BAB III

1012 Kata
Di rumah, Abigail segera masuk ke kamarnya dan langsung mandi. Nuansa paperlace mewarnai dinding kamar. Gaya minimalis dan sejuk, benar-benar membuat pikiran Abigail yang sebelumnya tidak konsentrasi walau tadi sedang makan dengan William , langsung rileks. Ada beberapa tumbuhan dan bunga hidup di teras kamar Abigail. Dia menyukai tanaman seperti ibunya, begitu kata Harry saat bercerita tentang ibunya yang tidak pernah dia kenal. Abi hanya tau ibunya dari foto-foto yang diberikan Harry. "Ibu, hari ini aku bertemu dengan seorang pria. Dia sangat tampan. Aku pernah melihat liputan beritanya. Benar-benar pria luar biasa. Seperti ayah yang juga luar biasa. Tapi aku tidak yakin dia menyukaiku. Aku baru merasakan perasaan seperti ini, ibu", Abigail bercerita sambil melihat foto ibunya yang terletak di meja di samping tempat tidur. Lalu Abi mengambil buku hariannya yang sudah ia tulis dari kecil, ia mencurahkan semua isi hatinya ke dalam buku itu. Tiba-tiba gawainya berbunyi. "Halo Ayah, ada apa?" "Apa kau sudah pulang, Abi?", tanya Harry dari seberang sana. Sambil berjalan ke arah teras Abigail berkata, "Sudah ayah. Aku tadi hanya makan siang dengan William dan setelah itu dia mengantarkan aku pulang." "Baiklah. Ayah akan pulang malam lagi hari ini. Kamu tahu sendiri bagaimana dunia pertelevisian. Jangan lupa makan malam dan jangan tidur terlalu malam." "Ayah, aku bukan bayi lagi." protes Abigail. "Kau akan selalu menjadi bayi kecilku, Abi. Baiklah kalau begitu, banyak pekerjaan yang harus ayah kerjakan. Bye Abi." "Bye ayah, ayah juga jangan lupa makan ya." Sambil melihat ke arah taman bunga dari teras, pikiran Abigail kembali kepada Albert. Taman bunga itu adalah milik ibu Abigail. Dia yang menanamnya. Sampai sekarang tukang kebun merawat taman itu atas perintah Harry, utuk tetap mengenang istri tercintanya. "Andaikan ibu ada disini. Aku ingin bercerita banyak hal denganmu." Perkuliahan kembali dimulai. Albert berangkat pagi-pagi sekali. Dia bersemangat karena kelas Abigail hari ini dimulai dijam pertama. Sesampainya di kelas, mahasiswa sudah duduk bersiap-siap. Apalagi mahasiswi, kali ini mereka berpakaian ketat dengan rok pendek yang jika duduk bisa dipastikan akan ada hal-hal yang terlihat dari depan. Dan sekarang mereka semua duduk di depan. Berbeda dengan Abigail. Kali ini dia mengenakan dress terusan di bawah lutut. Karena itu lebih sopan. Ayahnya tidak mengijikan Abigail berpakaian terlalu terbuka. Apalagi didunia pertelevisian, banyak artis berpakaian minim yang membuat ayah Abigail ketakuatan jika anaknya memakai pakaian seperti itu. Saat Albert masuk kelas, para mahasiswi mengeluarkan jurus dan gaya tersensual mereka untuk memikat Albert. Lagi-lagi berbeda dimata Albert, Abigal tetap tenang, dia sudah siapa dengan buku dan pensil untuk mengikuti perkuliahan. "Ini dia, aku yakin dialah orangnya. Tinggal memastikan siapa pria yang kemarin. Aku tidak akan membiarkannya dipetik orang lain." Setelah semalaman Albert tidak tidur hanya untuk mencari data tentang Abigail dari internet dan juga informasi dari sekretaris ayahnya. Dia juga memperoleh data tentang William, satu-satunya sahabat Abigail. Selebihnya tidak ada berita yang menerangkan hubungan asmara mereka. Tidak terasa 2 jam sudah berlalu. Saat Abigail akan beranjak keluar kelas, Albert memangilnya. "Kamu, Abigail. Ikut saya." Dengan wajah terkejut dan bertanya-tanya Abigail mengikuti Albert. Tak pelak gadis-gadis haus harta itu melotot, kenapa bukan aku yang dipanggil? Mungkin begitu isi hati mereka. Sesampainya di tempat parkir. "Hari