5 Years Ago
Waktu terus berjalan, tak terhentikan, seperti arus sungai yang tak kenal lelah.
Lima tahun berlalu, kenangan semakin pudar, tetapi bagi Matthew, setiap detiknya seperti ribuan jarum menusuk jiwanya. Pencariannya akan Aletta berakhir dalam kehampaan.
Kepergian Aletta adalah misteri yang menyesakkan, seperti ditelan bumi, meninggalkan Matthew dalam kehampaan yang merusak kewarasannya. Tanpa jejak, tanpa kabar, hanya kosong yang memeluknya.
Di dalam kesunyian, kerinduan mengakar dalam, menghancurkan fondasi jiwanya. Kehilangan itu membakar setiap inci hidupnya, terperangkap dalam kabut kelam yang tiada ujung.
Malam-malam Matthew dipenuhi kebisingan dalam dirinya sendiri. Setiap tegukan alkohol bukan pelarian, melainkan upaya untuk membungkam suara Aletta yang terus memanggil, mencampurkan kebencian dan kerinduan. Namun, setiap tegukan hanya memperburuknya, menyeretnya lebih dalam ke jurang kehancuran.
Pada suatu malam yang dingin, ketika ia berdiri di hadapan maut, sebuah revolver kosong menjadi saksi bisu dari kehancuran hatinya. Namun, takdir sepertinya masih menyisakan secercah harapan. Revolver tanpa peluru itu adalah ironi yang menyelamatkan hidupnya.
“Matthew!” pekik Zico, kedatangannya menyelamatkan hidupnya.
Adiknya itu merampas revolver dari tangan Matthew, mengamankannya agar tidak bisa di sentuh olehnya.
“Berikan padaku!” ucap Matthew dengan tatapan kosongnya.
Namun Zico tak mendengarkan apa yang Matthew katakan, ia memilih untuk memanggil salah satu bodyguard untuk membawa Matthew dan mengamankannya di ruangan kosong.
Hingga di puncak keputusasaannya selepas satu tahun kepergian Aletta, Matthew berulang kali ingin menyerahkan hidupnya, dan saat ini sebuah tali telah tergantung, dengan simpul yang telah ia siapkan.
Wajahnya layu, tanpa kehidupan, seperti mayat yang berjalan. Namun, Zico muncul sebagai keajaiban kecil, menarik Matthew kembali dari ambang kehancuran.
"Apa yang kau lakukan?!" teriak Zico, suaranya menggema seperti petir yang menyambar keheningan malam.
"Apa yang ingin kau lakukan, b******k?!" marah Zico melihat kakaknya yang tampak kehilangan akal sehat.
"Matthew, sadar!" ucap Zico berusaha menyadarkannya dengan menepuk pipi Matthew, tapi kakaknya itutetap tampak seperti tubuh tanpa jiwa.
Zico menarik paksa Matthew menjauh dari tali itu, lalu melempar tubuhnya ke kamar mandi, membiarkan air dingin membasahi tubuhnya untuk membangkitkan kesadarannya.
"Matthew, sadar. Kau tidak bisa seperti ini!" teriak Zico mencoba menyadarkan Matthew.
"Bangkit. Dunia belum selesai denganmu. Aletta belum tiada, dan anakmu membutuhkan Ayahnya!" teriak Zico kembali.
Kata-kata Zico menusuk langsung ke jiwa Matthew, seperti pedang tajam yang mengiris hati.
Setiap kata Zico adalah pukulan keras yang membangkitkan denyut kehidupan kembali.
Air mata Matthew mengalir, badai kecil di tengah kehancuran yang melanda dirinya.
“Aletta membenciku ...,” lirih Matthew.
Suara isakan Matthew memenuhi ruangan kamar mandi, ia kembali menangis untuk kesekian kalinya, ia benar-benar rapuh selepas Aletta meninggalkannya begitu saja.
“Aletta, aku ingin Aletta bersamaku.” Lirih Matthew frustasi.
“Aku paham, tapi kau tidak bisa seperti ini!” geram Zico dengan menatap Matthew yang terlihat sangat mengenaskan
“Lalu aku harus apa?”
Zico mendecih. “Jadi mental seorang mafia yang ada dalam dirimu hanya seperti ini saja?”
“Come on! Aletta akan mengangga,mu pecundang jika kau mati dengan cara seperti ini!”
Matthew perlahan menghentikan isakan tangisnya.
“Aletta membenciku.” lirih Matthew kembali
Zico tak membiarkan pesimisme itu bertahan. Ia menyalakan shower lagi, membiarkan air dingin menyegarkan pikiran Matthew.
“Selagi Aletta hidup, masih ada harapan untuk memperbaiki segalanya!” ujarnya penuh keyakinan.
Seperti pria yang menemukan kembali arah hidupnya, Matthew berdiri. Ia menyeka air mata, mengumpulkan kembali keberaniannya. Hidupnya belum berakhir, selama Aletta dan keluarga kecilnya belum bersatu kembali.
Matthew kembali ke dunia nyata, mematikan rokok yang sedang dihisap ke asbak saat beberapa bodyguard-nya mendekat.
“Tuan, kami sudah kembali ke kediaman Flavio. Namun, pernyataannya masih tetap sama tidak mengetahui keberadaan Nyonya dan ia mengatakan jika ia sama halnya dengan Anda, tengah mencari keberadaan Nyonya,”
Matthew menghela napas, entah mengapa ia masih belum sepenuhnya percaya pada kata-kata Henry. Namun, ia berusaha menepis prasangka buruk yang selama ini menghantuinya, tak ingin terjebak lagi dalam pikiran-pikiran negatif tentang Henry.
“Terus cari keberadaan istriku, apa pun keadaannya,”ucap Matthew.
Matthew hampir meraih botol wine di meja, tetapi ia membatalkan niatnya, tak ingin kehilangan kewarasannya lagi. Ia kemudian melonggarkan dasinya dan membuka kancing atas kemejanya.
“Aletta, kau di mana..?” lirih Matthew sembari bersandar pada sofa dan memejamkan matanya.
Di saat ia tengah bertanya-tanya mengenai di mana keberadaan Aletta, Robert tiba-tiba datang menghampirinya.
Robert kini tidak hanya menjadi bodyguard pribadi Matthew, tapi juga asisten yang mengatur jadwal kerjanya. Matthew memilihnya bukan tanpa alasan, setelah mencoba mencari asisten lain, kebanyakan wanita yang melamar hanya tertarik padanya.
Ia masih waras dan tidak berpikir akan mendua dari Aletta sekalipun istrinya itu saat ini tidak ada di sisinya.
“Tuan, Tuan besar meminta Anda untuk menghadiri peresmian perusahaan klien,” kata Robert.
Matthew mendesah. “Suruh Zico saja ” tolaknya, suara lembut tetapi tetap tegas.
Ia tidak ingin bertemu banyak orang, apalagi wanita-wanita yang mencoba menggodanya. Itu sangat dibencinya.
“Tuan Zico sedang ada urusan dan tak bisa menggantikan Anda,” jawab Robert.
Matthew membuka matanya, menghela napas kasar. Ia bangkit dari sofa, meraih jas yang terletak di sampingnya.
“Kau yang bawa mobil, aku masih ingin hidup untuk bertemu dengan anak dan istriku,” katanya, meletakkan kunci mobil di atas meja.
Robert mengambil kunci itu dengan sedikit tersenyum, merasa bersyukur tuannya masih punya semangat untuk bertahan hidup.
***
Matthew keluar dari mobil dengan sunglasses hitam yang menyembunyikan tatapan tajamnya. Postur tegap dan karismanya menarik perhatian, membuatnya jadi pusat perhatian, terutama sebagai penerus klan Gualtiero yang terkenal di Italia.
Robert memandu Matthew ke area klien penting, jauh dari gangguan wanita. Biasanya, aura Matthew sudah cukup untuk menciptakan jarak, tetapi kali ini suasananya berbeda.
Tiba-tiba, seorang wanita muncul, menghadang langkahnya dengan percaya diri. Dari balik sunglasses, Matthew menatap wanita itu dengan tajam, menilai setiap geraknya dengan dingin.
Tetap tenang, Matthew melepas kacamata hitamnya, memperlihatkan tatapan yang bisa menelanjangi kebohongan dan menusuk tanpa ampun.
“Kudengar kau pemimpin terbaik di sini?” tanya wanita itu dengan tatapan menggoda, jelas ingin menarik perhatian Matthew.
Namun saat wanita itu berniat menyentuh d**a Matthew, ia dengan gesit menahan tangan wanita itu dan menghempaskannya dengan tegas. Ia mengibaskan tangannya, menghapus jejak sentuhan yang tak diinginkan.
"Tanganmu kotor, jadi jangan coba menyentuhku," ujar Matthew sarkastis, suaranya dingin dan tajam.
Wanita itu tertegun mendengar ucapan Matthew, tetapi ia tetap teguh dan tidak mundur.
“Aku ingin berkenalan,” kata wanita itu dengan percaya diri, yakin bahwa Matthew akan tertarik.
Matthew menatap wanita itu dengan dingin, menilai setiap geraknya. Dengan desahan mengejek, ia mendecih. “Istriku jauh lebih cantik darimu. Menyingkirlah,” ucap Matthew kemudian ia mendorong wanita itu dengan gerakan tegas, mengusirnya tanpa ampun.
Wanita itu membeku, harga dirinya tercabik oleh kata-kata Matthew. Malu dan terhina, ia merasa dipermalukan dengan cara yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Robert, yang sejak tadi mengikuti di belakang Matthew, mempercepat langkahnya dan berkata, “Maaf, Tuan... Putri klan Cartez terkenal karena keinginannya mencari pasangan yang dominan dan berkuasa,”
Matthew mengabaikan penjelasan itu, klan Cartez terdengar asing baginya, dan ia tak ingin membuang waktu untuk hal yang tidak penting. Pikirannya hanya tertuju pada pertemuan bisnis yang segera berakhir. Ia sudah muak dengan semuanya, dengan orang-orang yang hanya datang dan pergi.
“Aku seharusnya menyerahkan Theme On Group sepenuhnya pada Zico,” gumamnya dalam hati.
Matthew akhirnya duduk di bangku yang disediakan, diikuti oleh Robert yang selalu setia menemaninya.
“Kapan acaranya dimulai?” tanya Matthew dengan suara tegas.
Robert melirik jam tangannya. “Mungkin lima menit lagi... atau, sepertinya sudah dimulai,” jawabnya ragu, melihat pembawa acara mulai muncul di panggung.
Setelah hampir sepuluh menit, peresmian klien dimulai. Namun, bagi Matthew, waktu berjalan lambat, setiap detiknya penuh kebosanan.
"Kapan ini berakhir?" tanya Matthew lagi membuat Robert memandangnya kebingungan untuk menjawabnya
Matthew mendengus pelan saat melihat Robert hanya diam tak menjawabnya, ia snagat berharap acara cepat selesai.
Pelayan datang membawa minuman, tetapi Matthew tetap tidak tertarik pada acara itu.
“Tuan, cukup satu gelas wine saja,” peringat Robert, khawatir jika Matthew minum lebih banyak.
Matthew mengangguk, menyadari batasannya. Ia bukan tipe yang kehilangan kendali dengan alkohol, satu gelas sudah cukup.
Tapi akhirnya, kliennya mengakhiri pembicaraannya, dan tamu dipersilakan menikmati hidangan yang tersedia.
Matthew memilih untuk menjauh dari keramaian, menikmati sebatang rokok untuk menenangkan pikirannya.
“Tunggu di mobil.” ucap Matthew kepada Robert sambil mengeluarkan rokok dari kotaknya.
Robert memahami dan memberi ruang untuk Matthew menikmati waktunya sendiri.
Namun dalam keheningan itu, Matthew akhirnya melihat sosok yang telah lama ia rindukan, sosok yang selama lima tahun ini ia cari.
Aletta.
Matthew tertegun, rokoknya terlepas dari tangannya saat melihat istrinya berjalan menjauh darinya. Ia hampir tidak percaya, matanya tak berkedip, memusatkan perhatian pada Aletta yang mengenakan dress elegan yang sempurna di tubuhnya.
“Aletta ...,” gumam Matthew, suaranya hampir tak terdengar, matanya tak lepas dari sosok itu.
Mata Matthew terbuka lebar, berusaha meyakinkan dirinya apakah ini benar-benar Aletta yang ia lihat.
“Aletta ...,” bisiknya lagi, sebelum langkahnya tergerak, pelan tapi pasti, ia ingin mengejar sosok yang hilang dalam hidupnya.
Matthew berlari, tak peduli dengan kerumunan yang menghalangi, terinjak oleh langkahnya. Ia menabrak pelayan yang membawa minuman, dan dalam sekejap, cairan itu membasahi bajunya.
"Maafkan saya, Sir," kata pelayan itu, ketakutan.
"Tunggu!" pekik Matthew, matanya tetap fokus mencari Aletta. Namun, sosok itu tak lagi terlihat.
Marah, tetapi tetap tenang, Matthew melanjutkan pencariannya, meskipun noda alkohol di pakaiannya semakin mencolok.
Ia berhenti di tengah kerumunan, mata-mata tertuju padanya, tetapu ia tak peduli. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal: Aletta.
"Tidak mungkin, itu benar-benar Aletta ...," gumam Matthew, mencoba meyakinkan dirinya.
Ia mengerjapkan matanya, berharap dapat melihat dengan jelas. Alkohol yang ia minum tidak cukup untuk mempengaruhi penglihatannya.