Besoknya hari gue dipenuhi oleh kerjaan, begitu pun dengan hari keempat. Kata bos di hari keenam kami akan pulang dengan penerbangan paling pagi. Pagi yang dimaksud olehnya tuh jam lima. Jadi jam dua gue harus sampai di bandara. Mau tidak mau segala urusan harus diselesaikan secepatnya.
Meskipun capek karena harus beberapakali mengkonfirmasi tentang kesepakatan yang dibuat, akhirnya Mr. Matthews menyetujui proyek yang diajukan oleh kantor, dan itu membuat bos tersenyum dengan senang.
Semoga gue dapet bonus setelah ini...
Pagi sampai siang di hari kelima kami habiskan di kamar hotel untuk mengoreksi laporan perjalanan dan mengcek poin-poin kesepakatan yang sudah dilakukan, dan saat sore hari semuanya baru selesai.
"Karena ini malem terakhir, boleh nggak bos kalau kita ke Eiffel lagi?" tanya gue dengan penuh harap.
Bos menganggukan kepalanya mengiyakan. Dia kayaknya seneng proyek ini berhasil, jadi suasana hatinya bagus dan menuruti permintaan gue.
"Kita packing untuk pulang dulu, biar kalau nanti kemalaman nggak repot," ucapnya yang gue iyakan.
Setelah packing, bos mengajak makan malam di rooftop hotel, saat malam hotel ini menyediakan resto dan juga bar, jadi kami makan malam di sana sambil menikmati gemerlap lampu kota Paris.
Setelah selesai makan malam kami menghabiskan waktu di kawasan menara Eiffel. Mau berapakali melihat pun sepertinya gue tidak akan bosan. Menara ini emang indah, apalagi saat pertunjukan lampu di malam hari.
Walaupun bos sudah mengajak gue ke Arc de Triomphe, gerbang kemenangan khas Paris yang berbentuk gapura, Museum Louvre tempat lukisan monalisa terpajang, alun-alun Kota Paris yang berbentuk oktagonal. Tapi di Eiffel ini tempat yang paling berkesan buat gue.
"Kita nggak bisa ke semua tempat wisata karena waktu kita terbatas," ucap bos saat melihat gue yang masih menatap kagum megahnya menara Eiffel.
"Nggak apa-apa Bos, begini juga saya udah seneng. Tapi sebenernya saya masih mau ke tempat gembok cinta itu," ungkap gue jujur.
"Kita udah ngelewatin waktu ke museum kemarin," timpalnya.
"Masa sih Bos? kok saya nggak liat?"
"Karena gembok-gemboknya udah diangkat dan diganti sama street art.”
Gue pun menganggukan kepala gue sambil bergumam kata 'ah' singkat.
"Kamu mau ke sana emang mau ngapain?"
"Nggak ngapa-ngapain sih Bos, cuma mau liat aja. Lagian saya juga nggak punya nama yang ditulis sama nama saya di gemboknya," ucap gue sambil tersenyum bodoh, dan bos hanya mendengus geli setelahnya.
Kami masih menikmati suasana menara Eiffel sampai rintik hujan mulai turun, dan mulai membasahi pakaian yang kami kenakan. Kami pun berteduh di emperan toko terdekat karena hujan yang semakin besar.
Karena hujan yang tidak kunjung reda, kami memutuskan untuk nekat berjalan ke jalanan yang lebih besar untuk memberhentikan taksi yang akan membawa kami ke hotel.
Kami sampai ke dalam kamar hotel dengan keadaan yang basah. Gue pun kebingungan karena semua pakaian sudah di-packing rapi dan tercampur dengan baju kotor. Baju yang akan gue pakai untuk pulang nanti masih di-laundry sama pihak hotel, dan baru jadi sekitar dua jam lagi, yang ada gue masuk angin duluan.
Bos melepas jasnya yang basah, untungnya kemejanya bisa selamat dan tidak basah. Gue melihat bos membuka celananya dan hanya menyisakan boxer dan kemeja. Hal itu membuat gue menelan ludah gugup.
"Baju kamu basah," ucap bos sambil melihat ke arah gue.
"Baju saya sama bos lagi di-laundry," timpal gue. Gue yakin dia tau dengan pasti akan hal itu.
"Buka baju kamu," ucap tiba-tiba.
Gue masih diam, mencoba mencerna ucapannya. Bos beranjak ke belakang gue dan menurunkan seleting baju yang gue pakai, lalu gue bisa merasa kemeja bos udah tersampir di bahu gue.
Dia membuka baju gue sehingga gue hanya memakai tank top yang untungnya tidak basah dan dia memakaikan kemejanya di badan gue. Bahkan dia mengancingkan kemejanya di tubuh gue.
Gue tidak tau harus bagaimana karena lutut gue terasa lemas akibat dari perbuatannya. Saat pandangan mata kami beremu dalam jarak sedekat ini, gue merasakan ada sesuatu yang menggelitik perut.
Gue bisa merasakan hembusan nafasnya di wajah. Dan detik berikutnya, bos menangkup kedua pipi gue dan menempelkan bibirnya ke bibir gue.
***
Gue sama bos canggung parah di dalam pesawat, lebih tepatnya gue yang canggung, sedangkan bos terlihat biasa, meski dia sedikit menjaga jarak.
Semalam hampir aja gue menghabiskan malam dengan 'tidur' bareng bos sendiri. Kalau room service tidak datang dan mengetuk kamar hotel kami untuk mengantar baju yang sudah selesai di-laundry gue tidak tau apa yang akan terjadi. Gue mengutuk diri sendiri yang bisa-bisanya membalas ciuman bos gue semalem.
But his lips are indeed very tempting! AAAA…
Kami bahkan sudah ada di ranjang dengan posisi bos yang ada di atas tubuh gue. Mengingat hal itu membuat pipi gue panas sendiri. Gue tidak pernah melakukan deep kissing sebelumnya, tapi semalam...
Gue sekarang mengerti kenapa banyak cewek yang mau berakhir one night stand dengannya meskipun setelahnya tidak dianggap lagi. Dia benar-benar tau titik kelemahan perempuan dan bisa memanfaatkannya dengan baik.
Tangannya yang menjalar di punggung gue saat kami berciuman semalam membuat gue lemah. Untung gue masih diselamatkan oleh keadaan. Kalau tidak, sudah pasti gue akan menyesal karena terjerumus dalam dosa penuh kenikmatan sama bos sendiri. Gue bisa saja diputus kontrak dan jadi pengangguran setelahnya.
Setelah room service datang bos langsung mengambil pakaiannya dan ganti baju di kamar mandi, setelah itu dia pamit untuk ke bar yang ada di rooftop sampai waktunya kami berangkat ke bandara. Dan dari lounge sampai pesawat kami tidak terlibat percakapan apa pun.
Gue merasa bingung sekaligus malu saat ini, bingung bagaimana untuk memulai percakapan kembali. Penyekat di antara kursi kami bahkan tidak diturunkan oleh bos, jadi kami punya privasi masing-masing sekarang. Jangankan untuk suap-suapan kayak kemarin, saling negur saja jadi susah dan tidak enak.
Gue mencoba mengalihkan pikiran dengan hal-hal lain seperti menonton film, tapi film yang gue tonton memiliki banyak kissing scene, hal itu membuat gue ingat dengan kejadian semalem. Gue sampai memukul kepala sendiri agar kewarasan gue datang lagi.
Let's not fall in love...
Berulangkali gue meyakinkan diri dalam hati dengan kata-kata itu. Karena kalau gue sampai jatuh cinta dengannya, dapat dipastikan gue yang akan terluka pada akhirnya.
Gue cukup berenang di lautan yang kapan saja bisa berubah tanpa peringatan, sekarang gue harus kembali ke tepian, karena laut memang bukan rumah untuk gue meski gue suka untuk berlama-lama memandangnya...
***
Sepulang dari Paris gue mencoba menjalankan tugas seperti biasa, menjadi seorang asisten profesional meskipun hati terkadang menolak dan tidak bisa bertahan untuk menatapnya lama-lama.
Tidak pernah ada lagi perempuan yang dibawanya ke kantor, begitupun dengan penggosip di kamar mandi. Sepertinya dia sudah membereskan tentang hal itu.
Gue tidak meminta penjelasan kenapa malam itu dia kembali mencium gue, kalau sebelumnya dia beralasan tidak mungkin mencium pacar orang, sekarang dia beralasan tidak mungkin cium tembok gitu?
Kalau pun gue minta penjelasan, gue tidak siap mendengar jawabannya, dan yang paling penting di atas itu semua, gue takut dipecat. Gue masih butuh uang untuk biaya nikah, meskipun belum ada calon.
Zaman sekarang nyari cowok yang mapan itu susah, kata temen-temen gue kalau nggak duda ya perjaka tua. Jadi sebagai perempuan gue juga harus mempersiapkan diri. Berjuang bersama dari nol katanya malah membuat ikatan pernikahan semakin kuat.
Pengecualian kalau lo nikah dengan bos-bos muda seperti Jansen atau bos gue ini. Tapi saingannya pasti banyak, dengan wajah jauh lebih cantik dan tubuh lebih menarik dari gue. Kalau pun tidak banyak saingan, ya pasti ada saja, seperti si bos yang playboy kronis dan tidak suka berkomitmen. Dunia memang tidak adil!
Ngomong-ngomong soal Jansen, dia masih sering menghubungi gue dengan intens, dia juga kembali mengajak gue untuk makan malam bersama yang membuat gue bingung bagaimana menanggapinya. Masalahnya semakin hari si bos semakin sulit ditebak. Nanti tiba-tiba dia mengantar gue pulang, menyuruh gue kerja di apartemennya kalau dia sedang malas ke kantor. Semua dilakukan secara random yang membuat gue bingung.
Hari ini memang belum ada ajakan apa pun dari bos, makanya saat Jansen mengajak makan malam, gue mengiyakan.
Gue pun menunggu Jansen di lobby kantor. Tidak lama berselang, bos keluar dari lift dan memberikan kunci mobilnya kepada satpam."Ayo saya antar," ajaknya.
Suara klakson membuat gue menoleh, dan mobil Jansen sudah tiba. Ia membuka kaca jendela mobilnya dan melemparkan sebuah senyuman. "Udah lama nunggunya?" tanya Jansen.
Damn... ini kenapa gue berasa ketahuan selingkuh sedangkan gue tidak ada hubungan apa pun dengan keduanya. Gue harus ikut yang mana?!
Setelah berpikir cukup panjang, akhirnya gue memutuskan untuk ikut bersama Jansen. Lagipula gue sudah berjanji kepada Jansen sebelumnya, jadi gue berharap bos mengerti.
"Maaf Bos, mungkin lain kali. Saya sudah ada janji," ucap gue seraya pamit. Setelahnya gue pun masuk ke dalam mobil Jansen.
Mobil Jansen perlahan meninggalkan pelataran kantor, meninggalkan bos yang masih menunggu mobilnya diambil oleh satpam di belakang kami. Seharusnya gue merasa senang sekarang, seharusnya... tapi kenapa gue malah merasa tidak enak?
"Tadi Bos lo ngajak pulang?" tanya Jansen yang membuat gue tersadar dari lamunan. Gue pun mengangguk mengiyakan pertanyaannya.
"Kalian sering pulang bareng?" Sekarang gue bisa mendengar nada penuh selidik dari kalimat yang dilontarkan oleh Jansen.
"Kadang iya, kadang enggak. Tergantung. Biasanya kalau gue pulang malem bos suka nganter," jawab gue jujur. Jansen menganggukkan kepalanya. Topik tentang bos membuat suasana kami jadi canggung.
"Bos lo—"
"Bisa kita berhenti bahas bos gue?" potong gue.
Jansen menganggukan kepalanya mengiyakan. "Oke kalau itu mau lo, jadi kita mau ke mana?"
"Gue ikut aja, terserah." Tipikal jawaban perempuan yang biasanya.
Setelahnya Jansen membawa gue ke sebuah restoran seafood tidak jauh dari kantor. Ia juga yang memesankan menu kerang bambu asam manis dan cumi goreng tepung serta tumis kangkung. Gue hanya menyetujui.
"Lo akhir-akhir ini jarang bales chat gue," kata Jansen di saat kami sedang menyantap makan malam.
"Maaf, akhir-akhir ini kerjaan di kantor banyak. Mungkin asisten lo ngerti karena dia yang jauh lebih repot dari lo," ucap gue setengah curhat yang membuat Jansen tersenyum.
Semua bos seharusnya tau kalau asisten mereka jauh lebih repot dibandingkan diri mereka sendiri. Sebagai asisten, kami mengurus keperluan untuk dua orang, yaitu bos dan diri kami sendiri. Bahkan terkadang kami mengabaikan keperluan diri kami demi bos kami. Tapi apa itu cuma berlaku sama bos gue ya?
"Gue nggak pernah memforsir asisten gue, dia juga manusia yang perlu istirahat dan komunikasi sama orang terdekatnya. Gue nggak mungkin ngasih kerjaan sampai segitunya."
mendengar ucapan Jansen membuat gue tersenyum. Kayaknya yang seperti itu memang hanya bos gue doang. Akhir-akhir ini dia sering minta ganti jadwal seenaknya yang membuat gue kerepotan meng-handle semuanya.
"Kalau lo udah nggak kuat kerja di sana, lo bisa kerja di tempat gue," tawar Jansen.
"Dan jadi bahan omongan karyawan lo karena gue masuk kantor lo cuma karena dapet koneksi dari lo langsung? Enggak, makasih, gue enggak suka kayak gitu. Lagian kasian asisten lo yang sekarang. Nyari kerja kan susah. Kalau lo pecat ntar dia kerja di mana?"
"Di saat semua orang sibuk mikirin diri sendiri lo masih sempet-sempetnya mikirin orang lain."
"Kalau gue nge-stop rejeki orang, rejeki gue juga pasti di-stop. Gue percaya kalau Tuhan itu adil, Sen. Apa yang gue tanam ya itu juga yang akan gue tuai nantinya."
Jansen merespon omongan gue dengan senyuman gentle-nya. "Gue nggak tau lo sampai berpikir sejauh itu."
Gue bahkan udah mikirin tentang pernikahan gue meskipun belom ada calonnya... Pemikiran yang cukup panjang itu Sen.
"Akhir minggu ini lo free?" tanya Jansen. Sepertinya dia mau mengajak gue jalan lagi.
"Gue nggak bisa karena harus kondangan," jawab gue dengan senyuman tidak enak.
"Udah punya partner? Gue mau jadi volunter kalau lo belum punya."
"Sebenernya yang kondangan bukan gue, tapi bos gue. Gue yang cuma jadi partnernya."
"Bos lo nggak punya pacar apa sampe ngajak lo terus ke acara resmi gitu?" tanya Jansen heran. Ekspresi terganggu di wajahnya sama sekali tidak ditutupi.
"Justru karena kebanyakan, makanya gue yang diajak jadinya, biar dia nggak repot milih."
"Lo tau nggak? Kalau gue nggak tau dia itu Bos lo, gue bakal nyangka kalian pacaran,” ucap Jansen yang gue balas dengan senyum separuh.
Yang nyangka suami istripun udah banyak...
"Lo nggak suka sama bos lo kan?" tanya Jansen to the point tanpa basa basi sedikitpun.
Gue menghela napas sejenak, bingung harus menjawab apa. "Emang kenapa?" tanya gue pada akhirnya.
"Karena gue suka sama lo," ucap Jansen yang membuat suapan sendok gue terhenti mengambang di udara.
"Maybe it's too early, but i think i have fallen in love with you..."
Damn... gue bingung sekarang. Jansen nembak gue?
Gue pun menaruh sendok karena keinginan makan gue udah lenyap entah ke mana. Setelahnya Jansen mengambil lengan gue dan dia menggenggam tangan gue. "Please look into my eyes," ucapnya yang membuat gue reflek mengikuti permintaannya.
Gue bisa melihat mata Jansen yang berwarna hitam pekat memandang mata gue dengan penuh keseriusan. "Do you wanna be my girl?"
Mulut gue terkatup rapat, kaki gue bergerak gelisah. "I think i need some time to answer, Jansen."
Bukankah ini waktu yang bagus, jadi gue nggak terjebak dengan perasaan sama si bos? Tapi... kenapa gue masih ragu?