             “Iya, Umi.”             Kahfi menaiki tangga rumah menuiu kamarnya. Mata Kahfi menoleh pada Umi yang kini sedang menyiapkan makan malam. Kahfi menggigit bibir merasa bersalah karena ia berbohong pada Umi. Ia seharusnya jujur jika dirinya akhir-akhir ini pulang telat karena mengantar Jian Li pulang. namun Kahfi bisa membayangkan raut kecewa Umi.             Begitu sampai kamar, Kahfi segera menunaikan shalat maghrib dan setelahnya Kahfi membersihkan diri dan berganti baju. Setelah shalat isya ketika Kahfi hendak ke bawah untuk makan, Kahfi menyalakan HPnya yang baru di cas dan tersenyum menemukan chat dari Jian Li. Jian Li IPA 2   : Malam Kahfi, lagi apa? Kahfi               : Malam juga Jian Li, saya baru selesai shalat             Kahfi menimbang apakah ia harus bertanya kembali pada Jian Li atau menutup aplikasi chat. Namun entah mengapa Kahfi rasanya ingin mengetahui apa yang sedang gadis itu lakukan malam ini. Kahfi               : Kamu? Jian Li             : Aku baru selesai makan malam. Hari ini Mami masak ayam panggang pakai saus tomat, enak banget lho! Kamu udah makan?             “MAS AYO MAKAN DULU!” Teriak Umi dari bawah. Kahfi               : Baru mau makan             Kahfi menyimpan HPnya dan kembali mencas lalu keluar kamar menuju ruang makan.             “Abi mana?” tanya Kahfi menyadari Abi tidak ada. biasanya jam segini Abi sedang membaca di ruang keluarga bersama Umi.             “Abi tadi sore harus ke Surabaya, mendampingi Kyai Abdul untuk acara haul di sana.”             “Dadakan ya?”             “Enggak dadakan, kemarin kan Abi udah bilang pas malam. Mas sih sibuk lihat HP. Heran deh Umi, kenapa sih Mas akhir-akhir ini lihatin HP terus.”             “Masa sih?”             Umi menatap Kahfi dengan pandangan curiga. “Mas lagi dekat sama perempuan?”             Seketika Kahfi merasa gugup dan Umi menghela nafas karena menyadari dugaannya benar. Wajar saja, putranya adalah lelaki normal yang sedang dalam fase puber.             “Umi ngerti kok Mas, Umi bahkan Abi juga pernah dalam posisi menyenangi lawan jenis. Malah kalau tidak seperti itu ya Umi pasti mempertanyakan ketertarikan Mas. tapi Mas, Mas harus bijak dalam bertindak. Lebih dekat dengan Allah dan minta perlindungan Allah untuk dijauhkan dari perbuatan yang tidak di ridhai Allah.”             Kahfi mengangguk.             “Memangnya siapa yang Mas suka? Ainun ya?”             Kahfi yang sedang minum, tersedak dan Umi segera menepuk punggung Kahfi dengan lembut. “Waduh Mas, salting banget sih!”             “Ya Allah Umi, duh sampai keselek gini.”             Umi tersenyum. “Lagian Mas sampai kaget gitu padahal Umi cuma nyebut nama Ainun aja.”             “Habis Umi dadakan, Mas ke atas dulu ya Umi mau ngerjain PR.”             “Mas, minta ke Allah yang terbaik. Umi senang kalau Mas senang dengan Ainun karena Umi juga suka Ainun. Tapi untuk sekarang Umi inginnya Mas konsentrasi dengan sekolah lalu karir, kalau Mas sudah siap lahir batin Insya Allah jika Ainun adalah jodoh yang Allah pilih kita bisa taaruf dulu.”             Kahfi hanya diam.             Umi, seandainya kalau Umi tahu jika yang Mas suka adalah gadis lain yang memiliki keyakinan berbeda dengan kita. Entah apakah Umi masih bisa tersenyum seperti ini atau sebaliknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN