PART 5

3934 Kata
Sudah lima hari aku tinggal dirumah Azka, dan Anna tidak juga muncul dihadapanku. Bahkan telefon ku tidak diangkat. Saat aku datang ke rumah yang ditempatinya juga dia juga tidak ada. Sepertinya dia memang benar-benar niat membuatku menikmati liburan berdua dengan Azka. Uhm, Adrianna juga. Lima hari ini aku menghabiskan waktu dengan mengantar Ad ke playgroup nya, mendatangi tempat wisata di Singapura dan malamnya berjalan sambil menikmati es krim orchar yang terkenal itu di Orchard road bersama Ad. Setiap malam aku tidur dengan Ad karena gadis kecil itu memintaku menemaninya tidur. Padahal menurut Azka, Ad sudah tidak pernah ditemani tidur setelah ulangtahun yang keempat. Azka mengambil cuti selama aku di Singapura saat aku bertanya kenapa dia tidak bekerja dan malah menemaniku berjalan di Bugis Street untuk membeli oleh-oleh. Hari ini adalah hari Sabtu, dan rencananya Azka akan mengajakku ke Singapore Zoo dan berenang di Marina Bay Sands. "Aku gak bawa baju renang," Keluhku saat Azka mengutarakan idenya untuk menghabiskan sore hari dengan berenang di Marina Bay Sands. "Beli lah, Call," Azka menatapku jengah. Entah sejak kapan, aku dan Azka sudah terlihat sangat akrab. Kami berdua seperti sudah saling mengenal lebih dari sepuluh tahun. Aku sering ngambek dan marah padanya tanpa peduli bahwa dia laki-laki yang baru ku kenal, dan Azka juga sering mengomel padaku bahkan menggerutu jika aku memaksa dirinya untuk pergi atau makan sesuatu yang tidak dia sukai. Semuanya berjalan sangat normal, aku bahkan sempat melupakan lamaran norak Azka saat aku pertama kali datang ke Singapura. Tapi besok aku akan pulang ke Jakarta. Pada satu sisi aku berharap Azka membahas lamaran itu, tapi disatu sisi aku merasa takut dan belum siap. Aku rasa, pernikahan masih jauh dalam bayanganku. Karena saat ini yang ada dalam bayanganku adalah.... Revisi skripsiku yang tidak ada habisnya, HAH!!! "Aku gak mau berenang, ah. Aku jagain Ad aja di pinggir kolam." Putusku tiba-tiba saat mengingat aku baru kenal sama Azka lima hari ini. Malu juga berenang didepan Azka! Azka tersenyum meremehkan. "Gak bisa berenang , ya? Kalah sama Ad." Aku mencibir. "Enak aja!! Bisa, lah. Aku les renang waku kecil tahu," seruku jengkel. "Masa?" Tanya Azka tak percaya. Wajahnya seperti menahan tawa. "Iya" seruku kesal dan melempar bantal sofa yang sukses mendarat diwajahnya. Bukannya marah, dia malah tertawa. ------ Kemarin malam aku, Azka dan Adriana pergi ke Nge Ann City –Mall di Orchard- dan aku juga Adrianna membeli sebuah Overall Jeans yang kebetulan tersedia dalam ukuran besar dan kecil. Jadilah kami memutuskan untuk memakai Overall –yang belum sempat dicuci ini- untuk menikmati jalan-jalan di Singapore Zoo. Overall celana pendek ini aku padukan dengan kaus putih polos dan sedikit tipis karena pasti cuaca di kebun binatang ini tidak jauh berbeda saat di Universal Studio beberapa hari yang lalu. Seakan tidak mau ketinggalan, Azka pun sempat mengganti baju dengan kaus putih juga saat melihat aku dan Adrianna memakai baju kompakan. Kini kami benar-benar terlihat seperti... "Aku seperti ayah yang sedang mengasuh anak gadis nya," Gerutu Azka saat kami memasuki kebun binatang. "Kamu kan udah gede, harusnya kamu tunjukin dong, Call kalau kamu itu udah dewasa. Bukan malah pake baju kaya Adrianna gini." tambahnya. "Kamu lupa ya kalau Adrianna yang kemarin minta baju yang sama kaya aku?" Tanyaku sedikit kesal karena dia menuduhku yang tidak-tidak. "Tapi bisa kan dipake nya gak pas jalan sama aku?" "Udah deh, gak usah lebay," gerutuku. "Ayo, Ad kita liat buaya," Aku menarik tangan Ad dan meninggalkan ayahnya yang memang sejak berangkat dari rumah tensinya sedang naik. Mungkin dia lagi PMS. Tidak seperti di taman safari yang menggunakan mobil untuk melihat binatang, di sini pengunjung harus berjalan kaki, walaupun ada bis terbuka jika pengunjung tidak kuat berjalan. "Dad, I'm tired," rengek Ad dan meminta Azka untuk menggendongnya setelah menaiki kuda poni dan berfoto. Azka mengangkat Ad dan menggendongnya sedangkan aku membuka topi yang Ad kenakan juga tas nya dan mengipasi Ad yang sudah mengeluarkan keringat. "Kita istirahat dulu, ya. Makan dulu, baru dilanjut lagi." putus Azka yang aku iyakan saja, toh aku juga sudah lapar dan capek padahal belum setengah dari kebun binatang ini yang kami datangi. Kami makan di salah satu fast food terkenal yang juga ada di Indonesia yang berada di area anak-anak. Mata Ad tidak bisa lepas dari arena Giant Rabbit dan Azka harus membujuk Ad untuk makan terlebih dahulu jika mau bermain dengan kelinci besar disana. Aku menyuapi Ad makan karena gadis kecil Azka ini ngambek karena tidak diperbolehkan makan sambil bermain dengan kelinci, sedangkan Azka malah menyuapiku. Kami jadi seperti domino, hanya saja Ad tidak menyuapi Azka, hahaha. Adrianna menggelengkan kepalanya saat aku akan menyuapinya dengan ayam dan nasi. Dia menutup mulutnya dengan kedua tangan, tanda bahwa dia tidak ingin makan lagi. Aku menyerah dan memberikan air putih yang berada di dalam tas kecil milik Ad. "Aku boleh ke kelinci ?" Tanya Adriana. "Nanti. Kalau semua sudah selesai makan," Adrianna mencebikkan bibirnya dengan kesal dan aku hanya tertawa. "Aku udah selesai makan. Yuk, ke kelinci", Ajakku menarik turun Adrianna dari kursi. "Nanti aku nyusul." ucap Azka yang ku iyakan tanpa menoleh padanya. ----- Adrianna terlihat senang berinteraksi dengan kelinci-kelinci raksasa. Well, sebenarnya hanya kelinci biasa yang kalau di Bandung dijadikan sate itu. Tapi sepertinya di Negara ini kelinci termasuk hewan yang jarang ditemui –kecuali dikebun binatang- maka dari itu Adriana terlihat senang bermain dengan kelinci. Gadis kecil itu juga sempat berbicara dengan anak kecil lainnya yang sedang bermain di area itu. "your daughter ?" suara seorang laki-laki membuat ku menoleh. Laki-laki tinggi yang sudah jelas berkebangsaan Jepang itu tersenyum ke arahku yang ku balas dengan senyuman. Bingung juga sebenarnya mau ngaku-ngaku kalau Ad itu anakku atau bukan, karena saat ini aku dan Ad kan pakai baju yang sama. "Do you mind if I take a picture of your daughter and my daughter ?" Tanya laki-laki yang menunjuk Ad dengan seorang gadis kecil dengan wajah khas Jepang itu sedang tertawa bersama. "Sure" sahutku. Laki-laki Jepang itu menghampiri Ad dan anaknya kemudian mengeluarkan ponselnya dan mengambil gambar Ad dan anaknya yang sedang memegang kelinci sambil tersenyum lebar. Aku menghampiri mereka. "I want to take a picture too," kataku dan mengeluarkan ponselku. "Give me your phone, let me take your picture and them," aku memberikan ponselku dan berjongkok diantara Ad dan gadis kecil yang ternyata bernama Aiko. "Thank you very much." ucapku padanya. Dia mengangguk dan pamit untuk berjalan keliling kembali. Ad dan Aiko melambaikan tangan mereka mengucap perpisahan. That's cuteeeeee!!! "Teman baru, Ad?" tanyaku padanya. Ad menganggukan kepalanya. "Dia tinggal di Tokyo, aku diajak main kerumahnya besok." jawab Ad, dan aku hanya meringis. Dasar anak kecil. Dia kira ke Tokyo seperti dari Jakarta ke Bogor, apa?! "Did I miss something, here?" tiba-tiba Azka sudah berada diantar kami dengan membawa gelas kertas tinggi. Azka memberikan gelas itu yang ternyata adalah cola. "Ad ketemu temen baru, dia diajak kerumahnya," jawabku kemudian meminum cola yang diberikan Azka tidak peduli apakah Azka sudah meminumnya apa belum. Toh tadi aku makan dari nasi dan piring yang sama dengan Azka, kan?! "Oh, ya? Dimana rumahnya?" Tanya Azka bersemangat. "Di Tokyo, dad." seru Ad tidak kalah bersemangatnya. "Besok kita kerumah Aiko, ya dad ? Ya, ya, ya, ya?" Pinta Ad sambil meloncat-loncat sedangkan aku sudah tertawa. Azka menggelengkan kepalanya dan berjongkok hingga dirinya sejajar dengan Ad. "Sayang, Tokyo itu jauh, loh. Lagipula emang kamu tau rumah dia di Tokyo dimananya? Kalau kita kesasar bagaimana? Lain kali aja ya?" Azka mengusap dengan sayang kepala Ad yang sudah mulai kembali basah karena keringat. Wajah Ad terlihat murung. Sulit memang membuat pengertian kepada anak kecil. "Inget gak? Besok kan tante Callista mau pulang ke Jakarta," ucap Azka membuat Ad menatapku. Tubuh Adriana berputar dan menghadap ku. "Tante mau pulang?" Wajah Ad bertambah murung. Sepertinya Azka salah mengalihkan pembicaraan. Aku ikut berjongkok disamping Azka. "Iya, sayang. Tante harus pulang. Gak bisa lama-lama disini," Jelasku. "Kenapa pulang?" Tanya Ad. Karena tante harus kembali pada kenyataan. Disini terlalu seperti mimpi, jawabku dalam hati yang tentu saja tidak kusuarakan. "Tante kangen sama mama papa tante." akhirnya kupilih jawaban yang paling masuk akal yang pasti dapat dicerna oleh Ad dengan baik. "Kenapa mama papa tante nggak ke sini aja?" Tanya Ad sepertinya tidak menerima bahwa aku akan pulang. "Karena kami tinggal di Jakarta dan gak bisa pindah, sayang." Sabar. Sabar. Azka langsung menggedong Ad yang sudah ingin menyuarakan pertanyaan lagi. "Ayo kita lihat hewan-hewan lainnya," Ajak Azka sambil berjalan. Aku menghela nafas lega. Dibawah terik matahari dan memberikan perngertian pada anak kecil bukanlah suatu hal yang.... mengenakan. ----- Selama sisa siang itu kami berkeliling kebun binatang dan hampir selalu berfoto dengan apapun hal menarik dan unik yang kami lewati. Kami juga sempat menaikin tram untuk sekali lagi berkeliling kebun binatang hingga akhirnya kami keluar pukul empat sore. Keluar dari Singapore Zoo, supir Azka membawa kami menuju Marina Bay Sands untuk berenang karena ternyata, Ad sudah merengek pada Azka untuk berenang dari dua minggu yang lalu dan baru terealisasikan hari ini. "Kamu serius bawa Ad berenang disini? Ini sih gak cocok buat tempat renang anak kecil." Bisikku saat kami sudah berada di lokasi kolam renang Marina Bay Sands yang paling terkenal itu. Kolam renang yang disebut Infinity pool ini hanya bisa di pakai oleh pengunjung yang menyewa hotel. Dan kini aku masih bertanya-tanya, apakah Azka memesan hotel hanya untuk berenang disini?! "Adrianna udah pinter berenang sejak umur tiga tahun. Dia juga aku pakaikan pelampung. Selain itu, aku juga mau berenang jadi tempat ini yang paling cocok untuk kita" Jelas Azka. "Kita? Kamu aja kali sama Adriana. Aku kan gak berenang," sahutku sambil duduk disalah satu sofa berjemur. Hari sudah sore dan karena sekarang malam minggu, lumayan banyak orang yang menggunakan kolam berenang, dan kebanyakan adalah bule. "Kenapa memang gak mau berenang?" tanya Azka dengan wajah serius, sedangkan Adrian sudah duduk manis di kursi dan terlihat bersemangat untuk berenang. "Gak bawa baju renang, Azka" kataku gemas. "Lagian aku males bilas," Akuku. Azka menghela nafas. "Gak bosen kalo aku tinggal berenang sama Adriana?" "Nggak, kok. Lagian aku bisa cuci mata, banyak bule hehehe," kataku sambil tertawa kecil. Azka mencubit pipiku. "Genit banget, padahal udah punya calon suami." Wajahku sepertinya memerah karena ucapakan Azka membuatku malu. "Bawel! Udah sana, ganti baju. Aku mau bantu Ad ganti baju juga. Dia udah gak sabar mau masuk ke kolam tuh." tunjukku pada Adriana yang sudah berdiri dibibir kolam. ----- Pemandangan dari Infinity pool saat sore hari sangat indah. Kata orang yang sudah pernah ke sini, kita bisa melihat Indonesia dan Malaysia dari lokasi ini. Tapi sayangnya aku nggak pakai kaca mata sekarang. Azka saja terlihat blur dari tempat ku duduk, apalagi Indonesia sama Malaysia?! Di meja tempat aku duduk, sudah tersedia club sandwich, biskuit, air mineral, dan minum-minuman warna-warni milikku dan Azka. Beberapa orang ku lihat memperhatikan Azka dan Adrianna yang asik sendiri berenang. Mungkin mereka terharu dengan momen anak dan ayah yang sedang terjadi di dalam kolam. Jangan lupa juga dengan badan Azka yang.. hmm.. bagus. Gak terlalu berotot tapi terlihat kuat dan kokoh. Pasti enak sandaran di tubuh Azka. Dari kecil orangtua ku selalu bilang aku tidak punya tulang karena siapapun yang sedang berada di sebelahku, pasti akan kujadikan sandaran. Aku bahkan pernah bersandar pada seorang mama-mama saat berdiri di dalam bis. Kalau mengingat hal itu, rasanya aku mau masuk ke black hole saja! Kulihat Azka menghampiriku, mengambil handuk dan mengeringkan tubuhnya. Dibelakangnya, Adrianna mengikuti Azka dan aku segera mengambil bathrobe untuk membungkus tubuh Adrianna yang terlihat mulai kedinginan. "Puas berenangnya?" tanyaku pada Adriana seraya mengeringkan tubuhnya. "Aku masih mau berenang, tapi sama papa gak boleh," Adu Ad padaku. "Iya, sudah sore. Nanti masuk angin." jelasku. Ad menatapku. "Masuk angin, apa?" Aku bengong. Gak percaya Ad akan menanyakan hal seperti ini. Memang Azka gak pernah menyebut kata 'masuk angin' ya?! "Masuk angin itu, sakit. Nanti kamu pusing, mual, dan badan kamu sakit semua," jelasku mencirikan apa masuk angin itu. Aku jadi bertanya-tanya, kata 'masuk angin' itu dari mana ya? Adriana menganggukan kepalanya. "Aku mau mandi," pinta Ad, aku segera berdiri untuk membantu Ad membilas tubuhnya. "Gak usah. Ada baby sitternya." Azka menahanku yang akan membantu Ad mandi. "Hah? Mana?" tanyaku mencari baby sitter Adriana karena daritadi aku tidak melihatnya. "Dia tadi dikamar hotel," Jawab Azka. "Tuh, dia sudah datang. Ad mandi sama nanny ya," ucap Azka pada Adriana yang dianggukan oleh Ad. Gadis kecil Azka nurut banget, deh. Jadi gemes! Azka menggiring Ad menuju baby sitternya, kemudian laki-laki itu berbalik menuju ruangan bilas khusus pria. ------ Sentuhan dingin di pipiku membuat ku tersentak dan tiba-tiba Azka sudah duduk disampingku. Dia sudah rapih menggunakan celana pendek selutut dan kaus putih lengan pendek bergambar logo autobots –baju yang kemarin kami beli di Universal studio. "Adrianna mana?" tanyaku saat belum melihat Adriana kembali. "Di bawa nanny nya tidur. Biasanya abis berenang dia emang pasti tidur sampe pagi, makanya aku sewa kamar disini" Jelas Azka. "Orang kaya sih bebas ya. Padahal rumah deket tapi malah mesen kamar hotel yang harganya selangit," gumamku tidak bisa menghilangkan nada sinis. Azka tertawa. "Kalau gak mesen kamar, gak bisa berenang disini dong," katanya gak peduli dengan ucapanku tadi. Iya juga sih. "Kamu besok pesawat jam berapa?" Tanya Azka tiba-tiba membuatku teringat bahwa aku belum packing. GAWAT!! "Jam lima sore. Tapi kan aku naik pesawat LCC, biasa lah. Paling delay. Kenapa?" Azka mengerutkan kening. Terlihat tidak suka dengan jawabanku. "di upgrade ajak ke Garuda. Aku gak pernah naik pesawat LCC soalnya aku ngerasa keselamatan aku digadaikan." ucapnya berlebihan. "Garuda kan mahal. Untuk penerbangan sejam masa bayar sejuta lebih. Sayang ah, lagian mana bisa upgrade, yang ada beli tiket lagi." aku menarik gelas berisi lemonade yang tinggal setengah dan menyesapnya. Hmm, coba ada es kelapa, persis kaya di pantai. "Ya udah, nanti aku yang upgrade," kata Azka seenaknya. Aku meletakan kembali gelas berisi lemonade. "Gak usah. Ngapain sih? Sayang uangnya. Kalau tiket aku bisa diuangkan baru gak apa-apa di upgrade," kataku menolak saran Azka. "Mending di simpen aja uangnya." sambungku. "Disimpen? Buat apa? Buat kita nikah?" Tanya Azka yang seharusnya membuatku merona tapi malah membuatku tertawa keras. "Kok ketawa?" Azka mengerutkan keningnya. Heran. Aku juga gak tau kenapa aku bisa ketawa sekeras ini. Aku menggelengkan kepalaku. "Gak apa-apa. Pengen ketawa aja" kataku akhirnya. "Lamaran aku waktu itu serius, Call," ucap Azka membuatku berdeham. Sepertinya kami sudah memasuki pembicaraan serius saat ini. "Iya aku tau, kok." "Tapi kamu seperti nggak menganggapnya serius," gumam Azka. Dengan berani aku berpindah duduk ke samping Azka dan menggenggam tanganya. "Aku nggak menganggapnya bercanda. Aku cuma masih gak percaya aja." ujarku. "Lagipula, bagi aku menikah itu suatu yang sakral. Aku mau menikah sekali seumur hidup, maka dari itu aku harus mengenal baik calon suami aku. Karena sekarang pun yang sudah berpacaran lama dan nikah bisa cerai, apalagi kita yang baru kenal selama seminggu ini. Kamu ngerti kan maksud aku?" Azka menganggukan kepalanya. "Kasih tau aku gimana caranya biar kamu percaya kalau aku bener-bener serius sama kamu?" Aku menghela nafas. "Gimana kalau kamu cerita dulu tentang masa lalu kamu? Tentang mama nya Adrianna, tentang kamu yang tinggal di Singapura?" Jemari Azka yang masih berada di genggamanku terasa menegang. Aku tahu ini mungkin topik yang enggan dibicarakan oleh Azka tapi aku gak mau ada rahasia diantara kami apalagi jika Azka ingin aku mengambil bagian dari hidupnya. Aku harus tau bagaimana masa lalunya, sekelam apapun itu. Karena hal itu akan menjadi salah satu alasan untuk aku menerima atau menolak lamaran Azka. "Kayaknya gak enak kalau bicara disini. Gimana kalau sambil makan malam? Aku janji akan cerita semuanya ke kamu." pinta Azka padaku dan aku langsung menganggukan kepalaku. ----- Kami turun ke Level 1 dan Azka menuntun ku menuju sebuah resto dengan nama Bread Street Kitchen by Gordon Ramsay dan langsung bertemu dengan salah satu waiters yang setia menunggu didepan pintu masuk. Wait.... By Gordon... who?? Did I just said, Gordon Ramsay?! Mataku kembali memandang tulisan nama restoran yang berada di d**a kanan kemeja sang waiters. This is really a restaurant by Gordon freakin' Ramsay, OH MY GOD!!! Mungkin akan menjadi pengalaman sekali seumur hidupku untuk berkesempatan mencicipi menu makanan yang diracik dari buku menu Chef yang wajahnya hanya bisa kulihat di televisi. Itupun harus menggunakan tv cable. Seperti tebakanku, Azka berbicara dengan waiters menggunakan bahasa inggris, kemudian kami mengikuti waiters tersebut ke arah meja persegi khusus dua orang yang berada di samping jendela. Harus ku akui restoran mahal dan berkelas memang menjanjikan, baik dari segi pelayanan, rasa makanan hingga desain restoran. Perutku saja langsung mulas begitu melihat harga yang tertera pada buku menu yang sudah tersedia diatas meja. "Kamu beneran mau makan disini?" tanyaku berbisik. Bukan meragukan keuangan Azka. Hanya saja sayang sekali harus membuang uang hingga 38 dollar atau setara dengan 500 ribu hanya untuk makan daging bebek. Yang benar saja?! "Iya, aku mau coba aja soalnya ini resto baru. Kata temenku makanannya enak," sahut Azka tanpa mengalihkan matanya dari buku menu. Aku mencibir. "Ya harus enak, lah. Kalo harga 500 ribu dan makanannya gak enak, aku lempar chef nya pake sendok." gerutuku. "Gak usah bawel. Kamu mau pesen apa?" Azka menurunkan buku menunya dan mengangkat tangan untuk memanggil waiters dan dalam sekedip mata, sang waiters sudah ada di samping meja kami. "Jangan liat harganya! Tapi liat mana yang kamu suka," tambah Azka yang melihatku bingung memilih menu. Aku meringis. Dia tahu aja apa yang sedang aku fikirkan. "Aku mau rib eye steak aja deh" ujarku. "Minumnya air putih aja." Azka menganggukan kepalanya. "Two sweet corn soup with spiced loabster, one roasted duck breast, one rib eye steak and two mineral water" ucap Azka pada waiters, matanya kemudian menatapku, "Dessert nya mau apa?" Buru-buru aku kembali membaca menu. "Chocolate fondant with choco chip ice cream, please." Azka kembali menatap waiters. "Make it two." tambah Azka. Waiters menganggukan kepalanya kemudian beranjak meninggalkan kami. "So, where do I have to start?" Azka menatapku penuh dengan tanya. Ku angkat bahuku. "Mungkin dari awal hidup kamu," kataku. "Aku kan harus tahu gimana kehidupan calon suami aku sebelum kenal sama aku." tambahku. Azka berdeham dan memajukan kursinya. "Well, kamu tau namaku Azka Hafiz Reynand, dan aku kerja sebagai seorang arsitek. Mamaku asli Sunda dan ayahku berkebangsaan Inggris. Ayahku sudah meninggal dan kini mamaku tinggal di Bali karena ada usaha kecil-kecilannya disana. Aku dua bersaudara, kakakku laki-laki, sekarang tinggal di Swiss karena bekerja di pabrik pembuat kereta sebagai engineering. Aku pindah ke Singapura saat Adriana berumur enam bulan," Dia menarik nafas dan menghembuskannya dengan pelan saat seorang waiters datang membawa dua gelas air putih dan dua mangkuk corn soup yang masih mengepul. "Adrianna ada karena... kecelakaan. Aku tidak menyalahkan siapapun disini karena perbuatan itu kami lakukan dengan sadar dan status kami saat itu memang... pacaran. Setelah tahu dia hamil, aku memberitahu kakakku kemudian terakhir ayahku," lanjutnya. "Ayah sangat marah saat itu, dan kami sepakat untuk menutupinya dari mama. Setelah itu, ayah memutuskan untuk menikahkan kami," Azka menatapku, "Dan kami menikah. Adrianna lahir prematur, saat tujuh bulan masa kandungan. Setelah tiga bulan Adriana lahir, kami memutuskan berpisah dan dia menghilang sampai sekarang," Azka menutup penjelasannya dengan menyesap air putih yang berada di hadapannnya hingga tandas. Dia mengangkat tangannya lagi dan meminta air putih kembali. Sedangkanya aku masih mencoba mencerna seluruh penjelasan Azka. "Semua itu berat untuk aku. Apalagi saat mama tau semua kebenarannya. Untungnya, mama tidak sampai jatuh sakit," ujarnya pelan. Semuanya masuk akal bagiku. Tapi hanya ada satu yang mengganjal. "Kenapa wanita itu pergi meninggalkan kamu dan Ad?" tanyaku pelan. Azka mengangkat bahunya. "Saat itu kami masih muda Call, masih seumuran kamu, dia mungkin ingin bebas dan gak mau terikat dengan status pernikahan dan bahkan status ibu yang mengikat dia. Dulu aku memberinya kebebasan untuk terusin kuliahnya dan kerja tapi dia tetap mau berpisah." "Tanpa sadar dia menolak menerima Adrianna," gumamku pelan. "Mungkin kamu benar," sahut Azka dengan santainya. Aku berdeham. "Siapa dia? Mamanya Adrianna?" pertanyaan yang terus menerus berputar dikepalaku akhirnya ku suarakan juga. Azka menarik tangan kananku dan menggenggamnya. "Mamanya Adrianna adalah Gina. Kakak sepupu Anna, anak dari duta besar Singapura. Om ridwan." Aku terkesiap hingga rasanya jantungku jatuh ke perut dan tenggorokkan ku kering seketika. Semua jelas sekarang. Kenapa Azka bisa sampai tau aku bermain skype dengan Anna dan kenapa Azka sering datang ke rumah om ridwan. Itu jelas karena pasti om Ridwan ingin bertemu dengan cucunya. ASTAGA TUHANN!!! ------ Aku sudah berdiri di lobi bandara Changi. Sudah pukul tiga sore dan aku harus menukar tiket menjadi boarding pass. Selagi aku mengantri, Azka dan Adriana duduk di kursi tunggu yang tersedia di lobi bandara yang luas. Sepertinya yang diucapkan Azka, kini aku memegang boarding pass dengan lambang Garuda Indonesia di pojokkan. Well, aku gak munafik bahwa aku senang karena tidak harus naik pesawat murah itu. Aku menghampiri Adrianna dan Azka. Mereka kemudian berdiri dan Azka membantuku mendorong troli menuju tempat pemeriksaan passport dan boarding pass. Tempat itu juga akan menjadi tempat perpisahan aku dan Adrianna juga Azka. "CIT!!!" teriakan familiar menggema ditelingaku. Reflex aku memutar tubuh dan menemukan Anna sedang berlari menghampiriku. "Enak aja lo mau balik tanpa pamitan sama gue!" omelnya padaku. "Yang gak ada kabarnya siapa sekarang?" tanyaku balik mengomel padanya. Enak aja dia menyalahkanku. Anna terkekeh pelan. "Aunty Ann," panggil Adriana. Anna memutar tubuhnya dan mengusap kepala Adriana. "Hallo Ad. Ikut anter calon mama ya?" tanya Anna membuatku malu, sedangkan Azka sudah tertawa kecil. "Aku mau ikut tante Callista," rengek Adrianna pada Azka. Dari tadi pagi saat melihat aku packing, Adriana sudah merengek bahkan menangis pada Azka untuk ikut bersamaku yang tentu saja ditolak oleh Azka. Aku juga ngeri sih harus mengurus anak orang tanpa orangtuanya. Aku kan gak punya pengalaman mengurus anak. "Nanti aja ya pas liburan. Pasti papa mau anter Ad ke rumah tante" kataku mencoba memberi pengertian pada Adrianna. "bener, pap?" Adrianna yang sudah berada di gendongan Azka menatap Azka dari jarak dekat. "Iya. Apa sih yang nggak buat kamum" goda Azka mencium pipi Adrianna. Adrianna yang tidak mengerti hanya menggaruk pipinya. Aku melirik jam yang melingkar di tangan kananku. "Harus masuk nih," kataku saat kami juga sudah berhenti di tempat pemeriksaan passport dan boarding pass. "Ah, gak rela gue, lo di monopoli sama Azka," gerutu Anna kesal. "Lo lah yang ke Jakarta. Songong banget gak mau balik," nyinyirku padanya. "Sibuk, sis. Nanti deh pas libur sekolah disini gue ke Jakarta. Awas lo sok sibuk!" Ancam Anna padaku. Dia kemudian memelukku dengan erat. "Masih kangen!!!" "Lebay! Udah ah, gue mau masuk nanti ketinggalan pesawat, kan gate nya jauh," seruku. Anna melepaskan pelukkannya padaku. "Hati-hati ya," ujarnya yang ku anggukan dengan semangat. Setelah dipeluk Anna, kini giliran Azka yang memelukku. Karena Adrianna masih berada di gendongan Azka, akhirnya kami berpelukan bertiga. "Jangan lupa kabarin kalau sudah sampai, ya." pesan Azka saat melepas pelukannya. "Iya." sahutku pendek. "Jangan genit sama cowok-cowok disana. Kamu udah tunangan. Inget tuh ada cincin di jari tangan kanan kamu," kata Azka lagi membuatku reflek melihat jari manis tangan kananku. Setelah Azka menceritakan setengah dari masa lalunya semalam, dia memberikan cincin yang sempat digunakan untuk lamaran norak di Orchard saat itu dan memaksaku memakainya. Dia bilang itu bukti kepada mama ku kalau Azka benar sudah melamarku. "Ya udah, masuk dulu ya," aku menatap Adrian dan mencium pipi Adriana dan dengan sisa keberanian yang ada, aku juga mencium pipi Azka. Aku berjalan menuju pengecekan passport. Sebelum benar-benar masuk, aku melihat Adrianna yang masih dalam gendongan Azka melambaikan tangannya padaku. Aku tersenyum dan membalas lambaian tangannya. Anna yang berada disebelah Azka juga ikut melambaikan tangannya. Entahlah, melihat mereka seperti keluarga kecil. Setelah dilihat lagi, Adrianna memang sedikit mirip dengan Anna. Apa Azka gak salah memilihku menjadi ibu untuk Adrianna? Kenapa bukan Anna saja? Pertanyaan itu terus berputar hingga pesawat yang kutumpangi mendarat dibandara Soekarno-Hatta dan membuatku sulit tidur malamnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN