9. Terlambat Yang Membawa Duka Dan Sesal

1706 Kata
“Bangun, Bu. Bangun... Ini Moza sudah pulang, Bu. Maafkan Moza, Bu.” Moza terus saja menangis sambil memeluk jenazah ibunya. Beribu rasa bersalah dan penyesalan memenuhi hatinya. Ia yakin, ibunya terkejut melihat dirinya tiba-tiba menikah dengan Rama. Pasti dia sangat kecewa dan marah. Putrinya yang selama ini sangat dia banggakan menikah tanpa mengabari atau meminta restunya lebih dulu. Pasti sebagai orang tua dia merasa telah diabaikan dan tidak dianggap. “Apa benar tadi kamu menikah tanpa minta restu Ibumu, Moza?” tanya seorang wanita setelah beringsut mendekati Moza dan menyentuh pundaknya dengan nada ketus. Moza tidak mempedulikan pertanyaan itu. Dia terus saja menangis. Sesekali dia terus memanggil ibunya di antara isak tangisnya. “Kata almarhum memang begitu, bu Mirna. Tadi almarhum menjerit sambil menangis. Lalu saya segera berlari ke sini. Saya lihat bu Sasmi sedang terduduk sambil menangis di lantai menatap ponselnya. Kemudian saya papah dia duduk di kursi. Lalu dia bercerita, katanya dia melihat Moza menikah dari berita. Dia pun tunjukkan pada saya sambil terus menangis kecewa. Dia tidak mengerti mengapa putrinya tiba-tiba menikah dengan seorang pria yang belum pernah dia perkenalkan padanya. Tanpa meminta restu lebih dulu. Apalagi pria itu sedang ramai dengan skandal video panasnya. Bu Sasmi sangat kecewa dan marah dengan tindakan Moza yang telah membohonginya,” jelas bu RT. “Bohong apa, Bu?” tanya wanita tadi yang biasa dipanggil bu Mirna itu yang merupakan sahabat ibu Moza. Sementara para pelayat menyimak percakapan itu dengan seksama. “Kemarin, kata bu Sasmi, Moza pamit kalau mau pergi menginap ke rumah temannya. Tapi ternyata dia menikah dengan pria itu,” jawab bu RT. “Ckckck.... tidak kusangka kamu bisa melakukan itu, Moza. Selama ini kami mengenalmu sebagai anak yang sangat baik dan patuh pada orang tua. Bahkan aku selalu menasehati putriku untuk selalu mencontohmu sebagai anak yang baik dan berbakti pada orang tua. Sangat sopan dan juga pekerja keras. Ternyata kamu sanggup melakukan kesalahan fatal seperti ini,” ucap seorang wanita pelayat yang duduk di dekat dinding. Moza masih tak memperdulikan ucapan bernada sumbang itu. Dia masih saja menangis dan memeluk jenazah ibunya. Sangat berat rasanya membayangkan sebentar lagi akan berpisah dengan wanita yang telah melahirkan dan membesarkan dirinya itu. Dari ruang tengah muncul gadis muda dengan wajah pucat dengan diikuti dua orang wanita. Dia berjalan mendekati Moza dengan wajah penuh kemarahan lalu menarik tangan Moza dengan kasar. Moza tersentak diperlakukan seperti itu segera berdiri menatap adiknya bingung. “Nami.” “Pergi dari sini!” usir gadis yang dipanggil Nami dengan mata melotot dan sorot mata penuh dengan kemarahan sambil menunjuk ke pintu. “Apa?” Moza menatap tak percaya dengan sikap kasar adiknya itu. “Tidak kamu tidak boleh bersikap begini pada Kakak, Nami,” ucap Moza dengan deraian air mata. “Apa telingamu sudah terganggu, kak Moza? Cepat pergi dari sini. Aku tidak ingin melihat Kakak lagi. Kakak telah membuat Ibu kita meninggal. Kakak telah membuatnya kecewa dan marah. Kakak telah menyakiti perasaan Ibu. Kakak telah membuat dia jatuh sakit dan meninggalkan kita selamanya. Aku benci denganmu, Kak. Aku tidak ingin melihatmu lagi. Kakak tidak boleh ada di sini,” teriak Namira dengan berapi-api. “Tenangkan dirimu, Nami. Kamu bisa jatuh pingsan lagi,” tutur seorang wanita yang berusia tak jauh dari ibu Moza. “Tolong, tante Sari. Tolong, nasehati dia. Aku ingin bersama Ibu untuk terakhir kalinya.” Moza menyatukan kedua tangannya dengan memelas. “Aku masih ingin merawatnya, Tante,” jelas Moza. “Siapa pun tidak bisa membujukku. Pergilah segera, Kak,” tegas Nami. Rama yang sejak tadi berada tak jauh dari Moza segera mendekatinya. “Namira, jangan perlakukan Kakakmu seperti ini. Dia juga putri Ibu.” Namira langsung menoleh pada Rama dan menatapnya tajam. “Jangan coba-coba menghalangiku, pengkhianat. Kamu juga harus segera pergi dari rumah ini.” Rama hanya bisa mengerutkan dahi dan menggelengkan kepala. Ia mencoba menahan diri agar tak terpancing emosi. Semua orang sedang memperhatikan mereka bertiga. “Pengkhianat?” Sayup-sayup terdengar para pelayat saling berbisik dan mempertanyakan ucapan Namira tadi. “Tidak, kamu tidak bisa mengusir, Kakak. Aku akan tetap di sini,” tegas Moza membalas tatapan tajam adiknya. Emosi Namira makin menjadi. Dengan membabi buta dia justru memukuli kakaknya. “Semua salahmu, Kak. Semua salah Kakak. Jika tidak tiba-tiba nekat menikahi pria playboy itu. Ibu kita tidak akan terkena serangan jantung. Ibu kita tidak akan meninggal. Sejak tadi dia telah berusaha menelponmu. Dia ingin bertanya dan bertemu denganmu Kak. Tapi Kakak sengaja mematikan ponsel, bukan.” Namira mencengkram tangan kakaknya kuat-kuat. Lalu menariknya keluar. Moza berusaha menahan dirinya. Tapi, Namira dengan kuat berusaha menyeret kakaknya keluar pintu. “Tidak, Nami. Kau tidak mengusirku dari sini.” “Hentikan!” Rama menahan tangan Namira yang mencengkram tangan Moza kuat-kuat. “Kami akan pergi dari sini.” “Tidak, Rama. Aku akan tetap di sini.” Tolak Moza seraya menatap suaminya itu. “Ayo, kita pergi saja Moza. Kita bisa doakan Ibumu di luar sana,” ajak Rama dengan suara lebih tenang. Moza terdiam. Kemudian Rama meraih tangan Moza dan mengajaknya melangkah keluar. Moza menoleh sedih ke arah jenazah ibunya. “Kita masuk ke mobil saja. Kamu bisa berdoa dari sana. Nanti saat ibumu diberangkatkan ke pemakaman kita ikuti saja,” tutur Rama sambil menuntun Moza turun dari teras. “Lepaskan aku,” ucap Moza seraya menarik tangannya dari genggaman Rama. “Pergilah. Tak perlu kamu temani aku lagi. Semuanya berakhir sampai di sini Rama.” Rama terkejut dan menghentikan langkah menatap istrinya itu. “Hei, ada apa ini, Moz? Mengapa kamu tiba-tiba marah?” Moza belum sempat menjawab. Hujan deras turun membasahi mereka berdua. Cuaca sejak tadi memang telah menunjukkan tandai-tanda akan turun hujan. Angin kencang dan petir mulai menyambar-nyambar. “Ayo kita masuk ke dalam mobil, Moz. Hujannya deras sekali.” “Tidak, kamu masuk sendiri saja.” Moza tiba-tiba mendorong-dorong tubuh Rama. “Semua ini salahmu! Semua ini salahmu, Rama! Andai tadi setelah kita menikah kamu setuju bertemu Ibuku, dia mungkin masih hidup. Ibuku mungkin belum meninggalkan kami,” ucap Moza dengan tangis penuh penyesalan. “Kamu telah menyebabkan Ibuku meninggal, Rama. Dia menungguku pulang dan ingin mendengarkan penjelasan mengenai pernikahan kita. Tapi kau tidak mau menuruti permintaanku, Rama. Kau lebih mementingkan kepentinganmu sendiri,” ucap Moza lagi. “Andai tadi kita segera menemuinya, kita tidak akan terlambat. Aku---- Aku masih punya kesempatan untuk bertemu dengannya. Aku masih bisa bertemu dengannya untuk terakhir kali. Harusnya aku masih bisa bertemu dengannya untuk yang terakhir kali,” ucap Moza kemudian menjatuhkan diri bersimpuh di tanah diiringi tangisannya yang memilukan. Rama tertegun. Dia baru menyadari itu. Apa yang dikatakan Moza benar. Dialah yang salah. Seandainya tadi dia menuruti keinginannya. Mungkin Moza masih bisa bertemu ibunya. Hujan masih deras mengguyur tempat itu seakan turut merasakan duka yang terjadi. Rama menjatuhkan diri. Kemudian memeluk Moza yang masih menangis meratapi kepergian ibunya. “Maafkan aku. Maafkan aku, Moza. Tadi, aku tidak akan seperti ini kejadiannya. Andai aku tahu akan seperti ini jadi. Pasti aku akan Moza tak membalas ucapan itu. Guyuran hujan dan duka ini menyatu membuat hati dan tubuhnya seperti membeku. Suara tangisnya pun mulai mereda. Hanya air mata yang terus saja menetes berpacu dengan derasnya hujan. Saat Rama menggendongnya ke mobil, dia pun pasrah tak bereaksi apa pun. *** Sudah hampir satu jam hujan turun masih juga belum ada tanda-tanda reda. Moza dan Rama masih setia berada di dalam mobil di depan rumah ibu Moza. Selama itu Moza tak bicara sepatah kata pun. Hanya sesekali isak tangis masih terdengar. Namun air matanya belum juga berhenti menetes. Dengan sabar Rama menghapusnya dengan tisu tiap air mata itu jatuh ke pipinya yang sudah memucat. Tak lupa sesekali dia gosok-gosok dan genggam telapak tangannya yang dingin agar menjadi hangat. Mobil jenazah yang sudah siap sejak tadi, mulai dihidupkan dan mendekati teras. Dari dalam rumah tampak jenazah dibawa keluar dan dimasukkan ke dalamnya. Tampak Namira keluar dengan membawa foto sang ibu dengan berbusana serba hitam masuk ke dalam mobil jenazah sang ibu didampingi dua orang tantenya. Melihat itu, Moza seperti tersadar. Dia segera turun dan berlari ke arah mobil jenazah itu. Moza ingin turut serta mendampingi ibunya di mobil itu. Rama pun segera turun mengejarnya. “Moza tunggu! Moza!” Seru Rama di tengah derasnya hujan dan tatapan para pelayat yang akan mengiringi jenazah ke pemakaman. Moza tak menghiraukan panggilan itu. Terus berlarian ke mobil jenazah. Begitu sampai, salah satu tangannya menahan pintu mobil yang akan ditutup oleh Namira karena tahu kakaknya mendekat. “Lepaskan tanganmu, Kak Moza. Aku akan menutup pintunya. Kami harus segera berangkat,” ucap Namira dingin. “Aku mohon Nami. Izinkan aku mendampingi Ibu juga,” ucap Moza dengan berlinang air mata kembali. Namira tidak menjawab. Dia berusaha keras melepaskan pegangan tangan Moza dari pintu itu. “Nami biarkan Kakakmu masuk,” pinta Rama yang sudah berdiri di belakang Moza. Ingin rasanya dia membantu Moza untuk masuk ke dalam. Tapi dalam situasi duka seperti ini dia tak ingin memicu keributan. “Nami aku mohon, Nami. Nami biarkan aku masuk,” bujuk Moza tetap dengan tangisnya di tengah guyuran hujan. “Ibu tidak akan tahan melihatmu, Kak. Pergilah bersama pria pengkhianat itu,” jawab Namira pedas. “Nona, cepat tutup pintunya. Kita harus segera berangkat,” perintah seseorang di dalam mobil. Terpicu ucapan itu, dengan tega Namira mendorong bahu Moza hingga membuatnya terjatuh ke belakang. Untung ada Rama dengan sigap segera menangkap tubuhnya. Nami dengan cepat menutup pintu itu. Moza segera berdiri tegak berusaha mengejar mobil yang telah mulai berjalan keluar halaman rumahnya. “Tidak.... Tunggu! Nami... Jangan per---- “ Tubuh Moza jatuh lunglai ke tanah. “Moza!” Rama segera mengejarnya dan menangkap tubuh gadis itu. Dengan cepat dia mengangkatnya kembali ke mobil. Sementara orang-orang yang akan mengiringi jenazah satu persatu mulai pergi meninggalkan tempat itu. Di dalam mobil Rama berusaha membangunkan Moza yang telah jatuh pingsan. “Moza sadarlah! Sadarlah, Moz. Kita harus segera menyusul ibu, kan,” panggil Rama dengan cemas setelah mengoleskan minya kayu putih di tangannya dan mendekatkan ke hidung Moza. Namun wanita itu tak juga tersadar. Tangannya terasa sangat dingin. Rama mulai bingung saat ini harus mengambil keputusan apa. Apa yang harus dia pilih sekarang. Membawa Moza ke dokter atau terus berusaha menyadarkan dia. Mengingat Moza sangat ingin mengikuti pemakaman ibunya. Bersama dan melihat sang ibu untuk terakhir kalinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN