Mobil Albert memasuki pekarang.
Sudah bersiap seorang pelayan yang bertugas untuk memarkirkan kendaraannya di garasi belakang.
"James, apa ayah dan ibu sudah kembali dari perjalanan bisnisnya?", tanya Albert pada kepala pelayan yang semua rambutnya sudah memutih.
James adalah kepala pelayan yang sudah mengabdi puluhan tahun pada keluarga Franklin.
Masa mudanya berlalu dan digantikan dengan kerutan-kerutan yang terlihat jelas pada seluruh kulitnya
"Sudah Tuan muda, sekarang Tuan dan Nyonya ada di ruang tengah sedang minum teh," jawab James sambil membungkukkan badan tanda memberi hormat.
Albert langsung menuju ruang tengah dimana orang tuanya berada.
Kediaman keluarga Franklin bergaya klasik Eropa.
Terletak di pinggir hutan. Itu karena mereka menyukai ketenangan dan privasi, jauh dari hiruk pikuk kota dan kepenatan rutinitas.
Hutan itu juga bagian dari tanah milik mereka. Sebidang tanah dengan luar berhektar-hektar di atas bukit, dikelilingi tembok menjulang tinggi dengan kawat berduri di atasnya.
Hanya ada satu akses masuk, melewati 3 pos penjagaan dengan tentara bersenjata lengkap yang menjaga 24 jam.
CCTV setiap titik-titik penting. Keamanan super untuk keluarga bangsawan terpandang.
Semua itu bukan tanpa sebab. Banyak pesaing-pesaing dan mafia bisnis yang memakai berbagai cara untuk merebut bisnis Franklin.
Albert berjalan di koridor besar menuju ruang tengah. Gaya dan ornamen klasik kental di dalam rumah, terlihat dari lampu-lampu, lukisan dan perabotannya. Bangunan ini sudah menjadi milik keluarga Franklin selama berapa abad.
Langkah kakinya terdengar saat sepatunya berbenturan dengan lantai marmer.
Terlihat dari ujung koridor, orang tua yang benar-benar sudah sangat tua duduk menikmati penghujung pensiun mereka dengan bersantai.
Mereka menikah diusia hampir 40 tahun dan hanya dikaruniai 1 orang anak.
Albert tersenyum saat melihat sepasang suami istri yang selalu harmonis sampai sekarang.
"Albert, kau sudah pulang. Kemari nak, ibu akan memanggil pelayan untuk menyiapkan teh untukmu juga."
Lilian menepuk sofa sebelahnya meminta Albert duduk.
"Bagaimana harimu Al?" tanya Hans.
"Apa kamu sudah menemukan calon menantu untuk ibu? Kau sudah harus menikah, jangan seperti kami terlalu lama menikah . Ibu sudah mencari gadis-gadis untukmu, dari keluarga terbaik."
Albert hanya terdiam mendengar ibunya yang berusaha mencoba menjodohkannya berkali-kali.
"Mengapa kau diam? Jawab ibumu. Saat kamu menikah segera akan ayah alihkan semua bisnis keluarga padamu. Biarkan ayah ibumu pensiun. Kami ingin keliling dunia." Hans menimpali.
Lama Alberth terdiam.
"Aku sudah menemukannya."
Lilian yang ingin meminum teh langsung berhenti. Matanya berbinar seperti melihat salah satu koleksi berliannya.
"Benarkah? Siapa orangnya? Kenapa tidak kau bawa kemari? Biar ibu melihatnya." seru Lilian dengan semangat.
" Sabar ibu, aku pasti akan menjadikannya menantu ibu. Aku perlu waktu untuk memastikan sesuatu." jawab Albert.
"Kami tidak mempersoalkan dari keluarga mana dia berasal, asalkan jangan merusak nama baik keluarga kita." Kata Hans sambil memegang tangan Lilian.
Kedua orang tua Albert terlihat bersemangat.
"Dia dari keluarga Valerin, Ayah."
"Valerin pemilik stasiun televisi dan surat kabar itu?", tanya Lilian penasaran.
"Bukankan dia hanya punya 1 anak perempuan. Jadi gadis itu yang telah memenangkan hatimu? Luar biasa. Kalau begitu akan Ayah atur waktu untuk melamarnya."
Ayah langsung mengambil telepon untuk memanggil sekretarisnya agar mengatur waktu bulan ini.
"Jangan dulu Ayah, aku belum mengenalnya lebih jauh. Aku baru bertemu dengan Abigail tadi siang. Dia adalah mahasiswi baruku." Albert mulai panik karena ayahnya sudah memutuskan bulan ini untuk melamar Abigail.
"Abigail...namanya Abigail...ibu harus mencari informasi tentang gadis itu.", seru Lilian.
"Sebaiknya kau cepat Al, bunga tidak akan berkembang selamanya. Akan ada orang yang memetiknya. Apalagi jika bunganya sangat indah." Hans memperingati Albert.
"Ya ayah. Besok aku akan memastikannya." jawab Albert.
"Kita akan makan dimana, Abi?"
"Aku mau makan steak, Will.", jawab Abigail sambil melihat keluar jendela.
" Benarkah? Siang hari seperti ini?"
Pria itu mengemudikan mobilnya membelah kota yang macet saat jam makan siang tiba.
Abigail menatap William sambil tersenyum memperlihatkan giginya, "Ya. Tenang saja, aku tidak akan minum wine."
"Baiklah tuan putri, segera laksanakan."
Will melirik sekilas untuk melihat wajah kesal Abi, begitupun Abigail melihat ke arah William sambil menatap dengan tajam setelah mendengar kata tuan putri.
Abigail memang tuan putri. Semua yang dia mau pasti diberikan oleh ayahnya.
Ibunya meninggal saat melahirkannya. Ada komplikasi dalam kandungan. Waktu itu pilihannya hanya 1, menyelamatkan ibunya atau Abigail. Lalu Harry memutuskan membiarkan istrinya meninggal. Walaupun berat tapi dia tahu itu adalah pilihan yang juga akan diambil istrinya. Istrinya pasti akan menyesalinya seumur hidup jika membiarkan anak mereka meninggal.
Sekarang Abigail tumbuh menjadi gadis mandiri. Berani mengemukakan pendapat. Ramah, percaya diri dan sopan. Persis seperti ibunya.
Sedangkan William Darson adalah anak dari pengusaha tambang. Muda, cerdas dan playboy. Mereka berdua adalah teman dari saat anak-anak. Karena kecerdasannya, walau diusia muda dia sudah menamatkan S1-nya di Amerika.
Ayahnya sangat galak dan selalu marah jika William muncul di berita sedang menggandeng wanita baru.
"Oh...ayolah Ayah. Aku adalah anakmu. Aku hanya mencoba mencoba mencari istri", kata William enteng.
"Istri?!? Kau hanya bermain-main. Jangan kira jika kau sudah lulus kuliah kau bisa menikah, kau masih kecil." jawab ayah William dengan suara besarnya.
Hanya saat William bersama Abigail, ayah William tidak melarang. Karena orang tua mereka juga sahabat sejak dulu.
Di sepanjang jalan Abigail melihat ke arah luar jendela. Pikirannya berkelana pada kejadian tadi. Saat dia melihat pria yang menjadi dosennya. Pak Albert.
Usia mereka sangat jauh. Tapi dia tidak bisa melupakan saat jarinya menyentuh jari Albert. Sambil menggenggam tangannya, Abigail masih bisa merasakan sentuhan itu. Hatinya bergetar.
Selama perkuliahan jantungnya berdegup kencang. Abigail mencoba mengalihkan perhatian dengan mencatat dan menyimak pelajaran.
"Bagaimana kuliah berikutnya? Aku bisa jantungan. Apa aku jatuh cinta ya? Tapi mana mungkin Albert Franklin yang seorang bangsawan mau dengan aku, bocah baru lulus SMA. Hufff...benar-benar semester awal yang berat."
Setelah makan William mengantarkan Abigail pulang dengan pengawal Abigail tetap mengikuti dari belakang.
Harry memang memberikan Abigail pengawal dari sejak bayi. Jadi hal biasa jika William tidak menjemputnya maka Abigail akan pulang bersama pengawalnya.
"Terima kasih untuk hari ini Will. Aku suka restoran pilihanmu.", kata Abigail.
"Tentu saja enak. Aku pernah makan di sana bersama kekasihku. Makanya aku membawamu untuk mencobanya juga.", jawab William.
"Yang keberapa, Will? Hati- hati, kau bisa masuk rumah sakit jika semua mantanmu berkumpul untuk memukulmu.", canda Abigail sambil keluar dari mobil.
William memakai kacamata hitamnya dan menjawab, "Tenang saja, aku tau bagaimana memperlakukan wanita."