Lelaki Berhanduk Putih
Rania menyipitkan mata, ia yakin melihat seorang laki-laki berhanduk putih di lantai paling atas sebuah gedung yang ia yakini sebagai RSJ. Laki-laki itu melambaikan tangan berkali-kali ke arah Rania. Tepat saat Rania menatapnya, tangannya bergerak beraturan.
“H,” gumam Rania saat melihat kedua tangan si lelaki terangkat ke atas. Entah kenapa jiwa pramukanya yakin itu lambang sandi semapur.
“E,” Rania menutup mulutnya, ia mulai dapat menebak maksud lelaki tersebut.
“L,”
“P, Ya Tuhan!”
Lantai atas bangunan tempat ia ngekost dikelilingi pagar besi cukup tinggi, di sana para penghuni biasa menjemur pakaian. Gedung ini sejajar dengan tingginya gedung RSJ Cinta Kasih meski jarak terhitung jauh. Di lantai atas ini, Rania dan para penghuni kost biasa menjemur pakaian. Sepertinya lantai atas gedung RSJ juga sekali-kali digunakan untuk menjemur. Lalu, apakah lelaki tersebut perawat di sana? Tapi buat apa dia minta tolong?
Rania menggigit bibir saat dilihatnya lelaki tersebut menangkupkan kedua tangan di depan d**a. Lambang permohonan yang sangat. Rania hampir berteriak saat melihat seorang lelaki berpakaian rapi berdiri di belakang pria tersebut dan meninju pundaknya tanpa basa basi. Pukulan itu pasti teramat keras hingga lelaki berhanduk putih tersungkur dan pingsan seketika. Kemudian pria berjas menyeretnya ke arah pintu menuju bawah.
Rania gemetar melihat kejadian yang sama sekali tak diduganya. Apa yang harus dia lakukan? Melapor polisi? Apa buktinya? Atau dia pura-pura tidak ada kejadian apa pun saja?
“Rania, hei, ngapain gemeter di situ?” Sofi menepuk pundak Rania pelan.
“Sof, itu RSJ, kan?”
“Yes, kenapa?”
“Ada orang dipukul tadi, kejam tau gak sih!”
“Jan heran, namanya juga tempat orang gila, mungkin perawat di sana udah kewalahan kali. Jadi maen pukul gitu.”
“Tapi itu kejam, Sof. Tadi ...” Rania urung menceritakan bahwa sebelum dipukul, orang tersebut memberi isyarat SOS padanya. Orang gila mana mungkin ingat sandi semapur, yang waras saja banyak yang lupa, bahkan tidak tahu sama sekali. Beruntung Rania senang menghafal sandi-sandi pramuka dan mengingatnya dengan tepat hingga hari ini meski tak pernah digunakan sama sekali.
“Udah sih, ngapain dipikirin. Cepet jemurnya, kita berangkat kerja bareng.”
Rania menyelesaikan pekerjaannya dengan pikiran yang masih sangat terganggu. Berkali-kali ia melirik gedung RSJ. Ia tak ingin ketinggalan oleh Sofi yang selalu membawa motor, lumayan, ngirit ongkos.
**
Bekerja sebagai office girl bukan impian Rania sama sekali. Gadis itu tengah kuliah di jurusan kedokteran saat papanya meninggal dan mewariskan sejumlah utang untuknya dan sang Mama. Harta peninggalan papanya habis tak bersisa. Mama yang syok oleh semua kejadian yang menimpanya menjadi lebih pendiam dan sakit-sakitan. Jadilah, Rania sebagai anak tertua harus mengalah, melepaskan pendidikannya dan pontang-panting mencari rupiah demi menghidupi semuanya. Padahal ia telah menyelesaikan empat semester dengan nilai yang memuaskan. Adiknya masih SMA, tak mungkin jika harus putus sekolah.
Hari ini selama bekerja, Rania terus memikirkan kejadian tadi pagi. Bagaimana jika orang itu benar-benar butuh bantuan dan dirinya adalah satu-satunya harapan yang tersisa?
“Rania! What’s this?”
“Bukannya tadi Mr minta kopi?”
“No! Saya bilang, tolong fotokopi berkas di meja saya. Saya tidak menyangka kamu .., ck!” Haykal berdecih. Baru kali ini Rania salah mengerjakan perintahnya. Biasanya, apa pun yang diinstruksikan pada Rania selalu beres, dari mulai membuat kopi sampai membantunya mengurus file-filenya. Bahkan terkadang membantu pekerjaannya. Rania tidak seperti office girl lain. Dia cerdas, hanya saja dia tak memiliki gelar akademik. Bahkan Haykal mengakui Rania tak pantas cuma menjadi seorang office girl. Ia lebih pantas menjadi sekretaris atau bahkan pekerjaan yang lebih dari itu. Ia sendiri sering diam-diam memandangi kecantikan gadis pasundan itu.
“Ada apa?” tanya Haykal tanpa basa-basa.
“Tidak ada, saya baik.”
“Butuh uang?”
Rania menatap mata bosnya sekilas. Dia benci jika didesak seperti ini. Juga merasa tersinggung karena Haykal menyinggung soal keuangan ya, meski ia tahu Haykal tak bermaksud seperti itu.
“Jangan salah sangka. Saya hanya tak ingin pekerjaan kamu terganggu kalau ada masalah di rumah. Apalagi cuma masalah uang.” Haykal menatap Rania tajam, seperti menelisik apa yang ada di dalam kepalanya.
“Sama sekali tak ada salah sangka, Mr. Saya mengerti dan terima kasih atas perhatiannya. Lagi pula apa yang mau saya sangka kan? ”
Haykal tersenyum. Tangannya terbentang lebar. “See, ruangan saya berantakan. Tolong rapikan.”
“Fotokopi?”
“Nanti saja, sebentar lagi paman datang. Dia tak suka jika ruangan berantakan seperti ini. Kau tahu itu, kan?”
Pak Baskoro orang yang sangat perfeksionis. Seluruh karyawan tahu itu. Maka Rania bergerak secepat dan sedetail mungkin membereskan ruangan Haykal. Ia tak ingin mendapat semprotan dari sang big boss. Ia melirik foto tiga orang pria berjas rapi di meja Haykal. Haykal, Pak Baskoro dan seorang pria yang terlihat sedikit lebih dewasa dari Haykal. Garis wajahnya sama, hanya warna bola matanya yang berbeda, yang ini terlihat lebih gelap dari mata Pak Haykal yang berwarna coklat terang.
“My brother. Ganteng ya? Saya selalu ingin terlihat seperti dia, dulu.”
Rania mengacuhkan ucapan Haykal yang dia rasa tak penting.
“Sayangnya dia pembunuh, seorang karyawan Papa jadi korbannya.” Rania merasa Haykal memperhatikan perubahan raut mukanya. Rania berusaha tidak terpancing untuk mengetahui lebih jauh. Itu urusan mereka, dan dirinya tak berhak diberi informasi lebih jauh.
“Kau tahu siapa yang dia bunuh?” Haykal terdengar sedikit mendesak.
“No, dan saya tak mau tahu. Juga tak mau tahu dimana saudara anda sekarang.” Rania memotong pembicaraan sang bos yang sepertinya akan panjang.
“Dia sakit,” ujarnya sambil menyeringai. Harusnya dia sedih, bukan menunjukkan ekspresi aneh seperti itu. Entah kenapa Rania merasa takut. Dia merasa Haykal sedang mendesaknya untuk sesuatu.
“Saya permisi, sudah selesai.” Rania membungkuk hormat. Sekali lagi ia melirik foto di meja saat mengambil kembali kopi yang sama sekali tak tersentuh. Tangan Rania menyentuh gelas bersamaan dengan tangan Haykal yang juga hendak mengambil kopinya hingga tangan mereka bersentuhan. Rania buru-buru menarik tangannya, “saya pikir anda tidak akan meminumnya,” ujarnya cepat. Secepat langkahnya saat meninggalkan ruangan.
Haykal mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuknya. Membuka laptop dan membaca ulang profil office girl yang baru saja meninggalkan ruangannya tersebut. Foto Rania ia zoom hingga memenuhi layar laptop nya.
“Rania Anggraini Subroto, kita lihat sejauh mana kau mengetahui semuanya,” gumam Haykal. Sebuah seringkali menghiasi bibirnya.
Pukul 18.30. Rania baru tiba kembali di kost-annya. Hampir semua penghuni sudah kembali.
Airin hampir menabrak Rania yang tengah melepas sepatu di depan kamarnya. Napasnya terengah-engah, wajahnya pucat seperti habis dikejar hantu. Baju yang dia dekap berhamburan tak tentu arah.
“Sorry, Ran. Itu ... Itu ...” Airin menengok ke arah tangga menuju lantai paling atas. Sementara tangannya sibuk mengumpulkan baju yang baru diangkat dari jemuran itu.
“Kenapa sih?” Rania mengikuti arah pandangan tetangga kamarnya tersebut.
“Aku lihat orang disiksa di atas gedung RSJ. Kasian, Ran. Kayaknya dia mau bales, tapi lawannya curang, dia dipegangi gitu. Aduh, ngeri pokoknya!”
Rania terkesiap, secepat kilat ia berlari ke atas. Mengendap-endap, takut orang-orang itu melihatnya. Benar saja, lelaki kemarin berdiri lunglai dengan tangan kanan dan kiri dipegangi. Sebelah kanan oleh seorang berjas hitam pekat dan berambut panjang. Sementara yang sebelah kiri berjas abu-abu dengan kepala plontos. Seorang pria berkaos polo sport meninju perut lelaki itu. Tak ada perlawanan, bahkan sepertinya lelaki yang dipukuli tak akan bisa berdiri jika tak dipegangi lagi.
Rania tetap berjongkok, tangannya terkepal gemas. Sigap ia merogoh ponsel dari saku, merekam kejadian mengerikan itu. Kesal karena tak bisa mendengar percakapan mereka. Bahkan wajah mereka pun tak terlihat jelas. Lelaki berkaos polo tampak mondar-mandir dengan tangan bergerak bebas. Sekali-kali terbentang lebar, sekali waktu tampak mengusap dagu sambil berdiri tegak di hadapan mangsanya. Sungguh postur tubuh yang mengintimidasi. Beberapa detik kemudian, ketiganya pergi. Menyisakan lelaki berkaos putih yang tersungkur ke lantai.
Setelah ketiganya tak terlihat lagi, Rania berdiri. Meloncat-loncat dengan tangan melambai demi memastikan si lelaki melihatnya, jika dia tak pingsan. Sebelah tangan si lelaki terangkat. Rania menunjuk dirinya, kemudian menunjuk ke tempat lelaki itu. Tangannya bergerak ke bawah, bermaksud menanyakan apakah dirinya boleh ke RSJ demi menolong lelaki tersebut melalui pintu depan. Rupanya si lelaki mengerti, dia melambaikan tangannya cepat. Rania mengentakkan kakinya kesal. Bagaimana dia bisa menolong orang tersebut kalau tak boleh datang ke sana?
Sedetik kemudian mendapat ide. Lalu mengetik nama RSJ Cinta Kasih di mesin pencarian. Fokus mencari nomor yang bisa dihubungi di sana.
“Hallo, ini benar RSJ Cinta Kasih?” tanyanya terburu-buru begitu panggilan tersambung.
“Benar, ada yang bisa kami bantu?”
“Periksa lantai paling atas, dak tempat jemuran. Cepat!”
“Tunggu, ada apa ini? Ini siapa?”
“Periksa sekarang atau aku lapor polisi!” Rania menggeram kesal. Nyaris melempar ponselnya sendiri karena si penerima telepon malah berulang-ulang menanyakan siapa dirinya. Mematikan telepon dan kembali bersembunyi, takut kalau orang-orang berjas tadi yang datang ke sana dan melihat dirinya. Rania yakin ini bukan hal sembarangan mengingat penolakan si korban tadi. Ini tentu bisa membahayakan dirinya juga jika ikut campur.
Beberapa satpam dan perawat tampak datang dengan tergesa. Sigap dua orang satpam memapah si lelaki dan membawanya ke bawah.
Rania menghela napas lega. Setidaknya, lelaki itu akan diobati sekarang.
**
“Gila! Jangan, Ran! Itu namanya bunuh diri,” ujar Sofi saat Rania mengatakan akan menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi di RSJ. Siapa lelaki itu, siapa para penyiksa, apakah para pengurus RSJ tahu dengan semua itu, dan semuanya. Rania benar-benar penasaran, sekaligus merasa bersalah jika tak melakukannya.
“Jangan khawatir, aku pasti hati-hati.”
“Rania, please, ini terlihat mengerikan. Orang-orang kejam, di tempat yang ...iyyuh! Mau pake cara apa kamu ke sana?” Sofi menggeleng keras. Sorot matanya menunjukkan ketakutan yang sangat.
“Melamar kerja di sana, mungkin.”
“Tak semudah itu, Nona. Temenku kemarin ada juga yang melamar ke sana buat jadi OB. Dan di tolak, sudah cukup banyak pekerja di sana. Buat jadi perawat? Punya gelar apa kamu? Mau jadi dokter gadungan?”
“Ide yang cukup menarik, Sayang.” Rania tersenyum manis, membuat Sofi bergidik ngeri.
“Jangan, Ran ... Please, aduh ... Gimana sih otak kamu ni!” Sofi makin panik.
“Haha, gak lah, Sof. Gak semudah itu jadi dokter gadungan. Aku mau pura-pura gila saja. Nanti kamu yang nganter aku ke sana. Ok?”
“Astagfirullah, Ran. Ga mau!”
“Please,” Rania menggenggam tangan sahabatnya lembut. “Aku merasa berdosa kalau membiarkan kejahatan seperti ini. Kamu cuma bantu anterin aku ke sana tiap hari minggu. Gak mungkin aku rawat inap di sana. Mahal sewa kamarnya euy. Kalau soal kerjaan mah bisa minta cuti dulu.”
“Ran,” bisik Sofi, masih ragu.
“Kamu tega liat orang disiksa begitu? Bagaimana kalau itu kakakmu, pacarmu, atau ayahmu?” Rania menatap Sofi, matanya berkaca-kaca. “Aku gak bisa nyelamatin Papa. Gak tahu apa yang terjadi di akhir hidupnya. Setidaknya aku menolong orang yang dalam posisi kesulitan seperti itu demi menghapus rasa berdosaku sama Papa.”
Sofi masih diam, ia mulai memahami arah pikiran sahabatnya. Tapi rasa takut masih mendominasi pikiran.
“Aku janji, kamu cuma nganterin aja. Gak akan kubawa lebih jauh.”
Sofi mengangguk perlahan. Tangannya berkeringat dingin saat Rania menunjukkan video yang tadi direkamnya.
“Ran, berjanjilah kamu bakal baik-baik saja.” Mereka berpelukan erat, seakan menghadapi sebuah bencana besar.
**