Hari minggu pagi-pagi sekali, Sofi dan Rania telah bersiap. Rania mengenakan celana bahan berwarna hitam dan kaos merah menyala. Kepalanya tertutup kerudung kecil hitam. Sengaja ia berpakaian seperti itu agar lelaki yang dia cari bisa mengenalinya, karena pakaian itulah yang Rania gunakan waktu pertama kali mereka saling melihat.
“Ran, yakin gak nih? Beneran di situ ada kegiatan buat orgil yang gak dirawat inap? Kalau salah info gimana?”
“Salah info ya tinggal balik lagi, yang penting aku dah liat dulu isi gedungnya, orang-orangnya. Gitu aja ko repot.”
“Aku siapa nih jadinya? Adek kamu?” Sofi nyengir, menyadari ketidak masuk akalan idenya. Semua yang punya mata pasti menilai Rania terlihat jauh lebih muda darinya meski mereka seumuran.
“Serah, jadi nenekku juga boleh.”
Mereka tertawa, sedikit meredakan gemuruh di dalam d**a masing-masing.
“Jalan kaki?” Sofi bertanya lagi.
“Dih, naik motor kek. Nanti mereka curiga kalau kita jalan kaki.”
Sofi mengangguk-angguk. Ia sibuk merancang kata apa yang akan dia ucapkan saat tiba di sana nanti.
**
Tiba di halaman RSJ, mereka melihat cukup banyak orang. Rania menunduk, memainkan ujung kerudung, menggoyang-goyang badannya seperti anak-anak. Bibir komat-kamit tak jelas apa yang diucapkannya. Mengikuti langkah Sofi masuk dan mengantre bersama beberapa pasien lain. Sofi menggaruk kepala yang tak gatal saat melihat kelakuan sahabatnya. Antara geli dan kagum.
“Bu, beneran di sini bisa ikut kegiatan mingguan buat pasien ... anu ... mmm.” tanya Sofi setelah ia berada di hadapan CS. Sofi tak tega menyebut kata ‘gila’, ia menunjuk Rania, yakin orang yang dia sapa mengerti maksudnya.
Customer service menatap Sofi sekilas, lalu beralih pada Rania yang tengah menyanyi lirih. Ia mengangguk kemudian tersenyum hangat.
“Iya, Mbak. Mbak baru pertama kali datang kan ya, harus ada KTP dan KK, Mbak. Fotokopinya juga ga papa.”
“Aduh, saya ga bawa apa-apa, Bu. Saya beneran ga tahu. Mau balik lagi, rumah saya jauh.”
Sofi melirik Rania yang masih sibuk memilin ujung kerudungnya. Berharap Rania memberi solusi, tapi Rania malah melangkah ke arah sebuah pintu.
“Hei, jangan!” Sofi menarik tangan sahabatnya agak keras hingga Rania hampir jatuh.
“Masuk, Kak. Mau masuk.” Rania merajuk.
“Ya sudah, Mbak. Kali ini ga papa, bisa kan kalau KTP Mbaknya saya pinjam sebentar? Buat ngisi formulir saja. Tapi kalau minggu depan mau datang lagi, tolong bawa KK nya juga ya.”
“Alhamdulillah, makasih ya. Oh iya, kalau misalnya rawat inap di sini gimana prosedurnya? Sepertinya adik saya suka tempat ini. Biasanya dia mengamuk kalau saya bawa ke tempat yang rame.” Sofi membuka dompet, sebelah tangannya masih memegangi tangan kanan Rania.
“Harus ada Surat Eligibilitas Pasien, juga rujukan dokter. Mau dari Rumah Sakit Umum atau dari dokter pribadi keluarga juga bisa. Nanti ditindak lanjut di sini. Atau, jika pasien belum pernah diperiksa ke mana pun, bisa langsung diperiksa di sini. Nanti pasien akan menjalani wawancara psikiatri, fisik, dan test penunjang jika diperlukan, yaitu MRI, EEG atau CT scan. Akan ada juga test urine untuk memastikan apakah pasien pernah menggunakan obat-obatan atau tidak.” CS sibuk mengetik sesuatu di komputernya. “Kalau yang mingguan gini gratis, Mbak. Mbak boleh membawa adiknya setiap minggu selama yang Mbak inginkan,” lanjutnya.
“Nama adik anda?”
“Andin, Bu,” Sofia terkesiap. Ia malah menyebut nama adik kandungnya.
“Baiklah, Mbak Sofi. Silakan bawa adik anda ke pintu sebelah kanan. Di sana nanti ada lapangan terbuka, sebentar lagi kegiatan dimulai. Harap Mbak mendampingi adiknya dari jauh saja. Biar nanti tim kami yang menemaninya.”
“Baik, terima kasih, Bu.”
Sofi menarik napas, sedikit lega telah melewati satu tahap. Mereka berdua melangkah cepat, mengikuti pasien lain yang sepertinya sudah terbiasa datang. Mata Rania liar menatap sekeliling. Lapangan terbuka berada di tengah-tengah, dikelilingi kamar-kamar pasien yang berjejer. Di setiap pintu dilengkapi dengan jeruji besi layaknya penjara. Ruang mawar, melati, kenanga, juga nama-nama bunga lainnya. Rania menebak ini ruang khusus pasien perempuan. Di ujung barat, Rania melihat tangga ke atas. Jika di bawah sini ruang khusus perempuan, maka di atas itu otomatis ruang pasien laki-laki. Agak susah buat dirinya mencari cara jika ingin melihat ke sana.
Seorang perawat menyentuh pundak Rania lembut, ia tersenyum, “ayo, Cantik. Ikut saya,” ujarnya. Sofi melangkah menuju kursi besi di pinggir lapangan. Ada banyak keluarga pasien yang juga menunggu di sana.
“Kamu siapa? Mau nyanyi sama saya kan? Saya suka lagu balonku ada lima lho.” Rania tertawa kecil, ia mengikuti langkah perawat bernama Sonia itu.
“Iya, Sayang. Nanti kita nyanyi kalau sudah olahraga, ya.”
Rania mengangguk-angguk. Menyenandungkan lagu balonku dengan riang. Ia meneliti setiap pasien pria yang berjejer di depan. Seorang perawat mondar-mandir memeriksa satu persatu pasien, membantu jika mereka memerlukan sesuatu. Rania nyaris putus asa, tak ada seorang pun yang postur tubuhnya mirip dengan yang dia ingat. Apakah pasien rawat inap tidak ikut kegiatan mingguan begini?
Seorang instruktur olahraga menaiki panggung kecil yang sepertinya sudah permanen. Ia memutar musik lembut, kemudian ia meminta pasien bersiap.
Rania ikut gerakan pemanasan senam dengan asal. Berkali-kali ia diam mematung, hanya matanya yang terus memeriksa. Sebenarnya ini terasa sedikit menakutkan baginya, di kanan kiri depan belakang terdengar gumaman hingga berdengung menyerupai suara sekumpulan lebah, gerakan-gerakan aneh para pasien, teriakan para suster dan beberapa petugas keamanan yang berdiri tegak di sekeliling mereka. Sedetik kemudian Rania melihat seorang laki-laki menuruni tangga dengan setelan olahraga lengkap mendekat. Langkahnya terlihat mantap, lurus dan tidak terlihat aneh. Ia mengusap rambutnya seperti sedang iklan shampo anti ketombe dan tersenyum miring kepada seorang perawat perempuan yang menyambutnya. Rania merasa yakin ini orang yang dia cari, tapi bagaimana ia bisa mengetahui kebenarannya?
Rania meloncat-loncat sambil melambaikan tangan ke arah lelaki tersebut. Si lelaki menatapnya beberapa detik. Rania bisa melihat rona terkejut yang ditunjukkan lelaki itu. Juga kejutan yang menyengat dirinya. Rania diam mematung, memeriksa ingatannya sekali lagi.
Wajah itu, tak asing baginya. Pupil coklat terang itu juga masih sangat dia ingat. Foto di meja kerja Mr. Haykal!
Rania berusaha tetap tenang meski jantungnya berdetak makin kencang. Bagaimana tidak, andai Mr. Haykal benar, maka orang ini adalah pembunuh. Penghilang nyawa orang lain! Bisa saja, Rania jadi korban selanjutnya, bisa saja, orang ini berpura-pura meminta bantuan, padahal ingin membunuh dirinya. Rania menggeleng keras, mengenyahkan pikiran buruk yang memenuhi otaknya.
Sekali lagi Rania melirik lelaki gondrong yang mengikuti gerakan senam dengan kaku itu. Tapi Rania melihat hal yang tak biasa, beberapa perawat pria tampak terus memperhatikan gerak-gerik lelaki tersebut. Sepertinya tak ada satu gerakan pun yang luput dari pandangan mereka. Seberapa berbahaya kah dia?
Suara musik berhenti. Terdengar suara instruktur menyuruh para pasien istirahat. Seketika suasana riuh, ada yang meloncat, berteriak, ada juga yang koprol. Rania memilih duduk bersila. Memikirkan apa yang akan dia lakukan selanjutnya.
“Atap?”
Rania terkejut mendengar sapaan yang tak biasa. Lelaki gondrong cengengesan, kemudian berjongkok di hadapan Rania dan mengedipkan sebelah mata seakan memberi tahu Rania agar bersikap seperti orang gila.
Rania mengangguk-angguk. “Help?” tanyanya lirih. Pria itu mengangkat jempolnya. Pandangan mereka bertemu demi saling meyakinkan bahwa mereka tak salah orang.
Rania menunduk makin dalam menyadari mata coklat terang itu tampak lebih bercahaya saat dilihat langsung seperti ini. Rambut sebahunya tampak basah oleh keringat.
“Ardi Wijaya, Jalan Cempaka no 12. Surabaya. Jemput Baby Bear. Pergi hari ini juga!”
Rania tertawa keras. Entah kenapa dia merasa lucu mendengar kata ‘Jemput Baby Bear,' jadi si jangkung ini Baby Bear? Mata mereka bertemu, Rania bergidik saat menyadari sorot itu tak lagi bersahabat. Ini sebenarnya minta tolong atau mengancam sih?
“Wah, ada yang jatuh cinta nih?” Sonia mendekat, ia tersenyum manis. Arkan melirik suster yang ikut berjongkok di sampingnya. Ia tampak keberatan Sonia bergabung, tapi Sonia seperti tak memedulikan hal itu.
“Dia lucu lho, Sus. Matanya kayak kelereng.” Rania tertawa lagi, ia mengulurkan tangan ke wajah Arkan. Seakan hendak menyentuh pipi pria itu, tapi kemudian Rania mengurungkannya dan bangkit secepat kilat, berlari ke arah Sofi sambil bernyanyi kecil, “balonku ada lima, rupa-rupa warnanya ... Hijau kuning kelabu, merah muda dan biru ...”
**
Sofi menatap sahabatnya yang sibuk merapikan dandanan. Memoles bibirnya dengan lipstik pink dan sedikit bedak.
“Aku gak tahu mau ngomong apa lagi, Ran. Surabaya itu jauh, berapa ongkos yang akan kamu habiskan demi orang yang sama sekali belum kamu kenal? Oke, aku tahu kamu peduli, kamu ingin menolong orang yang kesulitan, kamu ingin menebus dosa ke papa kamu. Tapi menurutku, gak harus gini juga!”
“Terus mesti gimana? Kamu dah liat kan, orang itu disiksa segitunya? Terlepas dia siapa, aku cuma mau bantu. Itu saja.” Rania meraih ranselnya. Mengecek sisa uangnya di aplikasi M-banking dan melangkah keluar kamar setelah yakin semuanya baik. “ Doakan aku balik lagi,” ujarnya sambil nyengir ke arah Sofi. Sofi melempar bantal. Kesal karena sahabatnya tak peka pada kekhawatiran yang dia rasakan.
**
Kurang lebih tiga belas jam perjalanan di kereta dari Bandung ke Surabaya membuat Rania cukup lelah. Ia memutuskan untuk mencari ojek online saja agar lebih murah. Beruntung alamat yang dituju ternyata tak sejauh yang Rania bayangkan.
Motor berhenti di sebuah rumah sangat besar berpagar tinggi. Rania membayar ojek setelah meyakinkan bahwa ini benar-benar rumah yang dia cari. Ini lebih tepat di sebut istana.
“Cari siapa?” Tiba-tiba seorang berpakaian satpam membuka gerbang sedikit. Menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Ardi Wijaya. Baby Bear mengirim pesan untuknya.” Rania ikut meneliti penampilannya sendiri. Takut terlihat memalukan atau mencurigakan. Sebenarnya ia masih agak geli mengucap kata baby bear, tapi mau bagaimana lagi, ia bahkan belum tahu nama lengkap si beruang tersebut.
Satpam berjalan agak menjauh, ia berbicara menggunakan walkie-talkie dengan seseorang. Tak lama ia kembali dan membuka gerbang sedikit lebih lebar, “ikut saya,” ujarnya.
Rania mengikuti langkah pria tersebut. Halaman istana ini terlihat indah dengan hamparan rumput yang tertata rapi, bonsai-bonsai cantik ikut menghiasi, beberapa rumpun bugenvil aneka warna sejenak membuat Rania terpaku. Beberapa kursi besi juga cukup menyita perhatian, Rania membayangkan ia duduk di sana dengan suami, menikmati secangkir kopi, sementara anak-anaknya boleh berlari sesuka hati di sekitar mereka. Ia tertawa kecil menyadari itu hanya ilusi. Dunianya telah benar-benar berbeda sejak kepergian papanya. Dunianya kini terasa lebih berat sekaligus lebih ringan.
Berat, karena ia harus jungkir balik mencari rupiah demi keluarga. Ringan, karena ternyata kehidupan bebas tanpa beban pelajaran itu terasa lebih berwarna. Tak melulu soal buku dan bangku.
Rania di ajak masuk ke dalam istana berwarna putih tersebut. Ruangan pertama yang ia masuki terlihat lebih besar dari rumah kost yang ditempatinya. Kursi-kursi besar dengan ukiran yang rumit membuat ruangan ini terlihat makin mewah dan berkelas. Gucci-gucci kecil seukuran kelingking hingga yang lebih tinggi darinya pun berjejer rapi dan memukau, membuat Rania memilih untuk lebih memerhatikan langkahnya. Gucci itu pasti lebih mahal dari seluruh pakaian yang dikenakannya kini.
**