BAB 13

1108 Kata
Gue kaget dengan kedatangan Jehan yang begitu tiba-tiba dan berkata kalau kami sudah dijodohkan, bukannya apa-apa Jehan sendiri masih saudara gue meskipun kami tidak sedarah. Dia anak dari sepupu ibu tiri gue. Kami dulu sempat satu sekolah saat SMP dan gue tidak menganggap dia lebih dari adik meski dia sudah berulangkali bilang suka sama gue. "Jehan, please jangan kayak gini. Sampai kapan pun gue nggak akan mengubah pandangan gue akan lo," ucap gue ke Jehan yang membuat dia melepaskan kaitan lengannya dari tangan gue. "Ayolah Lay, daripada lo nggak nemuin cewek yang tepat, mending sama gue. Kita kan udah lama kenal. Lo nggak perlu takut atau trauma untuk menjalani komitmen. Gue bukan mantan lo yang mata duitan itu," balasnya. "Gue udah nemu," jawab gue yang membuat Jehan mengerutkan alis. "Nemu apa?"  "Orang yang tepat buat gue, orang yang gue inginkan untuk menemai sampai akhir hidup gue, Han." Jehan menaruh telapak tangannya di dahi gue dengan ekspresi tidak percaya. "Lo sakit? Jangan bilang lo ngomong gini cuma karena lo punya penyakit berbahaya makanya jadi nggak mau nikah sama gue?" tanyanya dengan panik. Jehan memang cantik, tapi terkadang otaknya tidak digunakan, sungguh berbanding terbalik dengan kesan pertama yang didapat oleh orang-orang. Makanya gue tidak menyukainya. Gue suka perempuan cerdas dan bisa diandalkan dalam berbagai hal, seperti asisten gue, Inggitya. "Berhenti ngejar gue, lo tau kan kalau gue nggak pernah bisa mandang lo lebih dari adek?" ucap gue yang membuat bibir Jehan menekuk sedih. "Nggak kasian emang lo sama Luthfian yang masih ngejar lo dari zaman lo masuk kuliah sampe sekarang? Dia udah mau lo jadiin supir, mesin ATM lo, partner kondangan lo. Masih gak lo pandang juga?"  Jehan terdiam, pandangannya menerawang. "Emang Luthfian masih nunggu gue?"  Gue pun mengeluarkan ponsel dan menghubungi Luthfian dengan mode loudspeaker sampai panggilan berakhir sendiri karena tidak diangkat. "Kita liat kalau pakai hape lo," kata gue sambil ngambil ponsel yang ada di tangan Jehan. Tidak sampai dua nada panggilan panggilan itu langsung diangkat. "See?" ucap gue tanpa mengeluarkan suara. Gue pun berdiri dan melempar ponsel Jehan yang ia terima dengan baik. "Bilangin sama nyokap lo kalau gue gak mau dijodohin sama lo," tandas gue. Dan gue mulai mendengar suara kepanikan Luthfian dari seberang sana.  "Jehan?! Lo dijodohin?! Sama siapa?! Kok kayak suara Laynata sih?! Lo di mana sekarang?!" Gue hanya menyunggingkan senyum begitu melihat Jehan yang mulai mematikan mode loudspeaker-nya dan mengangkat panggilan Luthfian dengan gugup. Gue pun keluar untuk menemui Inggitya, tadi dia belum selesai makan, tapi Jehan keburu masuk dan mengganggu. Gue mau menyuruhnya untuk kembali meneruskan makannya yang tertunda tadi, dan tidak usah mempedulikan Jehan. Siapa tau mereka bisa dekat dan berteman nanti. Meja asisten gue yang kosong membuat gue bertanya-tanya ke mana perginya dia. Gue berpikir mungkin Inggitya sedang ke toilet, jadi sambil menunggu gue pun duduk di kursinya. Kursi ini punya wangi yang sama seperti parfum miliknya yang membuat gue tersenyum tanpa sadar. Tapi senyuman gue berubah menjadi kekhawatiran saat melihat jam, ini sudah setengah jam lewat sejak gue meninggalkan Jehan sendirian di ruangan. Tapi Inggit belum kembali juga. Pintu ruangan gue terbuka, Jehan keluar dengan wajah yang cukup lesu. "Gue balik ya Lay," pamitnya. "Udah minta Luthfian jemput?" tanya gue yang dijawab anggukan oleh Jehan. "Jangan lupa bilang ke nyokap lo kalau gue nggak mau dijodoh-jodohin," tegas gue. Setelah Jehan pergi, gue pun menelepon ponsel Inggitya untuk mencari tau keberadaannya, tapi gue malah mendengar bunyi ponsel dari dalam tasnya yang masih tersimpan rapi di meja. Ke mana sih dia?! Gue sampai keluar ruangan dan menanyakan satu-persatu karyawan yang ada di luar tentang ke mana asisten gue pergi. Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang tau. Gue kembali ke ruangan dan hampir sepuluh menit sekali keluar hanya untuk mengecek dia sudah kembali apa belum. Ternyata dia masih belum muncul juga sampai jam pulang kantor. Karena capek bolak-balik, gue pun menunggu di depan ruangan, sekalian merasakan jadi Pak Satpam yang menjaga lobby kantor. Saat pintu ruangan terbuka dan menampilkan sosok yang gue cari-cari sejak tadi, gue merasa lega sekaligus kesal. "Kamu masih niat kerja nggak sih?!" ucap gue dengan nada yang lebih kencang dari yang gue maksud. Dia menghilang hampir lima jam dan tidak jelas ada di mana. Emosi gue meluap begitu saja. Gue sampai berencana untuk mengecek ruang cctv kalau sampai malam dia belum kembali juga. "Saya sudah menyelesaikan pekerjaan saya Bos, Bos boleh cek e-mail Bos," jawab dia terkesan datar dan juga jutek.  Mana sempat gue lihat e-mail di saat gue fokus memikirkan dia yang menghilang tiba-tiba? Setelahnya gue melihat dia mengambil tumpukan berkas yang ada di meja dan juga tasnya, dan dia menaruh berkasnya gitu aja di tangan gue. "Saya udah menyelesaikan semua tugas saya. Kalau Bos memang tidak puas dengan hasil kerja saya, saya terima jika Bos memutus kontraknya," pungkasnya sambil meninggalkan gue begitu saja. Putus kontrak? baru saja gue ingin memperpanjang kontraknya, dia malah bilang putus kontrak dengan seenak jidat. Ini nih yang gue tidak mengerti dari perempuan, tadi dia manis banget saat gue ajak makan siang bareng. Sekarang kenapa kayak gini sih? Gue pun menaruh berkas yang dia beri dengan asal di meja, lalu berlari untuk mengejarnya. Sialnya lift yang membawanya sudah jalan. Jadi gue memutuskan untuk turun dengan tangga darurat. Setidak gue masih bisa mencegat dia di lobby untuk mengajaknya pulang bersama. Gue sampai lobby dengan napas terengah dan melihat lift sudah kembali bergerak ke atas, tandanya dia sudah turun. Gue pun mencoba mencari dia keluar kantor. "Pak liat asisten saya?" tanya gue ke satpam yang sedang berjaga. "Barusan aja keluar mbaknya, Bos," jawab satpam yang membuat gue mempercepat langkah ke arah parkiran. Gue melihat dia masuk ke dalam mobil yang gue hapal sebagai mobil Jansen. Tidak sekali dua kali gue mengikuti mereka, jadi gue sudah hapal plat nomor dan juga jenis mobilnya. Kaca mobil Jansen yang tidak gelap membuat gue bisa melihat semua kejadian di dalamnya. Bagaimana Jansen memeluknya, dan juga menciumnya di depan mata gue. Kepalan tangan gue secara reflek menguat, bahkan buku jari gue sampai memutih. Dan di saat gue bertemu pandang sama dia, gue merasakan apa itu yang disebut dengan sakit hati. Sialan. Jadi begini rasanya? Pantas saja cewek-cewek yang selama ini memergoki gue dengan mainan baru sering memaki bahkan sampai memukul badan gue. Rasanya sekarang gue ingin menarik Inggitya keluar dari mobil itu dan menonjok Jansen tepat di bibirnya yang sudah lancang mencium bibir dia. Saat Inggitya mengalihkan pandangannya dari gue dan menyuruh Jansen untuk menjalankan mobilnya, rasanya gue ingin menghancurkan apa pun yang ada di depan mata. Gue pun mengambil ponsel yang ada di saku untuk menghubungi satu-satunya orang yang bisa diandalkan dalam hal ini. "Halo Shan? Gue minta data lengkap tentang Jansen yang punya Bramantyo Company."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN