Bab Empat

1210 Kata
  Jian Li yang baru saja mengambil seragam baru dari koperasi sekolah, melihat Ainun yang baru saja keluar dari ruang guru dengan setumpuk buku di kedua tangannya. “Ainun!” panggil Jian Li. Ainun yang sedikit susah, menoleh kepada Jian Li yang menghampirinya dengan riang. “Kenapa Jian Li?” “Bawa apa itu?” “Buku PR Geografi sama buku paket.” “Duh aku bantu ya, ini langsung dibagiin aja?” tanya Jian Li mengambil separuh buku dari tangan Ainun. “Makasih ya Jian Li. Kasih ke ketua kelas aja, biasanya dia yang bagiin.” Mata Jian Li melebar mendengar perkataan Ainun dan mereka berjalan bersama menuju kelas. Kebersamaan Jian Li dan Ainun cukup menjadi perhatian siswa di sana. Jian Li si murid baru Chinese yang cantik dan imut, berjalan bersama Ainun si gadis cantik berjilab yang memiliki mata besar besar membuat warna mata birunya membuat orang terkagum adalah pemandangan yang membuat para pria berdebar. “Kahfi!” panggil Jian Li ketika melihat Kahfi yang sedang menyimpan penggaris kayu di dinding. “Ya?” “Ini buku PR geografi anak-anak,” Jian Li menyerahkan buku di tangannya kepada Kahfi dan gadis itu mengambil juga buku yang berada di tangan Ainun. Hampir saja Ainun mengelak karena kaget dengan tindakan spontan Jian Li. “Oh iya makasih,” “Makasih ya Jian Li,” ucap Ainun dan gadis itu berjalan kembali ke tempat duduknya. “Kenapa?” tanya Kahfi menatap Jian Li masih berdiri di hadapannya. “Aku mau bantu kamu,” “Enggak perlu, terimakasih.” Tolak Kahfi. Namun seakan tidak mendengarkan penolakan Kahfi, Jian Li mengambil buku itu dan membacakan namanya. “Bukan seperti itu,” cetus Kahfi mengambil buku dari pelukan Jian Li. Jantung Jian Li berdebar kencang ketika merasakan sentuhan dari tangan Kahfi. “Ditumpuk sesuai barisan, nanti mereka ambil sendiri.” “Oh,” Pemandangan Kahfi dan Jian Li tentu menjadi perhatian teman sekelas yang memperhatikan mereka. Rasanya aneh melihat Kahfi banyak berinteraksi dengan perempuan. “Eh mereka lagi deket ya?” tanya Olive dengan ekspresi cemberut menatap Kahfi dan Jian Li. “Enggak mungkinlah mereka deket,” ucap Litta. “Mereka kan beda agama,” ujar Hani yang duduk di belakang, ikut bergosip dengan Litta dan Olive. “Kahfi sama yang seagama aja jaga jarak, apalagi yang enggak seagama.” Ucap Litta. Olive melirik Ainun yang sedang mengobrol dengan Deeva. “Dia beneran enggak ada rasa sama Kahfi ya?” “Aku yakin ada kok,” kata Litta yakin, Hani mengernyitkan muka. “Tahu darimana?” “Insting Litta.” …             Ainun baru saja menunaikan shalat dzuhur dan sekarang tengah memakai sepatu. Biasanya ia shalat bersama Deeva, namun sahabatnya sedang berhalangan dan Sarah sudah pergi begitu bel pulang berbunyi.             Turun dari tangga masjid, Ainun berpapasan dengan Kahfi dan mereka seperti biasa saling mengangguk. Kahfi berjalan lebih dulu sementara Ainun berada di belakang.             Mereka sampai di kelas dan mengambil tas lalu berjalan menuju gerbang sekolah. Ainun seperti biasa menunggu Abi pulang sementara Kahfi sudah langsung pulang ke rumah menggunakan angkot.             “Teh Ainun!”             Ainun yang sedang melihat layar HP, mendongakkan kepala dan tersenyum melihat Zahra adik kelasnya menghampirinya. “Zahra,”             “Teteh belum dijemput?”             “Sebentar lagi, kamu mau langsung pulang?”             Zahra menggeleng. “Aku mau ke toko buku dulu Teh, ada yang harus dibeli.”             “Sendiri?”             Zahra mengangguk.             “Hati-hati ya,”             “Siap Teh. Oh iya Teh, sekalian aku tuh mau ajak Teteh nanti minggu ke Mabel, mau enggak?”             “Mabel itu apa?”             “Rumah Belajar Teh, kebetulan di sana itu kita bantu anak-anak jalanan untuk belajar membaca dan berhitung buat mereka ngejar paket C.”             “Masya Allah, kamu udah lama ikut komunitas itu, Ra?”             “Baru dua bulan Teh, kebetulan kita kekurangan pengajar makanya aku ajak Teteh kalau bisa.”             “Insya Allah bisa! Nanti berangkat bareng aja ya.”             “Siap Teh, nanti aku chat teteh lagi ya.”             Ainun mengangguk.   …               Sarah baru saja mengancingi baju seragamnya. Penampilan gadis itu berantakan dan beberapa tanda merah membekas di sepanjang lehernya.             “Gue kan udah bilang, jangan ditempat yang kelihatan! b**o ya lo?” kesal Sarah menutupi lehernya dengan rambut panjangnya.             Seorang pria bertato yang sedang merokok tanpa berpakaian menatap jenuh Sarah. “Namanya juga lagi nafsu, ya kagak ingetlah!”             Sarah mendengus. “Besok sekolah gimana? Mana pelajaran olahraga!”             “Tenang ajalah, cupang gue entar luntur kok. Oh iya, lo mau ke mana? Gue masih pengen lagi nih! Gila obatnya ampuh.”             “Gue mau pulang,”             “Tumben pulang, ini kan belum malam. Lagian di rumah juga lo sendirian, mending sama gue hehe kita olahraga lagi. Gue mau coba gaya belakang nih!”             “Ogah!” Sarah mengambil tasnya dan pergi meninggalkan pria itu sendirian.             Dengan langkah lunglai, Sarah berjalan di malam hari. Pusat kota masih ramai sehingga membuat Sarah tidak merasa sendiri.             Ia tidak merasa canggung dengan tatapan yang mengarah padanya. Yah mau bagaimana lagi, ia lupa mengganti seragamnya dan jaketnya tertinggal di rumah Doni.             “Sar!”             Sarah berbalik dan melihat Bobby dengan pakaian bebas berlari ke arahnya.             “Ngapain lo di sini? Mangkal?” tanya Sarah.             “Gue yang harusnya tanya, ngapain lo malam-malam pakai seragam di jalanan? Ketahuan guru lo kagak takut?”             Sarah mendelik. “Apaan sih lo!”             “Gue lagi makan malam bareng keluarga, lo mau ikut enggak? Belum makan kan lo!”             “Enggak ah,”             “Kenapa?”             “Ogah gue, nanti kalau gue makan bareng keluarga lo, mereka salah paham dan lo ke Gran gue suka sama lo lagi.”             “Lebay lo ah! Ayo ikut, kita mau makan shabu nih.” Bobby hendak menarik tangan Sarah namun Sarah menepisnya.             “Gue mau balik,”             “Sendiri?”             Sarah berdeham. “Sama cowo gue,”             Bobby celinguk kiri-kanan. “Mana?”             “Adalah, mata lo kecil, kagak keliatan.”             “Sialan lo!”             “Gue duluan ya, malas juga liat lo di mana-mana. Bye,”             Begitu sampai di rumah mewah, Sarah dengan wajah dingin masuk ke dalam rumahnya. Gadis itu menghela nafas. Ia tahu ketika sampai rumah ia akan selalu merasa sendiri. Orangtuanya sibuk bekerja, sehingga mengabaikan putri satu-satunya. Bahkan sekedar menelpon, tidak orangtua itu lakukan.             Yang mereka lakukan hingga saat ini memberinya uang.             Bergegas mandi dan setelahnya Sarah menyalakan HPnya yang sempat mati karena kehabisan batre.             Chat masuk berhamburan dan kebanyakan dari teman clubbingnya yang mengajaknya dugem malam ini. Ada juga chat dari Deeva dan Ainun. Sarah membuka chat dari Deeva terlebih dahulu.   Deeva  : Heh Nenek, lo ngomong apa sama Ario? Kok tiba-tiba dia bahas soal Bridgerton family? Lo yang ember ya, Nenek   Sarah terkikik. Ia memang memberitahu Ario ketika mereka nonton film, kalau Deeva penggemar novel klasik karangan Julia Queen khususnya series family bridgerton. Sarah lalu membuka chat dari Ainun yang masuk tadi setelah maghrib. Ainun  : Assalamualaikum Sarah, jangan lupa besok ada PR Bahasa Indonesia di buku paket halaman 45 yang essai. Jangan lupa shalat ya dan jangan tidur terlalu malam.   Sejak awal mereka berteman, Ainun tidak pernah melewatkan mengingatkan PR kepadanya dan shalat. Gadis itu selalu mengkhawatirkannya dan selalu membuat dirinya nyaman. Namun Sarah tidak bisa berubah menjadi lebih baik, sebenarnya ia tidak mau. Karena ia ingin kedua orangtuanya mengetahui akibat mereka menelantarkan anak mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN