Zevanya merasa bosan karena hanya duduk diam sambil nonton televisi yang sebenarnya dia sendiri tidak terlalu menyukai kegiatan itu, ia pun mematikan televisi berukuran sangat besar itu lalu bangun dari duduknya.
“ Jenuh sekali. “ Ungkapnya, tak lama setelah itu dia mendengar suara gaduh dan teriakan seseorang, karena penasaran Zevanya pun buru – buru pergi keluar ruang tamu untuk mencari sumber suara itu yang ternyata berasal dari halaman belakang.
“ Maafkan saya tuan! Saya janji tidak akan masuk wilayah kekuasaan tanpa izin! “ Seorang lelaki muda berlutut sambil menangis meminta ampun kepada Devanka yang berdiri dihadapan lelaki itu dengan ekspresi datar.
“ Siapa yang menyuruh kamu masuk ke wilayah kekuasaan Ulpio, hah? “ Devanka menarik kuat rambut lelaki itu hingga kepalanya mendongak.
“ Tu—tuan Roger, pimpinan kami yang memerintah. “ Ucapnya terbata – bata sambil menahan rasa sakit akibat tangan Devanka yang begitu kuat mencengkram rambut hingga kulit kepala lelaki itu terasa nyeri.
Zevanya yang sejak tadi berada dibalik dinding terus mengintip. Sebenarnya, Zevanya sangat takut melihat apa yang sedang terjadi, hanya saja rasa penasarannya terlalu melampaui batas hingga memaksanya tetap terdiam ditempat untuk memantau apa yang akan terjadi berikutnya.
“ Jadi kamu anak buah Roger? “ Devanka mengadahkan tangannya ke arah Bodyguard yang berada disebelahnya. Seperti sudah mengerti maksud Devanka, Bodyguard itu memberikan Devanka sebilah pisau yang sangat tajam dan mengkilap.
“ Tolong maafkan dan jangan bunuh saya, tuan. Saya masih ingin hidup! “ pintanya tak henti – henti menangis ketakutan karena sebuah pisau tajam sudah disiapkan untuk menusuknya.
“ Tidak ada kata maaf untuk musuh! “ dengan penuh amarah tangan Devanka yang memegang pisau bergerak untuk menusuk tepat di bagian atas kepala lelaki itu hingga cairan merah bercipratan mengenai badan dan wajah Devanka. Lelaki malang itu langsung mati ditempat. Hal itu membuat Zevanya tak kuasa melihatnya hingga menjerit secara refleks.
“ Aaaa…” Teriak Zevanya sambil menutup matanya, tubuhnya mendadak gemetar melihat kejadian mengerikan itu.
Semua yang berada dihalaman belakang menoleh ke arah sumber suara yang tak lain adalah Zevanya. Devanka membuang kasar tubuh lelaki itu dan membiarkan para Bodyguardnya mengurus untuk membuang mayat tersebut, setelah itu dia berjalan mendekati Zevanya dengan raut wajah tersulut emosi karena Zevanya sudah mengintip secara diam – diam.
“ Apa yang kamu lakukan disini? “ tanya Devanka penuh emosi.
“ A—aku…” Zevanya gelagapan dan bingung ingin memberikan alasan apa karena terlalu panik.
Devanka mencengkram lengan gadis itu dan menggiringnya ke ruang tamu.
“ Aw sakit, dev. Lepaskan tanganmu, aku bisa jalan sendiri! “ seru Zevanya karena Devanka berjalan cepat menarik lengannya membuat langkah Zevanya jadi terburu – buru bahkan dia hampir terjatuh.
Sampainya diruang tamu, Devanka langsung melempar tubuh Zevanya kasar ke atas sofa.
“ Ahh…” Zevanya meringis, lalu ia membenarkan dirinya agar terduduk, sedangkan Devanka kini berdiri dihadapannya dengan tatapan mengerikan.
“ Apa yang kamu lakukan! Tugasmu adalah melayaniku, bukan mengintip kegiatan privasiku! “ omelnya dengan nafas berderu cepat.
“ Maaf, aku tidak ada maksud untuk mengintip. Tadi aku merasa bosan, jadi memilih untuk berkeliling dan ketika melewati halaman belakang tak sengaja melihat kejadian itu. “ Bohong Zevanya tetapi Devanka bukanlah orang yang mudah ditipu.
“ Apa kamu fikir aku bodoh? “ Devanka mencengkram dagu Zevanya. “ Awas kalau sampai kamu mengintip lagi, maka aku akan mencekikmu sampai kehabisan nafas! “ tegasnya memperingati Zevanya.
“ Tidak! aku tidak akan mengintip lagi! “ Zevanya menggeleng ketakutan.
“ Sekarang cepat siapkan pakaian, aku ingin membersihkan tubuhku dari darah lelaki bodoh itu. “ Devanka bergegas pergi menuju kamar mandi sedangkan Zevanya buru – buru menyiapkan pakaian untuk Devanka.
**
Langit sudah bersiap menyambut senja, tapi ternyata yang datang malah awan gelap berujung hujan deras membasahi kebumi. Zevanya menatap ke arah jendela untuk melihat dunia luar yang sedang diguyur hujan, harusnya dia sudah bisa pulang tetapi karena diluar hujan cukup deras, Zevanya memutuskan untuk menunggu reda.
“ Kamu belum pulang? “ tanya Devanka yang baru saja turun dari tangga.
Zevanya membalikkan badannya, ia menoleh ke arah sumber suara. “ Di luar hujan deras, dev. Aku izin untuk berteduh dirumah kamu sampai hujan reda gak apa – apa, kan? “ tanya nya takut Devanka marah kalau dia tidak izin terlebih dahulu untuk berlama – lama dirumahnya selepas jam kerja.
“ Baiklah. “ Devanka mengangguk pertanda mengizinkan, ia duduk di sofa dekat jendela dimana Zevanya sejak tadi berdiri memandang keluar. “ Apa kamu tidak pegal berdiri seperti itu di dekat jendela? Cepat kemari. “ Devanka memanggilnya untuk duduk disebelahnya.
Zevanya menurut saja dan duduk disamping Devanka meskipun dalam hati dia merasa ragu atas kebaikan lelaki itu.
“ Apa lukamu sudah dibersihkan? “ tanya Devanka melirik lengan dan paha Zevanya secara bergantian.
“ Sudah. “ Jawab Zevanya dengan tatapan penuh arti ke arah Devanka seperti ada yang ingin dia tanyakan namun dia tak berani mengutarakannya.
Devanka yang merasa aneh ditatap seperti itu pun bertanya. “ Kenapa kamu menatapku seperti itu? “
“ Bolehkah aku bertanya sesuatu? “ tanya Zevanya memberanikan diri.
“ Apa yang ingin kamu tanyakan? “
“ Sebenarnya apa pekerjaanmu, dev? Mengapa kamu sering melakukan pembunuhan? Apakah kamu pembunuh bayaran atau—“
“ Banyak sekali pertanyaanmu, Zee. “ Devanka tersenyum miring. “ Jadi, kamu penasaran dengan kehidupanku ya? “
Zevanya tersenyum tipis. “ Ya—ya sepertinya begitu. Maaf jika aku lancang bertanya seperti itu. “
Devanka membenarkan duduknya agar menghadap Zevanya, ia memperhatikan wajah gadis itu beberapa saat sebelum akhirnya bicara. “ Aku akan memberitahu siapa aku dan keluargaku, tapi aku ingin menyayat lenganmu dulu sebelum menjelaskan. “ Ucapan Devanka membuat Zevanya keheranan.
“ Aku tidak melakukan kesalahan apapun. Mengapa kamu ingin menyayatku, dev? “ Zevanya bertanya – tanya.
“ Kamu memang tidak melakukan kesalahan, tapi aku ingin mendengar suara kamu meringis dan melihat darah segarmu menetes. Entah mengapa aku sangat menyukai ketika melihat kamu kesakitan. “ Penjelasan yang Devanka utarakan begitu membingungkan sekaligus membuat Zevanya takut. Dia tidak habis fikir, kok bisa ada orang aneh seperti Devanka yang suka menyakiti orang hanya demi menyenangkan dirinya sendiri.
Melihat Zevanya terdiam, Devanka pun bertanya. “ Bagaimana? Jika kamu ingin tahu tentang kehidupaku, maka biarkan aku menyatmu sekali saja. “
Zevanya menunduk sambil menatap lengannya, ia tak sanggup merasakan perihnya sayatan silet tetapi dia juga sangat penasaran tentang kehidupan Devanka. Alhasil, setelah bergulat dengan fikirannya sendiri, Zevanya pun merelakan dirinya mendapat sayatan yang ketiga kalinya untuk hari ini.
“ Baiklah, tolong jangan terlalu dalam. “ Zevanya menyodorkan lengannya, lalu dengan senang hati Devanka merogoh kantong belakang celananya untuk mengambil silet yang ternyata sudah dia siapkan.
“ Suka – suka aku, dong. Mau menyayat terlalu dalam atau tidak itu bukan urusanmu!“ Balas Devanka, ia menerawang dulu bagian mana yang ingin dia sayat.
“ Apakah kamu selalu membawa silet kemana pun? “ tanya Zevanya.
Devanka manggut – manggut. “ Ya, ini benda kecil namun menyakitkan yang mudah dibawa kemana – mana. Terkadang aku melakukan serangan kepada musuh secara diam – diam menggunakan silet karena mereka tidak melihat bahwa ditanganku ini ada benda kecil yang tajam. “ Jelasnya panjang lebar.
“ Seperti itu. “ Zevanya mengangguk. “ Aww…” Dia mulai meringis ketika silet itu sudah menyayat lengannya dengan sempurna dan cukup dalam hingga darah yang keluar lebih banyak dari yang sebelumnya. “ Mengapa kamu terlalu dalam menyiletnya, dev. Ini sakit sekali! “ protesnya dengan mata berkaca – kaca tetapi Devanka hanya tersenyum saja melihat hasil karyanya itu.
“ Aku ingin mendengar jeritanmu lebih kencang, tapi ternyata sayatan ku tadi masih tidak membuatmu menjerit keras. Lain kali aku akan menyayat lebih dalam. “ Balasnya seenak jidat.
‘ Dasar pria aneh! Mengapa dia jadi suka menyilet tanganku! ‘ batin Zevanya.
Zevanya langsung mengambil tissue yang berada di atas meja lalu mengelap darah dan menahan agar tidak terus menetes.
“ Cepat ceritakan siapa dirimu? “ tanya Zevanya, sesekali ia masih meringis.
“ Um…” Devanka memasukkan silet yang masih terdapat darah itu ke dalam saku celananya tanpa dibersihkan dulu. “ Aku adalah anak dari seorang pimpinan sindikat kejahatan! “ terang Devanka membuat Zevanya terlonjak kaget, mulutnya sampai menganga lebar tak mampu berkata – kata lagi karena ternyata dia bekerja sebagai asisten anak seorang yang tentunya sudah banyak melakukan kejahatan.
“ Gak usah kaget gitu. “ Tangan Devanka bergerak untuk merapatkan bibir Zevanya agar tertutup.
“ Ka—kamu… jadi, kamu anak penjahat? “ tanya Zevanya dijawab anggukan oleh Devanka.
“ Papahku, Jazon Ulpio adalah pimpinan geng preman dan punya banyak club malam serta banyak bisnis gelap lainnya yang dijalankan keluargaku sejak turun temurun. “ Devanka memajukkan wajahnya kehadapan Zevanya. “ Sudah banyak orang yang mati kami bunuh karena berusaha mengusik wilayah kekuasan club malam dan bisnis keluargaku. “ Ucapnya membuat Zevanya semakin takut.
“ Apa kamu anak tunggal? “ tanya Zevanya.
“ Ya, aku anak tunggal dan ibuku sudah meninggal sejak aku kecil. “ Jawab Devanka.
“ Lalu siapa perempuan yang menginterview ku ketika pertama kali datang kesini? “
“ Dia Alin, asisten papahku. “
“ Kemana dia? aku tidak melihatnya hari ini. “ Balas Zevanya.
“ Dia sedang pergi ke Jepang menyusul papahku karena sedang ada bisnis club malam yang sedang dibangun disana. “ Terang Devanka.
Zevanya diam tidak banyak bertanya lagi.
“ Perlu kamu ketahui bahwa aku akan membunuh siapapun yang mengusik, apalagi mengancam bagi bisnis keluarga Ulpio. Tidak ada belas kasihan karena hanya kekejaman yang akan aku lakukan kepada para musuh! “ cerita Devanka. “ Jadi, kamu tidak perlu kaget lagi kalau mendengar jeritan atau ada orang yang sering dibunuh disini karena aku sedang memberikan hukuman untuk musuh atau pengkhianat itu! “
“ Seperti yang kamu lihat tadi. Laki – laki itu sudah berani memasuki wilayah bisnis keluargaku secara diam – diam, tapi akhirnya ketahuan oleh para penjagaku. Mengetahui itu, aku langsung pergi menjemputnya lalu membawa kerumah untuk segera dibunuh dan nanti mayatnya akan kami berikan kepada pimpinan lelaki itu agar mereka tahu bahwa tidak ada yang bisa menghancurkan bisnis keluarga Ulpio dengan mudah! “
Zevanya bergidik ngeri mendengar cerita Devanka.
“ Bagi kami, nyawa musuh adalah sebuah kuman yang harus segera di basmi. “ Tambahnya dengan mata menyalah penuh ke angkuhan. “ Membunuh adalah kegiatan kesukaanku, Zee. Bagian yang paling aku suka adalah ketika mendengar suara rintihan dan jeritan penuh rasa sakit yang keluar dari mulut musuh atau orang yang sudah melanggar aturan! “ Ungkapnya, ia melirik Zevanya dan memberikan tatapan mendalam. “ Tapi, jeritan kesakitan yang keluar dari mulutmu paling terfavorite! “
Zevanya benar – benar sudah tidak tahan lagi mendengar pernyataan mengerikan yang Devanka jelaskan, ia bangun dari duduknya. “ Devanka, sepertinya hujan sudah mulai reda dan aku ingin pulang sekarang. “
Devanka melirik ke arah jendela, terlihat diluar hujan masih cukup deras.
“ Apa kamu buta? Diluar masih hujan deras, Zee. “ Devanka menarik tangan Zevanya agar kembali duduk. “ Apa kamu takut setelah mendengar tentang kehidupan ku? “ tanya nya.
Bibir Zevanya kelu tak dapat berkata – kata lagi, tentu saja dia sangat takut setelah mendengar tentang keluarga Ulpio.
“ Tenang saja, Zee. Aku tidak akan membunuhmu jika kamu sendiri tidak melanggar perjanjian untuk menjaga rasahasia keluargaku. “ Ungkap Devanka.
“ Kalau kamu mematuhi peraturan disini, maka kamu tidak akan mendapatkan hukuman apapun. Disini kamu mendapat gaji besar dengan jam kerja singkat dan tugas yang aku berikan juga tidak berat, kan? justru kamu lebih banyak bersantai daripada bekerja. Bukankah itu menyenangkan? “ pertanyaan Devanka benar – benar membuat Zevanya ingin sekali menarik bibirnya. Bagaimana bisa dikatakan menyenangkan bekerja dirumah seorang pembunuh dan pimpinan sindikat kejahatan karena yang ada tiap hari Zevanya selalu dibuat ketakutan.
Jika saja Zevanya orang yang tidak punya perasaan tentu dia tidak akan perduli dengan yang terjadi dirumah Devanka dan pastinya bekerja disini tanpa beban, tapi karena Zevanya masih memiliki hati, tentunya dia tidak akan tahan melihat dan mendengar kejadian mengerikan dirumah megah ini.
“ Kamu tenang saja, dev. Aku tidak akan melaporkan kamu ke polisi. “ Bohong Zevanya agar dirinya berada di posisi aman terlebih dahulu untuk saat ini.
“ Bagus. “ Devanka mengangguk.
“ Lebih baik aku pulang saja sekarang. Kasihan kedua adikku pasti kelaparan karena aku tidak masak hari ini. “ Zevanya kembali berdiri. “ Aku pamit dulu, dev. “
“ Zee…” Devanka ikut berdiri. “ Di luar masih hujan deras, perjalanan ke luar komplek juga lumayan. Pasti bajumu akan basah sekali. “
“ Tapi, aku harus segera pulang, dev. “
“ Bagaimana kalau aku antar kamu? Naik mobil tidak akan membuatmu kehujanan. “ tawar Devanka membuat Zevanya bingung sekaligus panik. Dia bingung mengapa Devanka berniat baik ingin mengantarnya dan dia juga panik karena jika lelaki itu mengantarnya pasti jadi tahu tempat tinggal Zevanya.
“ Tidak usah. “ Tolaknya. “ Aku bisa pulang sendiri. “
“ Kamu memang bisa pulang sendiri, tapi kalau kamu kehujanan dua kali dalam sehari kamu bisa sakit dan nanti siapa yang akan mengurusku? “ ucap Devanka panjang lebar hanya bisa Zevanya dengarkan saja. “ Aku akan tetap mengantarmu. “ ujar Devanka tetap memaksa, ia berjalan lebih dulu meninggalkan Zevanya yang masih terdiam dalam kegelisahan karena akan pulang bersama Devanka.
“ Ayo, Zee. “ Ajak Devanka, akhirnya dia terpaksa menurut saja.
**
Di sepanjang perjalanan, Zevanya hanya diam saja sedangkan Devanka fokus mengemudi. Sesekali Zevanya melirik Devanka yang terlihat lebih tampan jika diam dan kalem seperti itu, tapi sedetik kemudian Zevanya mengerjapkan matanya agar tersadar jangan sampai suka dengan lelaki kejam itu meskipun wajahnya tampan bak pangeran.
Belum sempat sampai di Apartemen Zevanya, tiba – tiba saja Devanka menghentikan mobilnya tepat di depan rumah makan, Zevanya jadi kebingungan.
“ Kenapa berhenti, dev? Apa kamu ingin makan dulu? “ tanya nya.
“ Tadi kamu bilang adikmu kelaparan? “ Devanka melepaskan Seatlbelt yang dia pakai dan bergegas ingin turun. “ Aku akan belikan makanan dulu untuk kedua adikmu. “ Belum sempat Zevanya berkata apapun, Devanka langsung turun dari mobil dan menuju rumah makan sambil berlari kecil karena diluar masih hujan meskipun sudah tidak deras.
“ Ternyata, biarpun kejam begitu dia bisa perhatian juga. “ Zevanya bicara sendiri, ia menyandarkan tubuhnya di penyangga kursi sambil menunggu kedatangan Devanka.
Zevanya menoleh ke arah jendela dan terkejut ketika melihat ada mobil polisi yang terparkir di sebrang jalan. Zevanya duduk tegak, ia menyapu pandangannya mencari - cari dimana kebaradaan polisi itu dan ternyata mereka muncul dari arah lain, entah kedua polisi itu darimana tapi sekarang mereka sedang berjalan menuju mobilnya.
Zevanya ingin sekali turun dan segera melaporkan Devanka karena kebetulan lelaki itu juga ada disini, jadi polisi dapat dengan mudah menangkap Devanka. Zevanya melirik ke arah rumah makan dan terlihat Devanka sedang mengantri di kasir untuk bayar makanan, lalu Zevanya melirik lagi ke arah polisi yang kini sudah berdiri didekat mobil. Dia jadi bingung sendiri, sebenarnya Zevanya ingin turun dan melapor, tetapi disisi lain Devanka sedang membelikan makan untuk adiknya yang merupakan sebuah niat baik.
Setelah bergulat dengan fikirannya, Zevanya pun memutuskan untuk tetap turun ingin melapor ke polisi sebelum mereka berdua masuk ke dalam mobil dan pergi, namun sebelum ia turun Devanka sudah datang lebih dulu membuatnya tidak jadi membuka pintu untuk keluar.
“ Kamu mau kemana? “ tanya Devanka seraya masuk ke dalam mobil, ia melihat Zevanya sudah hampir membuka pintu.
“ A—aku…aku mau samperin kamu tadi. “ Bohongnya, ia melirik ke arah sebrang melihat mobil polisi itu sudah melaju pergi. Dia menghela nafas seberat – beratnya dan menyesal karena tadi terlalu lama berfikir.
“ Nih, aku beli lima bungkus. “ Devanka menyerahkan kantong plastik berisi makanan yang baru saja dibeli.
“ Banyak sekali? adikku cuma dua, dev. “ Ucap Zevanya sambil melongok isi plastik itu.
“ Gak apa – apa, siapa tahu mereka kurang makan satu bungkus jadi buat jaga – jaga aku beli lebih. Sekalian buat kamu juga. “ Terang Devanka lagi – lagi membuat Zevanya tertegun karena dia bersikap baik.
“ Terima kasih, dev. “
“ Sama – sama. “ Devanka pun melajukan mobilnya menuju Apartemen Zevanya.
“ Nanti di depan ada pertigaan, belok ke kanan ya. “ Ucap Zevanya memberitahu.
“ Oke. “
Setelah sampai di parkiran apartemen, Zevanya bersiap untuk turun.
“ Apa perlu aku antar kamu sampai depan pintu? “ tawar Devanka tentu saja langsung mendapat penolakan dari Zevanya karena dia tidak ingin lelaki itu tahu dimana letak ruangan Apartemennya.
“ Gak usah. “ Zevanya buru – buru turun dari mobil. “ Terima kasih ya sudah mau mengantarkan dan membelikan makanan. “
“ Hm. “ Devanka manggut – manggut, ia memperhatikan Zevanya yang berlari masuk ke dalam gedung Apartemen tua itu. “ Jadi disini iblis cantik itu tinggal. “ Devanka memandang sekelilingnya sebentar setelah itu dia pergi menjauh dari Apartemen itu.
Zevanya mengetuk pintu Apartemen beberapa kali sampai akhirnya terdengar suara anak kecil bertanya.
“ Siapa? “
“ Kak Zee. “
Setelah mengetahui bahwa kakaknya yang mengetuk pintu, Neo adiknya Zevanya segera membukakan pintu.
“ Kakak. “ Neo memeluk Zevanya, tapi langsung disuruh lepas oleh Zevanya karena bajunya basah terkena rintikan hujan.
“ Baju kakak basah, dek. “
“ Kakak kehujanan ya? “
“ Hanya sedikit. “ Zevanya menggiring adiknya masuk ke dalam rumah, tak lupa ia mengunci pintu rapat – rapat. “ Kemana ninis? “
“ Sedang di kamarnya. “
“ Panggil dia dan makan ini. “ Zevanya menyerahkan makanan yang dia bawa kepada adiknya.
“ Wah kebetulan sekali aku sangat lapar. “ Neo mengambil dua bungkus dan meletakkan di atas meja makan, setelah itu dia lari ke kamar memanggil Ninis.
Zevanya berjalan menuju jendela yang dapat melihat ke arah luar, ia melongok ke bawah ingin melihat apakah mobil Devanka masih berada di parkiran Apartemen atau tidak dan untungnya sudah pergi. Dia sangat takut kalau Devanka mengikutinya sampai ke dalam Apartemennya.
“ Seandainya tadi aku bergerak cepat turun dan melapor ke polisi, pasti aku sudah terbebas dari Devanka. “ Keluhnya menyesali keterlambatannya tadi dalam mengambil keputusan.
“ Baiklah, hari ini gagal tetapi masih ada esok. Semoga aku mendapatkan kesempatan baik seperti itu lagi. “ Zevanya segera menjauh dari jendela dan mendekati kedua adiknya yang kini sedang makan bersama.
“ Kakak ayo makan. “Ajak Ninis.
“ Nanti saja, kakak mau mandi dulu. “ Zevanya pun bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, ia melirik sayatan pada lengannya dan yakin pasti akan merasakan perih ketika nanti mandi dan air mengenai lukanya.
**