ini saya ingin mengajak kamu makan siang, maukah?" Albert tampak gugup, ternyata seperti ini rasanya mengejar wanita. "Iya pak, saya mau. Tapi tunggu saya harus menghubungi orang lain dulu." Abi tampak menghubungi seseorang. Dengan gelisah Albert berpikir jangan-jangan Abigail ingin menghubungi laki-laki kemarin untuk meminta ijin mungkin, atau untuk ikut makan siang bersama. "Halo, pak hari ini saya mau makan siang di luar. Dengan dosen saya." Setelah menutup telepon Abi berkata, "Maaf Pak Albert, nanti pengawal saya akan mengikuti dari belakang." Albert hanya mengangguk dan membukakan pintu mobil untuk Abigail. Sepanjang perjalanan pikiran dua insan itu menjelajah kesemua kemungkinan, hanya suara klakson kendaraan yang samar-samar terdengar. "Kenapa tiba-tiba Pak Albert mengajaknya makan siang? Atau aku menyinggungnya?", batin Abi. Lain dengan Albert, dia sedang mempersiapkan hati jika nanti ada kemungkinan perasaannya ditolak mentah-mentah. Albert sengaja mencari restoran dengan privasi yang baik. Restoran yang dipilih adalah resto dengan masakan western. Suasana siang itu sedikit sepi, hanya beberapa meja yang terisi. Albert milih tempat di sudut dengan pemandangan danau buatan dibalik jendela lebar. Rumput-rumput di sekitar danau juga tampak gemuk, tidak lupa beberapa bunga tulip sebagai pemanis diantar hamparan hijau terbentang. Albert meminta Abigail untuk memilih menunya sendiri sambil mempelajari makanan kesukaan Abigail. Tidak menunggu lama, menu pesanan mereka tersedia. Abi memilih menu salmon panggang dengan siraman madu dan taburan bubuk oregano. Sedangkan Albert lebih memilih menu yang sedikit berat untuk sedikit mengalihkan pikirannya, wagyu beef panggang dengan saus kentang dan taburan lada hitam. Untuk minumannya, Abigail memilih sebotol sparkling wine untuk nikmati bersama. Mereka makan dalam keheningan. Hanya suara garpu dan sendok yang saling beradu. Selesai makan akhirnya Albert bertanya, "Bolehkah saya tahu siapa laki-laki yang kemarin mengantarmu pulang, apa dia kekasihmu?" Abi mengernyitkan dahinya, bukankah pertanyan itu terlalu pribadi? "Dia William, sahabat saya dari kecil dan dia bukan kekasih saya, bahkan dia lebih muda dari saya", jawab Abi. Suasana hening kembali. "Apa kamu sudah punya kekasih?", tanya Albert. Lagi-lagi pertanyaan yang aneh. "Belum. Memang kenapa, Pak?" Albert menarik nafasnya dalam-dalam... "Maukah kamu menikah dengan saya? Saya tahu ini mendadak, kita belum saling kenal dan kamu pasti terkejut. Saya juga belum mempersiapkan cincin untuk melamar kamu. Tapi saya mengumpulkan seluruh keberanian saya sekarang." Tidak terbayang wajah merah Albert menahan malu atau mungkin mabuk dengan hanya beberapa gelas wine tanpa kadar alkohol itu. Abi sengaja memberikan jeda cukup lama. Hatinya bersorak gembira. "Ya saya terkejut. Saya tidak menyangka Bapak mengajak makan hanya untuk melamar saya. Saya pikir saya telah melakukan kesalahan." "Jadi apa jawabanmu?" Abi kembali terdiam. "Apa saya perlu berlutut atau memberikan bunga? Ah iya, seharusnya saya membeli bunga dulu tadi pagi." Albert menyesal, dia melupakan hal penting hanya demi datang pagi. "Panggil saya Abi. Saya menerima lamarannya. Jadi kapan kita mencari cincin pernikahan?" "Sungguh?" "Ah iya, seharusnya aku memintamu untuk berlutut terlebih dahulu." Abi memasang wajah menyesal yang sama untuk meledek Alberth. Mereka berdua sama-sama tertawa. Tiba-tiba Albert meraih tangan Abi dan menciumnya. Semburat merah di wajah Abi nampak jelas menambah kecantikannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN