BAB 12

1346 Kata
Gue masih menggantungkan jawaban untuk Jansen, menurut gue masih terlalu awal kalau kami menjalin sebuah hubungan. Jansen memang tipe cowok idaman, tapi gue belum terlalu mengenalnya. Kami juga komunikasi cuma sekedar chat dan ketemu pun hanya sesekali. Gue masih ragu. Hari ini ada yang beda dari bos, gue nggak tau kenapa tapi dia terlihat lebih kusut. Rambutnya yang tadi pagi tersisir rapi sekarang jadi sedikit berantakan, padahal tidak ada perempuan yang masuk ke dalam ruangannya. Beberapakali gue memergoki dia yang sepertinya ingin ngomong sama gue, tapi tidak jadi.  Seperti sekarang, bos keluar dari ruangannya, dan dia menonton gue yang masih sibuk dengan berkas-berkas yang harus diperiksa. Tidak lama kemudian dia masuk keruangannya terus keluar lagi dengan setumpuk berkas yang sudah di periksa tadi pagi. "Kamu periksa ulang, ini masih banyak yang salah," ucap bos sambil memberikan tumpukan berkas itu ke depan gue. GUE UDAH MERIKSA BERKAS INI BERKALI-KALI! DAN NGGAK ADA YANG SALAH! Rasanya gue ingin berteriak, tapi gue masih sayang pekerjaan, jadi gue hanya mengambil berkas yang ada di tangannya dan menaruh berkas itu di meja. Gue akan membiarkan berkas itu di sana, siapa tau nanti kalau mood bos sudah kembali dia bilang kalau berkasnya sudah benar. Dia kayak cewek PMS aja, moody. Setelah memberikan berkas itu, bos sama sekali tidak beranjak. "Ada yang bisa saya bantu lagi Bos?" tanya gue bingung. Bos berdeham singkat. "Enggak ada, jangan lupa kamu koreksi lagi yang tadi."  "Iya Bos," jawab gue mencoba terlihat seikhlas mungkin. Setelahnya bos masuk lagi ke dalam ruangannya. Selama gue kerja di sini, si bos tuh jarang keluar dari ruangannya, toh toilet juga udah ada di dalam khusus buat dia, dia juga tidak mau repot dan sering minta gue yang masuk ke dalam ruangannya, bukan sebaliknya.  Hari ini adalah rekor terbanyaknya bolak-balik masuk keluar ruangan. Entah itu untuk mengantar berkas yang kata dia 'salah' di meja gue, memanggil OB untuk bersihin ulang ruangannya, menyuruh OB buatkan dia kopi. Pokoknya hari ini bos lagi rempong. karyawan lain juga ikut pusing dibuatnya. Mereka jadi merasa diawasi, termasuk gue. Gue melihat jam dengan gelisah, ini sudah jam makan siang tapi gue masih berjibaku dengan berkas yang kata bos harus diselesaikan hari ini juga. Perut gue perih lantaran tidak sempat sarapan, karena gue bangun telat akibat begadang memikirkan perkataan Jansen semalem. Tapi kalau ini berkas nggak selesai, bisa-bisa gue disuruh lembur. Padahal gue harus memberikan jawaban ke Jansen sore ini sebelum dia berangkat ke Singapore. Mau nitip makan siang ke teman gue yang di luar juga tidak enak, semenjak gossip tidak mengenakkan antara gue dan bos beredar mereka seperti menjaga jarak. Biasanya saat jam makan siang gue akan ke kafetaria sendiri atau membawa bekal dari rumah dan makan di ruangan. Tapi hari ini kedua option itu tidak bisa gue lakukan. Pintu ruangan diketuk dan menampilkan sosok bapak-bapak berjaket hijau khas ojek online yang sedang menjamur saat ini. "Permisi Mbak, saya mau nganter pesanan," ucap bapak itu. Seinget gue, gue tidak memesan apa pun. Kemungkinan besar bos lah yang memesan, maka gue membuka pintu ruangannya setelah mengetuk untuk memastikan. "Bos, maaf di luar ada ojek online, katanya mau antar pesanan. Apa bos yang pesan?"  "Oh ya, suruh masuk!" titah bos. Gue pun mempersilahkan bapak ojek online itu untuk masuk ke ruangan bos dan gue melanjutkan kembali pekerjaan yang tertunda. Mungkin setelah selesai mengerjakan berkas yang ada gue akan ikut bos untuk menggunakan jasa ojek online untuk membeli makan siang. "Mbak, dipanggil bosnya di dalem," kata bapak ojek online itu begitu keluar ruangan bos. Bos mau nyuruh gue ngapain lagi sih? Ini kerjaan yang dia kasih aja belom kelar! "Oh, iya Pak, terima kasih," ucap gue sambil menganggukan kepala. Setelah melihat bapak ojek online itu keluar, gue pun masuk ke dalam ruangan bos. "Permisi Bos, kata bapak tadi Bos manggil saya?"  Bos hanya menganggukan kepalanya di kursinya sambil menandatangani dokumen-dokumen yang ada di sana. "Ada yang bisa saya bantu Bos?"  "Saya pesen makanan kebanyakan, kamu udah makan?"  BELOOOM!!! "Belum Bos," jawab gue sekalem mungkin, padahal dalam hati sudah jungkir balik. Gue nggak perlu jauh-jauh ke kafetaria atau pesan via ojek online, makanannya sudah datang sendiri, gratis pula. "Ayo kita makan siang, kamu siapin dulu," titahnya. Gue pun menganggukan kepala dan menyiapkan makanan-makanan itu. Bos ternyata memesan lunch box, nasinya dua dan banyak lauk pauk yang mendampingi. Gue tau dia makannya lumayan banyak, tapi gue tidak menyangka kalau dia sampai memesan dua porsi nasi. Yaudahlah yang penting gue ikutan kenyang ntar. "Sudah Bos," ucap gue setelah menata makanan di meja. Setelahnya bos mulai beranjak dari kursinya dan menuju sofa tempat gue duduk, dan kami makan siang bersama. Sesekali bos mengambilkan lauk yang tidak terjangkau oleh tangan gue karena kehalang posisi tubuh dia, begitupun dengan gue. Gue tau dia suka sama seafood, jadi gue tidak mengambil banyak. "Git?" ucap bos yang membuat gue menghentikan kunyahan. Ini pertamakalinya bos gue menyebut nama gue. Gue kira dia tidak tau nama gue. Biasanya dia selalu ngomong dengan bahasa 'saya-kamu'.  "Iya Bos?" jawab gue setelah menelan makanan gue. "Saya—" Ucapan bos gue terhenti saat pintu ruangan terbuka dan menampilkan sosok seorang wanita cantik. "Jehan?" Bos terlihat kaget saat melihat perempuan itu. Perempuan itu tersenyum lebar lalu masuk ke dalam ruangan dan langsung mengambil tempat duduk di samping bos. Perempuan itu merangkul lengan bos dan berkata, "Gue punya berita bagus! Nyokap lo ngajak nyokap gue ngejodohin kita!" ucap perempuan itu yang membuat jantung gue berlari dari tempatnya. Kenapa rasanya ... sakit? Gue pun merapikan bekas makan milik gue dan pamit keluar ruangan. Bos tidak merespon omongan gue karena dia masih sibuk memandang perempuan di sampingnya. Jadi mungkin ini alasan kenapa makan siang yang dipesen bos porsinya lebih banyak, dia mungkin mau makan siang sama perempuan tadi... Hati gue terasa mencelos sekarang. Gue ingin menangis entah kenapa. Gue pun mencoba mengalihkan pikiran dengan mengerjakan pekerjaan, tapi tidak bisa. Di benak gue selalu terngiang perkataan perempuan itu, dan bayang-bayang akan apa saja yang sudah terjadi antara gue dan bos kembali menghampiri. Gue begitu penasaran dengan mereka yang sedang berduaan di dalam sana, tentang apa yang mereka bicarakan, atau bahkan apa yang mereka ... lakukan. Untuk menyelamatkan diri, gue pun menggandakan file yang ada di komputer kantor dan memasukannya ke dalam flashdisk, gue akan melanjutkannya pekerjaan ini di mana pun nanti. Asal jangan di ruangan ini.  Gue baru kembali ke ruangan saat jam pulang, dan bos ternyata ada di depan pintu ruangannya melihat gue dengan tatapan yang cukup tajam. "Kamu masih niat kerja gak sih?!" bentaknya yang membuat gue tersentak. "Saya udah menyelesaikan pekerjaan saya Bos, Bos boleh cek e-mail Bos," timpal gue. Setelahnya gue mengambil tumpukan berkas yang ada di meja dan juga tas gue. Gue menaruh tumpukan berkas itu di tangannya yang dia terima dengan tatapan bingung dan juga kesal. "Saya sudah menyelesaikan semua tugas saya. Kalau Bos memang tidak puas dengan hasil kerja saya, saya terima jika Bos memutus kontraknya," cerocos gue tanpa jeda. Gue tidak menunggu balasan darinya, gue langsung keluar ruangan dan segera pergi menuju lobby. Kalaupun gue dipecat, pasti nanti malam akan dikabari. Gue segera mencari mobil Jansen yang diparkir di depan kantor. Begitu gue membuka pintu mobil, Jansen menyambut dengan senyumannya yang gue balas dengan lengkungan bibir. Gue nggak tau itu bisa disebut senyum atau enggak. "Jadi, gimana jawabannya?" tanya Jansen dengan antusias. "Gue mau." Jansen memeluk gue, gue pun menyembunyikan wajah gue di bahunya. Gue harap ini keputusan yang tepat. Gue melepas pelukannya dan melihat senyumnya yang manis dan juga penuh kehangatan. Berbanding terbalik dengan bos gue yang angkuh dan menyebalkan. "Makasih," ucap Jansen yang gue jawab dengan anggukan. Ia menggenggam tangan dan mencium punggung tangan gue, dan begitu dia mendekatkan wajahnya, gue hanya bisa memejamkan mata. Gue bisa merasakan bibir Jansen yang menyentuh bibir gue. Hanya sebuah kecupan singkat, setelah itu Jansen melepaskan bibirnya. "Sebelum aku ke Singapore, ayo kita makan malem bareng!" ajaknya yang gue angguki. "Pakai seatbelt kamu," ucap Jansen sambil mengelus rambut gue. Gue pun mengangguki perintahnya dan menolehkan wajah untuk mengambil seatbelt yang letaknya sedikit tersembunyi. Di saat itu pula lah mata gue beradu pandang dengan bos yang sedang berdiri kaku tidak jauh dari mobil Jansen.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN