“Sudah, Vano. Tenanglah.” Tasya mengusap lembut punggung Vano upaya untuk menenangkannya. “Ini semua salahku, Tasya. Kalau saja aku tidak buta, aku pasti akan menahannya. Tapi apa yang dapat kulakukan? Bahkan melihat arah kepergiannyapun saja aku tidak mampu!” Jerit lelaki itu tertahankan. Bibirnya menipis, menahan gemuruh yang menguasai rongga dadanya. Vano meremas rambutnya, gusar. “Vano, kau tidak boleh berucap seperti itu,” tegur Tasya merasa iba. “Lagipula, justru keadaanmu seperti inilah yang mampu menarik perhatian Valecia. Mempertemukan kalian berdua. Bukankah begitu?” Tasya tersenyum kecil. “Vano, percayalah, terdapat rencana indah dari Tuhan di balik semua ini.” Vano menghela kasar napasnya, lantas mengangguk samar menyetujui ucapan Tasya. “Ya, kau benar Tasya. Tapi seandainya

