Perjodohan Tanpa Cinta
Arjun menggeram, wajahnya masam. Perjodohan dengan Dinda, seorang gadis berniqab, sama sekali bukan keinginannya. Ia tampan, sukses, dan terbiasa mendapatkan apa yang diinginkannya. Namun, kedua orang tuanya bersikeras menjodohkannya dengan gadis yatim itu.
"Romo, apa tidak ada pilihan lain? Kenapa harus dia?" protes Arjun, menahan amarah yang membuncah.
"Lancang! Apa yang salah dengan Dinda? Dia sarjana, bahkan lebih pintar darimu. Hafal Al-Quran dan sangat sholehah!" jawab Farel, ayahnya, dengan tegas.
"Tapi, Romo, aku tidak suka gadis bercadar! Teman-temanku akan mengejekku. Pacarku selalu cantik dan seksi, sementara dia…" Arjun mengusap pelipisnya yang berdenyut, frustrasi.
"Arjun, apakah kau bangga dengan para gadis yang kau sebut cantik dan seksi itu? Gadis-gadis yang mengumbar aurat dan tak punya tata krama? Bisakah mereka menjadi istri yang berbakti dan ibu yang baik bagi anak-anakmu kelak?" tanya Farel balik, nada suaranya berat.
"Romo, ini bukan zaman dijodohkan! Aku muda, sukses, dan berhak memilih sendiri!" bantah Arjun, masih berusaha melawan.
"Sukses duniawi saja tak cukup, Arjun. Aku menginginkan menantu yang bisa membimbingmu menjadi lelaki sholeh, dan melahirkan cucu-cucu yang sholeh pula!" tegas Farel.
"Tapi tidak harus Dinda, Romo," rengek Arjun.
"Andai dulu ibumu tak melarangku memasukkanmu ke pesantren…" Farel menghela napas panjang, suaranya bergetar menahan sesal. "Kau kuliah di luar negeri, terpapar budaya bebas… Aku menyesal, Arjun, aku menyesal menjadi ayah yang gagal!"
Bella, ibunya, hanya menunduk, tak berani menatap suaminya yang sedang murka.
"Romo, jangan salahkan Amih. Akulah yang menolak pesantren," bela Arjun, mencoba meredakan amarah ayahnya.
"Aku tak peduli! Hormatilah aku, Arjun, dan menikahlah dengan Dinda! Jika tidak, jangan pernah panggil aku Romo lagi!" Farel berlalu masuk kamar, meninggalkan Arjun yang terdiam.
"Kenapa jadi begini, sih? Sial!" gumam Arjun frustasi.
"Leh, coba pahami Romo. Ini soal hutang budi," bujuk Bella lembut.
"Hutang budi? Hutang apa, Amih?" tanya Arjun penasaran.
"Dulu, saat kuliah di Kairo dengan beasiswa, Romo masih miskin. Ia bertemu ayah Dinda, belajar kaligrafi, dan berjualan bersama hingga sukses. Setelah ayah Dinda meninggal kecelakaan, Romo berjanji akan menjaga Dinda," jelas Bella.
"Amih, Romo bisa saja mengangkat Dinda sebagai anak. Tak perlu menjodohkanku!"
"Dinda adalah menantu idaman Romo. Patuhlah, Arjun. Ini demi kebaikanmu. Jika Romo marah dan sakit, kaulah yang akan menyesal," bujuk Bella sekali lagi.
.....
Malam itu, Arjun dan orang tuanya datang melamar Dinda. Di balik niqabnya, Arjun menangkap semburat kemerahan di sekitar mata Dinda—bekas tangis. "Mungkin dia masih berduka," batin Arjun, merasa sedikit iba. Namun, rasa hampa dan penolakan masih menguasai hatinya. Pernikahan ini terasa seperti hukuman baginya. Sepanjang acara, Arjun hanya diam, begitu pula Dinda yang tampak pasrah.
Keesokan harinya, Arjun menemui Dinda di universitas tempatnya bekerja sebagai dosen. Mereka duduk di kantin, suasana hening.
"Dinda, aku tak punya banyak waktu. Aku jujur, aku belum mencintaimu. Jika kau tak ingin menikah denganku, katakan sekarang juga. Bicaralah pada Romo, aku yakin beliau akan mengerti," ujar Arjun, serius.
Dinda tenang, meminum minumannya tanpa ekspresi terkejut. "Apa itu cinta? Aku tak menaruh cintaku pada manusia. Aku menikah untuk berbakti pada Romo, sesuai wasiatnya sebelum beliau meninggal. Setelah menjadi istrimu, aku akan menjalankan kewajibanku. Sedangkan kau… terserah. Aku tak akan menuntut apa pun."
Jawaban Dinda menohok Arjun. Ia merasa harga dirinya terinjak-injak, kehadirannya seakan tak berarti.
"Baiklah. Setelah menikah, aku akan menafkahi lahirmu. Tapi jangan harap nafkah batin," balas Arjun dingin, lalu berlalu pergi. Ia meninggalkan Dinda yang terdiam, sorot matanya tak terbaca di balik niqab.
.....
Air mata Dinda menetes. Duka kepergian Romo masih membekas, kini ditambah beban pernikahan tanpa cinta. Ia tak mencintai Arjun, begitu pula sebaliknya. Dinda tak menginginkan banyak, hanya imam yang membimbingnya ke surga dan menyayanginya sepenuh hati. Pernikahan ini hanya permintaan terakhir Romo.
"Assalamu'alaikum," sapa seorang lelaki ramah.
"Wa'alaikumussalam," jawab Dinda.
"Dinda, sendirian saja?" tanya Geger, seorang ustadz.
"Pak Ustadz Geger, hanya minum di kantin," jawab Dinda.
"Ini undangan ulang tahun Vina, besok jam empat sore. Dia sangat ingin kamu datang," kata Geger, menyerahkan sebuah kartu undangan.
"Terima kasih," jawab Dinda, tersenyum di balik niqabnya.
"Assalamu'alaikum," pamit Geger.
"Wa'alaikumussalam," balas Dinda.
Dinda menatap punggung Geger. Di luar kantor, mereka selalu akrab dan informal. Geger, duda sholeh dan penyayang dengan seorang anak berusia lima tahun, adalah sosok yang baik. Dinda mengenalnya saat menyelamatkan Vina, anak Geger, dari kecelakaan. Berkat rekomendasi Geger pula, Dinda diterima sebagai dosen. Hubungan mereka dekat seperti kakak-adik, meski terpaut usia enam tahun.
"Hadiah apa untuk Vina, ya? Boneka beruang saja, deh," gumam Dinda.
Pulang mengajar, Dinda menuju mall. Ia menyukai kesunyian, bukan karena antisosial, hanya kurang pandai memulai pertemanan.
Ia menemukan boneka beruang yang cantik, hendak mengambilnya, namun sebuah tangan lain lebih dulu meraihnya.
"Maaf, saya lihat duluan," ucap seseorang.
Dinda menoleh, terkejut melihat Windi, ibu Vina, di hadapannya.
Dinda merasa risih dengan tatapan penuh tuduhan Windi, namun ia tetap tenang dan tersenyum.
"Mbak Windi, mau beli kado untuk Vina, ya?" tanya Dinda sopan.
"Bukan urusanmu, pelakor!" jawab Windi ketus.
"Astaghfirullah, Mbak Windi menuduh saya pelakor?" tanya Dinda, sedikit terluka.
"Kau tak sadar, ya? Perceraianku dan Geger karenamu! Vina lebih menyukaimu! Pelet apa yang kau pakai, hah? Bercadar sok alim, tapi kelakuanmu menjijikkan!" Windi menghujani Dinda dengan makian.
Dada Dinda bergemuruh menahan sakit hati, namun ia tetap sabar. Ia tahu percuma berdebat dengan Windi.
"Mbak, saya dan Pak Geger hanya berteman. Beliau menganggap saya adiknya, tak lebih!" tegas Dinda.
"Pelakor mana yang mau ngaku! Sok alim, tapi aslinya kecentilan!" cibir Windi.
"Mbak, tahu apa itu pelakor? Perebut suami orang! Saya kenal Pak Geger setelah kalian bercerai! Kami hanya teman kerja, dan saya dianggap adiknya!" Dinda membela diri.
"Assalamu'alaikum," Dinda pergi, tak ingin dipermalukan lebih lanjut.
"Heh, awas ya kalau kau datang ke pesta ulang tahun anakku!" teriak Windi.
Dinda mengabaikannya. Ia tak tega membuat Vina sedih. Ia mengalihkan perhatian, menuju toko emas.
Di toko emas, Dinda memilih seuntai kalung berliontin kecil berbentuk bulan sabit. Ia membayangkan Vina akan menyukainya. Saat hendak membayar, ia melihat seorang pria di dekatnya. Pria itu mengenakan kemeja putih dan celana bahan gelap, penampilannya sederhana namun terpancar aura kedewasaan dan ketenangan. Ia sedang memilih sebuah jam tangan.
Dinda tak sengaja bersentuhan dengan tangan pria itu saat mengambil dompet. Pria itu menoleh, tersenyum ramah. "Maaf," katanya.
"Tidak apa-apa," jawab Dinda, sedikit gugup. Senyum pria itu membuatnya merasa nyaman, berbeda dengan amarah Windi yang masih terasa di hatinya.
Setelah membayar, Dinda hendak pergi, namun pria itu memanggilnya. "Permisi, Nona," katanya. "Saya melihat Anda memilih kalung itu untuk anak kecil, ya?"
Dinda mengangguk. "Ya, untuk keponakan saya," jawabnya.
"Kebetulan sekali, saya juga sedang mencari hadiah untuk anak perempuan saya. Bagaimana kalau kita tukar hadiah? Saya punya boneka beruang yang mungkin lebih disukai anak kecil," tawar pria itu, menunjukkan sebuah boneka beruang yang dibungkus rapi dalam kotak.
Dinda tertegun. Tawaran pria itu sungguh tak terduga. Ia mengamati boneka beruang itu, tampak berkualitas tinggi dan sangat lucu. Ia membandingkannya dengan kalung yang sudah ia pilih. Kalung itu memang indah, namun mungkin kurang menarik bagi anak kecil.
"Baiklah," jawab Dinda, tersenyum. "Terima kasih."
Mereka bertukar hadiah. Pria itu memperkenalkan dirinya bernama Fahri. Mereka berbincang sebentar, membahas tentang anak-anak dan kesukaan mereka. Dinda merasa nyaman berbincang dengan Fahri. Ada ketenangan dan kehangatan yang terpancar darinya, berbeda dengan suasana tegang yang baru saja dialaminya di toko boneka.
Sebelum berpisah, Fahri memberikan kartu namanya. "Jika ada waktu, silakan hubungi saya," katanya. "Saya senang berteman dengan Anda."
Dinda menerima kartu nama itu, menyimpannya dengan hati berdebar. Ia merasakan sesuatu yang berbeda, sebuah harapan kecil muncul di hatinya. Mungkin, ini adalah awal dari sebuah perubahan. Mungkin, di balik niqabnya, ada kebahagiaan yang menunggunya. Ia tersenyum, melangkah pergi dengan langkah lebih ringan. Boneka beruang di tangannya terasa lebih hangat daripada kalung yang hampir ia beli.