7. Ciuman Jadi Masalah

1599 Kata
“Kita tidak bisa menolak permintaan mereka, Moza,” ucap Rama lalu mencium bibir Moza hingga membuatnya terkejut. Tapi dia tidak bisa menolak atau meronta-ronta di depan kamera banyak wartawan. Dia adalah istri Rama sekarang. Hal seperti ini akan sangat sulit dia hindari. Apalagi jalan ini sudah dia pilih sebelumnya. Seharusnya dari awal dia sudah persiapkan mentalnya. Sementara itu juru kamera segera mengabadikannya. Setelah berlangsung beberapa lama, Rama pun melepaskan ciuman itu. Tepuk tangan meriah pun terdengar kembali. Rama tersenyum bahagia dan penuh kemenangan. Itu yang ingin dia sampaikan pada Musuh-musuhnya. Karena dia ingin menunjukkan pada musuh-musuh yang berusaha menggulingkan kekuasaannya di Alrash Corp bahwa dirinya bukan pria yang hanya suka bermain-main dengan wanita saja yang berdampak buruk pada perusahaan. Tapi dirinya juga berkomitmen membangun rumah tangga dengan seorang wanita. Sementara itu Moza merasa resah. Tentu saja foto itu pasti akan segera tersebar ke seluruh negeri. Dan tak terkecuali ibunya. Orang tuanya pasti akan segera melihat hasil jepretan itu. Moza tak dapat membayangkan betapa hancur sedih dan kecewanya dia. Hal-hal seperti ini masih sangat tabu di mata ibunya. Dia pasti mengira Moza sudah melupakan norma-norma yang mereka pegang selama ini. Hal-hal yang seharusnya tidak boleh dilihat di depan umum, justru diperlihatkan dengan sengaja. “Tolong, aku ingin pergi dari sini. Tutup saja Konpers ini,” pinta Moza pada Rama yang merasa tidak tahan lagi dengan berbisik di telinga Rama. “Hmm, oke. Tapi, kita harus menuruti permintaan mereka untuk berfoto sebentar.” Kemudian Rama menutup acara itu. Setelah mengikuti sesi foto, mereka berdua pun pamit pergi. *** “Kita akan pulang dulu ke rumahku. Kamu tunggu aku di sana sampai aku pulang dari perusahaan. Baru kita pergi ke rumah Ibumu,” ucap Rama saat mereka dalam perjalan di dalam mobil Rama. Moza tak menghiraukan ucapan itu. Dia terus menatap keluar melalui jendela mobil dengan bibi sedikit mengerucut dan tangan disilangkan. Dia masih merasa kesal. Pertama, tadi setelah akad nikah Rama tidak segera menyempatkan diri bertemu dengan ibunya tapi justru melakukan konferensi pers. Kedua masalah ciuman di konferensi pers tadi. Moza kesal mengapa Rama nekat mencium bibirnya. Seharusnya Rama mencium pipinya saja. Karena hal itu, sampai sekarang Moza terus memikirkan ibunya. Sementara dia masih takut menghubunginya. Sejak mencari Rama di pesta kemarin, Moza belum menghidupkan ponselnya yang telah dia matikan. Sebelumnya dia hanya berpamitan tidur di rumah temannya di luar kota. “Moza? Moza, apa kamu tidak mendengarkanku?” tanya Rama kemudian menoleh pada Moza. “Apa kamu marah padaku?” tanya Rama merasa bingung melihat sikap Moza. “Kalau sudah tau kenapa masih tanya?” sahut Moza ketus. Rama menarik napas berat. “Marah kenapa? Apa salahku padamu, Moz?” Moza menoleh dan tersenyum sinis pada Rama. “Kamu tidak punya salah padaku Rama. Tidak ada salahmu padaku. Kamu itu suami yang baik dan sangat pengertian. Peduli dengan istri. Dan tidak suka mepermalukan istrinya.” Rama mengernyitkan dahi. Memikirkan ucapan Moza yang sangat padat dan penuh emosi itu. “Apa kau marah karena ciuman tadi?” Rama menoleh lagi pada Moza. “Ya, aku yakin pasti karena itu.” Tiba-tiba Rama malah tertawa. “Apa yang kamu pikirkan, Moz? Bagaimana karena sebuah ciuman dari suami sendiri bisa membuatmu marah? Kau ini sangat lucu.” “Apa? Lucu katamu? Ciuman hal yang tabu. Kita tidak boleh melakukannya di depan umum. Kamu memang sangat egois. Hanya memikir dirimu sendiri saja. Kepentinganmu saja yang kau urus dan perhatikan sementara aku tidak.” “Oh ya. Apa maksudmu? Kamu bisa jelaskan ucapmu itu.” “Apa kamu tidak tahu betapa marah sedih dan hancurnya Ibuku setelah mengetahui pernikahan putrinya hari dari pemberitaan di berbagai media dengan foto ciuman seperti itu. Putrinya yang sangat dia percaya, tadinya pamit pergi menginap ke rumah temannya ternyata malah menikah tanpa minta restu lebih dulu,” jelas Moza dengan raut wajah berubah sedih. “Tapi, aku sudah menjelaskan padamu, bukan. Kita belum ada waktu untuk ke tempat Ibumu. Sudah kubilang jadwal kita sangat ketat. Satu persatu masalah harus di selesaikan sesuai urgensinya,” jelas Rama tegas. “Oh, jadi bertemu Ibuku itu nggak urgen, gitu? Ya, siapalah aku dan Ibuku. Jabatan dan hartamu tentu lebih penting,” ucap Moza sinis. “Moz, jangan salah paham begitu. Ini hanya masalah waktu saja. Rapat pemegang saham akan dilakukan sebentar lagi. Sementara mengunjungi Ibu kita bisa lakukan setelahnya karena kita tidak terikat waktu,” jelas Rama bingung Moza tak juga memahami situasinya. “Andai aku bisa, pasti akan kubagi tubuhku ini jadi dua. Satu ke kantor. Satunya lagi ke mengantarmu ke rumah Ibu,” tambahnya lagi. Moza tidak bicara lagi. Ketika Rama meliriknya, dia sedang menatap lurus ke depan. “Kalau begitu kamu ikut aku ke kantor saja. Setelah rapat kita bisa ke rumah Ibu. Dari sana kita baru pulang ke rumah.” “Hmm, baiklah,” sahut Moza singkat. *** Sejak turun dari mobil, tangan Moza selalu digenggam oleh Rama dengan sangat erat. Hingga kini mereka tiba di depan ruangan kantor. Bahkan saat sekretarisnya, Stefi menghampiri dan memberi ucapan selamat Rama, dia hanya melepaskan genggaman itu sebentar saja. “Selamat atas pernikahannya, ya, Pak.” “Terima kasih, Stefi.” “Moz, perkenalkan dia Stefi, sekretarisku. Stef, dia Moza, Istriku.” Moza segera menyalami Stefi. “Halo, Stefi.” “Halo, Bu Moza.” Sekretaris cantik dan berpakaian rapi tapi tidak seksi itu mengangguk dan tersenyum ramah pada Moza. Melihat itu Moza cukup terkejut. Mengingat selama ini Rama terkenal dengan image playboy, ternyata dia justru memiliki sekretaris yang berpenampilan sangat sopan. Jauh dari kata seksi menggoda iman. “Bapak curang. Masak sama saya juga main rahasia, sih, Pak. Saya sedih, Anda menikah tapi tidak mengundang saya.” “Jangankan kamu, Stefi. Aku adiknya saja tidak diundang,” sahut seorang pria muda usia kira-kira hanya selisih dua tahun di bawah Rama yang tiba-tiba saja muncul dari arah belakang Moza dan Rama berdiri. Mereka bertiga segera melihat ke arah suara orang itu. “Pak Reno. Selamat siang, Pak,” ucap Stefi saat pria itu hampir berada di dekat mereka. “Selamat siang Stef.” Pria itu kemudian menoleh ke arah Rama dan Moza. “Selamat siang Kakakku. Selamat atas pernikahanmu,” ucap seraya mengulurkan tangan dengan senyuman sinis menatap Rama. “Selamat siang, Reno. Terima kasih,” ucap Rama menyambut jabatan tangan itu dengan malas dan raut wajah dingin. Kemudian dia menoleh pada Moza. “Moza, perkenalkan dia Reno Alrash, Adikku,” jelas Rama. Moza segera menyalami Reno yang lebih dulu mengulurkan tangannya dengan senyum dan tatapan sinis. “Hai, Reno.” “Hai juga, Kakak ipar. Kau sangat cantik. Pantas saja bila Kakakku menikahimu secara diam-diam tanpa memberitahu banyak orang. Mungkin dia takut akan ada pria yang mencurimu,” ucap Reno lalu melemparkan tatapannya pada Rama yang masih memasang raut muka kaku dan dingin. “Terima kasih... Tidak---- “ Moza belum menyelesaikan kalimatnya Rama sudah memotongnya. “Aku tidak pernah takut dia dicuri orang lain. Karena kali ini aku telah bertemu dengan wanita sangat mencintaiku. Dia bukan w************n yang mudah tergoda dengan bujuk rayu pria lain.” Moza mengerutkan dahi mendengar ucapan itu. Seolah ucapan itu penuh kemarahan, kebencian dan sindiran pada seseorang. “Moza kamu masuk dulu ke ruanganku. Aku harus ke ruang rapat sekarang,” perintah Rama. “Oke.” “ Stefi, tolong antar Istriku masuk. Setelah itu kamu bisa menyusul ke ruang rapat,” perintah Rama pada sekretarisnya. “Baik, Pak.” “Aku juga harus ke ruang rapat Kakak ipar. Lain kali kita bincang-bincang lagi,” pamit Reno. “Panggil aku Moza saja. Oke, silakan. Besok kita bisa berbincang lagi, Reno.” “Baiklah, Moza. Aku pergi dulu.” Reno melambaikan salah satu tangannya sebentar kemudian pergi meninggalkan tempat itu. “Aku juga harus pergi sekarang.” pamit Rama menyentuh lengan Moza sebentar lalu melangkah pergi. “Mari, kita masuk, Bu,” ajak Stefi. Moza mengikuti Stefi yang melangkah lebih dulu dan membuka pintu untuknya. Begitu masuk, matanya langsung disuguhkan sebuah ruangan kantor yang cukup luas dan mewah. Dinding dan berbagai perabot berwarna abu-abu dan hitam. “Ini meja, pak Rama.” Stefi menunjukkan meja kerja Rama yang membelakangi dinding kaca. “Silakan duduk, Bu. Saya akan ambilkan minum dulu. Tapi, Anda juga bisa duduk di sofa di sana,” stefi mengarahkan tangannya dengan sopan ke arah satu set sofa mewah berwarna hitam. “Terima kasih, Stefi. Aku masih ingin di sini.” “Baiklah, kalau begitu. Saya ke dapur dulu.” Stefi melangkah pergi ke ruangan yang masih satu ruang dengan ruang kerja Rama yang dia sebut dapur tadi. Moza hanya memperhatikan kepergian Stefi masuk ke dapur sebentar saja. Lalu dia kembali memperhatikan meja kerja Rama yang tertata rapi. Kemudian tatapannya tertuju pada bingkai foto yang berdiri di atas meja. Moza melangkah ke belakang meja dan duduk di kursi. Dia ambil bingkai itu lalu memperhatikan foto wanita yang ada di sana. Sangat cantik. Itulah satu kata yang terucap di hatinya. Moza segera menoleh ketika Stefi datang membawakan secangkir teh untuknya. Tapi, dia masih memegang bingkai itu. “Silakan diminum, Bu,” ucap Stefi sambil melihat ke arah Moza yang memegang bingkai itu. “Terima kasih. Aku akan minum sebentar lagi, Stefi. Oh ya. Apakah dia Ellea?” tanya Moza dengan tenang. “Benar, Bu,” jawab Stefi antara merasa bingung dan gugup. Moza mengetahui nama Ellea tapi belum mengenali wajahnya. “Siapa dia? Apa dia pacarnya?” tanya Moza lagi. Stefi makin bingung dan gugup. Dia ingin menjawab tapi takut salah. “Sampai pagi tadi, saya yakin jika Ellea masih kekasih pak Rama, Bu. Tapi setelah saya melihat berita pernikahan Anda dan pak Rama. Saya tidak tahu sekarang Ellea itu siapa bagi pak Rama.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN