Jian Li baru saja menyimpan kotak bekal makannya ke dalam tas sambil bersenandung. Rambut panjang yang biasa ia gerai, kini ia ikat satu memperlihatkan lehernya yang putih. Tak lupa kalung salib yang selalu ia pakai menghiai leher mulusnya.
“Banyak banget kamu bawa bekal, memangnya hari ini belajar sampai malam?” tanya Mami memperhatikan Jian Li sejak tadi.
“Buat teman Mi,”
“Siapa? Cowo? Hahhh sudah punya pacar kamu di sini?”
“Apaan sih Mi?”
“Kalau benar kamu sudah punya pacar, ajak ibadah minggu ya siapa dia ada rekomendasi gereja bagus.”
Jian Li hanya diam dan segera pamit kepada Maminya.
Begitu sampai di sekolah, Jian Li segera menyimpan tasnya. Kelas sudah sepi, teman-temannya sudah berkumpul di lapangan sekolah untuk pelajaran olahraga.
Mata Jian Li menatap Kahfi yang sedang bermain bola bersama teman-teman lainnya. Pria itu terlihat lincah dan mempesona. Apalagi melihat Kahfi yang tertawa lepas membuat pria itu semakin tampan.
Jian Li jatuh cinta pada Kahfi sejak pada pandangan pertama.
Awalnya Jian Li berpikir jika perasaan ini hanyalah perasaan kagum saja. Namun entah mengapa jantungnya berdebar dengan cepat ketika ia melihat Kahfi, matanya selalu mengarah kepada Kahfi dan ia merasakan candu pada pemuda itu.
Ia menginginkan Kahfi begitu dalam. Menginginkan pria itu menjadi kekasihnya dan mungkin menjadi suaminya juga.
“Jian Li, sini!” panggil Ruth pada Jian Li yang sejak tadi berdiri di pinggir lapang.
Jian Li segera menghampiri Ruth dan Dera yang sudah duduk di tengah lapang. Anak laki-laki juga sudah berhenti bermain bola dan mereka duduk berbaris. Jian Li menatap Kahfi yang duduk di baris depan, di sebelah Kahfi ada Ainun dan Jian Li berada di barisan belakang.
“Hari ini kita akan bermain tennis dan kalian bermain dengan teman kalian.”
Para siswa siswi mulai heboh menargetkan teman kelompok mereka. Namun belum juga mereka memilih, pak Suprapto sudah meniupkan peluitnya.
“Kalian yang bikin kelompok pasti lama, sudah teman kelompok kalian orang yang berada di sebelah kalian.”
Ainun dan Kahfi sontak saling menatap, namun tak lama mereka segera menundukkan kepala.
Ainun mengangkat sebelah tangannya.
“Ya Ainun?”
“Teman sekelompok saya laki-laki Pak.”
“Lalu?” tanya Pak Suprapto tak sabar.
Ainun menggigit bibirnya, dan melirik Kahfi berharap pria itu berbicara. Namun Kahfi hanya diam menatap lurus ke depan.
“Lalu masalahnya apa Ainun? Ini kan hanya bermain tennis, enggak kenapa-napa kan? Kalian juga enggak akan dekatan karena ada si pembatas net itu.” jelas Pak Suprapto jengkel. Untung Ainun cantik, kalau tidak sudah ia marahi. “Masih mau protes?”
Ainun menggeleng. “Enggak Pak.”
Beberapa siswi memekik senang melihat Kahfi dan Ainun satu kelompok, sementara Jian Li menatap kesal. Padahal ia ingin sekali berkelompok dengan Kahfi.
“Kamu pernah main tennis?” tanya Kahfi pada Ainun.
Ainun menggeleng tanpa menatap Kahfi. Matanya mengamati temannya yang sedang bergiliran berolahraga tennis.
Kahfi sedikit melirik Ainun yang sejak tadi diam di sebelahnya. Setelah ini giliran mereka yang bermain dan ia merasa gugup.
Ini bukan pertama kalinya ia berolahraga tennis, tetapi ia merasa gugup. Mungkin salah satu faktornya adalah gadis yang berada di sebelahnya.
Begitu giliran mereka, siswa siswi yang tadinya sedang mengobrol, ada juga yang sedang berolahraga jogging sendiri mendadak mereka menghentikan aktifitas mereka dan memperhatikan Kahfi serta Ainun yang sedang bermain tennis.
Berbeda dengan pasangan yang lain, mereka bermain tennis sambil bercanda dan berteriak. Namun Kahfi Ainun bermain tennis dengan ekspresi mereka yang datar dan diam seakan mereka sedang fokus mengikuti turnamen tennis tingkat kota.
“Kok mereka kayak tegang gitu ya?” bisik Sarah di telingan Deeva.
Sarah mengendikkan bahu karena ia tidak tahu harus menjawab apa.
Begitu selesai, para siswa yang menonton ikut bernapas lega entah mereka pun tidak tahu apa alasan mereka merasakan lega.
Tidak ada pujian dari Kahfi maupun Ainun. Mereka hanya melirik dalam diam dan memberikan raket kepada pasangan selanjutnya setelah itu mereka duduk berjauhan seakan-akan dari mereka enggan berdekatan.
Jian Li berjalan dan duduk di sebelah Kahfi, gadis itu menyodorkan sebotol minum yang masih dalam kemasan kepada Kahfi.
“Minum dulu,”
“Enggak makasih.” Tolak Kahfi.
“Aku udah beliin lho, masa mau aku buang lagi?”
Kahfi menghela nafas dan mengambil minuman dari Jian Li. “Makasih,”
Jian Li tersenyum lebar dan mengangguk.
“Kamu bener-bener pendiem ya,” ujar Jian Li setelah beberapa menit mereka duduk berdampingan dan Kahfi hanya diam dengan mata fokus kepada teman-temannya yang sedang bermain tennis.
Menghiraukan Jian Li yang masih mengajak berbicara, Kahfi berdiri dan berjalan menuju Pak Suprapto. Membantu guru itu untuk mengabsen teman-temannya.
“Fi, kok ninggalin sih?” tanya Jian Li yang sudah berdiri di sebelah Kahfi.
Kahfi hanya diam dan terus mengisi absen.
Seakan tidak menyerah Jian Li mengambil pulpen yang pakai Kahfi. Membuat pria itu menatap jengkel Jian Li.
“Kembaliin Jian Li,”
“Kenapa acuhin aku sih?” tanya Jian Li namun gadis itu berdebar ketika Kahfi menyebut namanya dengan suaranya yang terdengar indah.
“Kamu memangnya ingin saya respon apa?”
“Ya apa kek,” gumam Jian Li masih menghindari tangan Kahfi yang berusaha mengambil pulpen di tangannya.
“Denger ya, asal kamu tahu aja anak baru, saya enggak suka basa basi dengan orang lain terutama peremupan cerewet seperti kamu.”
Jian Li terdiam.
Kahfi menghela nafas dan mengusap wajahnya. “Astagfirullah,” gumamnya pelan dan menatap Jian Li. “Maaf, saya boleh pinjem pulpennya? Pak Suprapto sudah menunggu.”
“Antar aku pulang,”
“Apa?”
Jian Li memberikan pulpen yang diambilnya kepada Kahfi dan berbalik kepada Dera dan Ruth yang sedari tadi memperhatikannya.
“Tuh kan Kahfi sama Jian Li lagi!” gumam Olive tidak rela.
“Mereka lagi ngobrol biasa aja kali,” ucap Litta.
“Enggak mungkin cuma ngobrol biasa aja, secara ini Kahfi lho!”
“Betul itu Kahfi.”
Olive dan Litta menoleh kepada Sarah yang tiba-tiba nimbrung. Gadis itu nyengir dan duduk ditengah Olive dan Litta.
“Kayaknya kita bakalan punya Mamah baru nih di kelas!”
Litta cemberut. “Gue masih shipper Ainun dan Kahfi tahu!”
“Gue juga,”
Sarah tertawa keras. “Masih juga ye kalian comblangin Kahfi Ainun! Hahha itu mah nunggu Pak Suprapto jadi kayak Lee Minho alias tidak mungkin.”
“Apaan sih lo, Rah?” kesal Litta.
Sarah merangkul Olive dan Litta dengan kedua tangannya. “Ainun,” tunjuknya pada Ainun yang sedang duduk diam di pinggir lapang. “Kahfi,” tunjuk Sarah pada Kahfi yang sedang berdiri bersama Pak Suprapto. “Lo pada kagak lihat ada dinding yang misahin mereka.”
Litta dan Olive hanya diam dengan wajah mengernyit.
“Ainun dan Kahfi itu mustahil, kagak mungkin alias mustahal eh mustahil hehe.”
“Kok lo gitu?” tanya Olive.
“Dengerin gue ya, pasangan itu ditakdirkan saling bersama untuk saling melengkapi. Nah kalau si Ainun sama Kahfi mau saling melengkapi gimana orang sama-sama udah lengkap? Yang ada mereka bakalan hambar.”
“Jadi maksud lo cewe kayak Ainun cocoknya sama cowo kayak Bobby dan Kahfi cewe kayak lo?”
“Gue sih enggak menampik kalau Kahfi jodoh gue hehehe tapi kalau si Ainun berjodoh sama Bobby kasian si Ainun bisa gila dia karena suaminya banyak berulah.”
“Sotoy lo ah Rah!” hardik Litta.