Menjemput Baby Bear

1803 Kata
Arkan mondar-mandir di kamarnya. Kamar yang hanya ditempati olehnya sendiri meski ukurannya cukup luas dan bisa saja diisi dengan empat atau lima bed ukuran kecil. Kamar ini diisi dengan sofa, kulkas, TV dan dispenser cukup besar. Meski fasilitas lengkap, kecuali alat komunikasi, Arkan tahu ia tetap tak bebas. Ada CCTV yang sengaja di sembunyikan di dekat vas bunga. Ia hanya pura-pura tidak mengetahuinya. Hampir dua puluh empat jam ia harus berpura-pura gila. Harapan besar justru ia taruh di pundak seorang perempuan yang Arkan pikir baru berusia sembilan belas tahunan. Terpaksa ia lakukan hal bodoh, meminta bantuan orang yang sama sekali tak dikenal. Baru kali ini, hingga usia menjelang tiga puluh ini, Arkan melakukan hal yang sedikit gegabah dan berpikir untuk menyerahkan hasilnya pada takdir. Sebulan sudah ia terpenjara di RSJ. Sejak kasus pembunuhan yang dituduhkan kepadanya terjadi, Arkan memilih diam, lalu berpura-pura hilang akal. Ia pikir akan lebih mudah mencari pelaku sebenarnya dalam keadaan seperti ini. Nyatanya tidak. Ia malah benar-benar terperangkap dalam rencananya sendiri. Dia tak bisa mempercayai siapa pun di RSJ ini. Semuanya berpotensi menjadi mata-mata penjahat sebenarnya. Bagaimana bisa, ia dirawat begitu saja di sini tanpa test lengkap, hanya wawancara psikiatri yang dia rasa tak penting. Arkan Bahkan tak menjawab sepatah kata pun waktu itu. Bahkan beberapa orang bisa masuk sesuka hati mereka, memaksanya mengaku bahwa dia sebenarnya tidak gila dan mengancamnya agar mengakui kejahatan yang sama sekali tak pernah dia lakukan. Orang-orang yang sama sekali tidak pernah Arkan kenal. ** “Jadi, di mana kau bertemu keponakan saya?” Seorang pria tinggi besar menghampiri Rania yang masih termangu di sebuah ruang dengan pernak-pernik antik. “Di RSJ, Tuan.” Pria berambut klimis itu terkejut mendengar jawaban Rania yang sama sekali tidak pernah dia duga. “Pantas saja saya tak bisa menemukannya. Sungguh keterlaluan!” Tuan Ardi menjatuhkan rokok yang sejak tadi terselip di bibirnya. Ia menginjaknya hingga padam. “Antar saya ke sana!” “Hah? Anda serius, Tuan? Apa anda tidak tahu bahwa saya jauh-jauh datang kemari dengan kereta kelas ekonomi demi menolong si beruang kutub itu, makan cuma sekali demi menghemat uang, dan anda bahkan tidak memberi saya kesempatan beristirahat. Boro-boro tidur, duduk pun tidak. Ya Tuhan, anda keterlaluan!” Rania melupakan sopan santun yang selama ini dia junjung. Dia benar-benar lelah! “Dengar, Nona. Ini menyangkut nyawa. Sedetik saja kita terlambat, Arkan mati. Kau mau bertanggungjawab?” “Lalu kalau saya mati kelelahan, anda mau tanggung jawab?” Rania setengah berteriak. “Ok, saya tanggung jawab.” Rania mendelik. Tanggung jawab macam apa? Ingin rasanya Rania langsung tidur di kursi empuk berwarna merah menyala itu. Tapi saat tuan Ardi melangkah, Rania mau tidak mau mengikutinya juga. Ngeri kalau tinggal di ruangan itu sendiri. Setengah berlari Rania mengimbangi langkah tuan Ardi hingga tak sempat lagi mengagumi semua keindahan yang tampak. Sebuah Strada Triton berwarna hitam telah siap dengan pintu terbuka. Tuan Ardi masuk dengan sekali loncatan. Benar-benar orang tua yang tangkas, batin Rania. Ia pun melakukan hal yang sama dari pintu sebelahnya. Tuan Ardi meliriknya, Rania mengangkat dagu. Ia ingin Tuan Ardi tak meremehkannya. Sekilas Rania melihat senyum miring di sudut bibir lelaki lima puluh tahunan tersebut. “Nama?” “Rania.” “Rania apa?” “Rania Anggraini Subroto, 21 tahun, lulusan SMA, pekerjaan office girl. Cukup? Sekarang ijinkan saya tidur.” Rania menyandarkan punggung, meletakkan ranselnya di pangkuan, ia berusaha mencari posisi nyaman. “Tidak sekarang,” ujar Tuan Ardi tegas, tangannya sibuk mengetik sesuatu di ponselnya. Rania mengentakkan kakinya kesal. Rania mengalihkan perhatiannya ke luar. Memandang pemandangan yang tak begitu jelas dia lihat. Mungkin karena kencangnya laju kendaraan yang dia tumpangi. Strada berbelok cepat ke arah sebuah bandara. Rania baru paham kenapa Tuan Ardi melarangnya tidur. Rania kembali mengikuti langkah Tuan Ardi begitu turun dari mobil. Mereka menuju sebuah pesawat kecil, Rania tahu itu private jet. Mereka tak perlu menunggu lama dan berdesakan nanti. Seumur-umur, baru kali ini Rania menaiki pesawat model begini. Ia tercengang melihat isinya. “Tutup mulut dan duduklah. Pesan makanan yang kamu mau.” Rania merasa mukanya merah saat Tuan Ardi mengatakan itu, ia baru menyadari mulutnya terbuka karena merasa sangat kagum pada interior pesawat. Ia memilih kursi di seberang Tuan Ardi. Tak ingin selera makannya hilang karena melihat tatapan sinis pria tua sombong tersebut. Memesan makanan sesuka hati, Rania tak memikirkan apakah Tuan Ardi akan mampu membayar atau tidak, ia masih kesal karena merasa tak dihargai sama sekali. ** “Bangun Nona, RSJ mana?” Tuan Ardi menggoyang kaki Rania. Ia masih linglung saat menyadari ia telah berada di dalam mobil lagi. “Hei, kenapa aku di sini? Tadi kan di pesawat?” Rania mengucek matanya. “RSJ Cinta Kasih,” lanjut Rania sambil membetulkan letak kerudungnya yang miring. “ Tuan menggendong saya?” “Tidak, Johan yang menggendong kamu. Kamu tidur seperti orang mati.” Tuan Ardi terlihat tenang. Sedangkan Rania membuka ponsel yang sejak kemarin belum ia sentuh. Berpuluh panggilan masuk dari Sofi, satu dari adiknya disertai sebuah pesan. [Mama masuk RS. Gejala stroke katanya. Bisa pulang?] Rania menghela napas. Diam-diam membuka aplikasi M-banking nya. Uangnya tinggal sedikit, tapi ia tetap harus pulang. Urusan uang bisa dicari nanti. “Tunggu di sini,” perintah Tuan Ardi pada Rania yang terlihat bersiap turun saat mobil berhenti di depan RSJ. “Rumah kostku dekat. Sepuluh menit jalan kaki juga nyampe,” ujar Rania setengah tak bersemangat. “I say, stay here, Nona!” Suara Tuan Ardi yang agak menggeram membuat Rania sedikit menciut. Akhirnya ia menurut, membiarkan ia terkunci di dalam mobil dengan mesin menyala. *** Ardi menunggu dengan gelisah, berkali-kali matanya melirik jam di pergelangan tangan. Ia sungguh tak ingin ada keributan di sini jika keluarga Arkan, atau lebih tepatnya, siapa pun yang memasukkan Arkan ke sini tahu bahwa dirinya datang. Pengacara handal yang di bawanya tampak tersenyum penuh kemenangan dan mengangguk ke arah Tuan Ardi. Customer service tampak salah tingkah saat pandangannya beradu dengan Tuan Ardi, ia menelepon seseorang dengan gugup dan mengangguk cepat. Kemudian menekan nomor lain dan menginstruksikan agar Arkan di bawa ke luar. Tuan Ardi menunjuk seseorang untuk mengurus semua administrasi. Ardi sendiri adalah adik bungsu Bimo, ayah Arkan. Ardi dan Baskoro telah lama tak akur sejak Ardi mengetahui adanya affair antara kakak keduanya dengan istri Bimo. Padahal Baskoro sendiri memiliki istri yang cukup cantik. Haykal dicurigai sebagai anak biologis Baskoro dan Ayyara. Ayyara adalah perempuan keturunan Turki sedangkan mereka sendiri asli Surabaya. Ardi memilih kembali ke daerah asal orang tuanya dan meneruskan bisnisnya di sana dari pada terus menerus melihat pengkhianatan, sedangkan Bimo sendiri malah membencinya karena telah sangat percaya pada sang istri. Hanya Arkan, alasan Ardi masih mau berkunjung ke Bandung. Anak pertama Bimo itu sering kali meneleponnya dan menceritakan semua yang terjadi. Terakhir Arkan menelepon, ia menceritakan ayahnya terkena serangan jantung hingga koma karena mengetahui perselingkuhan istri dengan adiknya. Sedangkan Arkan sendiri telah dilaporkan ke pihak berwajib atas tuduhan pembunuhan. “Paman,” sapa Arkan. Tuan Ardi memandang penampilan keponakannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Rambut acak-acakan, setelan piama kusut berwarna abu-abu gelap dan sandal jepit. Tubuhnya terlihat lebih kurus dan pucat. “Kau bisa benar-benar gila jika sehari lagi saja tinggal di sini,” ujarnya seraya melangkah cepat meninggalkan RSJ. Arkan dan beberapa orang yang sejak tadi bersama Tuan Ardi serta merta mengikutinya. Arkan membuang napas lega saat kendaraan mereka mulai melaju. Sekilas ia melihat CRV putih milik mamanya datang dan wanita berambut pendek itu seakan melompat keluar begitu mobilnya benar-benar berhenti. Sopir tuan Ardi seperti tak memberi banyak waktu bagi Arkan melihat apa yang dilakukan mamanya, ia melajukan Strada-nya lebih cepat. “Kamu kenal dia?” Ardi menunjuk Rania yang terlelap di jok belakang, tepat di samping Arkan. “Dia anak perempuan Pak Subroto,” lanjutnya sebelum Arkan sempat menjawab. “Seriously?” “Yes, so, nikahi dia hari ini juga.” “Ini gila, tak bisakah dengan cara lain? But wait, dia yang kemarin datang ke Surabaya, kan?” Arkan menatap Rania lebih lama. Ia mengakui, Rania cukup cantik, bulu mata yang lentik tampak indah menghiasi wajah mungilnya. Hidung bangir dengan bibir yang tak terlalu tipisnya tampak indah ditambah dagunya yang terbelah. “Apa liat-liat? Naksir?” Arkan terkejut mendapati Rania telah terjaga dan kini melotot padanya. “Kita mau ke mana? Mamaku di RS Hasan Sadikin. Antar saja aku ke sana,” lanjut Rania. Ia merapikan kerudung yang miring. “Ok. Sekalian kita melamar, atau langsung nikah juga lebih baik.” Tuan Ardi berkata santai. “Siapa yang dilamar? Mama? No no no!” “Kamu. Arkan ganteng, kan?” “Ganteng,” jawab Rania, “tapi dia gila, pembunuh juga!” teriaknya frustrasi. Setengah menyesal ia telah membantu pria itu, jika saja tahu akan sepanjang ini urusan dengannya. Ia akan mengikuti saran Sofi saja. “Aku gila kalau melihat perempuan cantik, dan aku bisa menjadi pembunuh kalau melihat perempuan cerewet!” Rania bergidik melihat kilat amarah di mata Arkan. “Dari mana kau tahu dia pembunuh?” Tuan Ardi menyela cepat. “Mr. Haykal. Aku melihat fotonya di meja kerja Mr. Haykal.” Rania menggeser tubuhnya hingga mepet ke arah pintu. Menjaga jarak sejauh mungkin dengan Arkan. Arkan berdecih sebal melihat kelakuan perempuan berkulit kuning langsat itu. Seumur hidup, baru kali ini ada perempuan yang menjauhinya seperti itu, bahkan saat di RSJ pun, banyak perawat yang secara terang-terangan mencari perhatiannya. “Kamu kerja di Wijaya corp? s**t!” Tuan Ardi mengentakkan kakinya. Rania tak mengerti kenapa lelaki setengah baya itu terlihat begitu marah. Atau panik? “ Mulai besok, kau tak perlu lagi datang ke sana. Nikahi Arkan dan kau tak akan kesulitan lagi soal keuangan,” lanjutnya tegas. Rania meradang. “Siapa anda berani memerintah seperti itu? Saya tahu anda kaya, tapi saya bantu keponakan anda karena kasian, bukan karena duit!” “Dengar, saya kenal papa kamu. Anggap saja saya mengambil alih tanggung jawabnya sekarang. Saya bisa menjaga kamu kalau kamu menikah dengan keponakan saya.” “Kenal? Anda tahu siapa papaku dari mana?” “Dengar, mencari informasi tentang seseorang di masa ini tak seperti seratus tahun lalu, Nona. Bahkan kau pernah tinggal di mana saja, saya bisa tahu. Jangan pura-pura bodoh,” Rania menatap Tuan Ardi dari spion. Sedikit rasa haru menyelimutinya. Sejak papanya meninggal, tak ada lagi tempat ia berkeluh-kesah. Tak ada lagi orang yang mengkhawatirkannya setiap waktu. Dulu Mamanya terlalu sibuk dengan arisan dan belanja., setelah papa meninggal, Mama seperti ikut kehilangan gairah hidupnya. Meski sikap Tuan Ardi jauh dari kata lembut, tapi hati Rania mengakui bahwa ia bahagia dengan perhatiannya. Rania merasa, papanya kembali dalam wujud lain. Tapi menikahi Arkan, terasa seperti mimpi buruk yang begitu saja dijejalkan ke dalam tidurnya. Rania melirik Arkan yang tengah terpejam, ia heran kenapa pria itu sama sekali tak menolak pernikahan ini. Padahal Rania yakin, pria seperti Arkan tak akan semudah itu jatuh cinta. Pasti ada alasan lain, yang belum dirinya ketahui.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN