Suasana kantor siang itu agak santai. Rhea dan Elina sibuk ngemil di meja pantry, Noah nimbrung sok serius tapi ujung-ujungnya ikut ketawa. Jesslyn datang bawa map laporan, sementara Sabian lagi diskusi soal data HR. Tepat saat itu Christian muncul, ekspresinya sudah penuh tanda-tanda “mau nyindir” ekspresi wajah yang tidak bisa ditutup-tutupi.
“Jess, data absensi bulan lalu masih ada yang janggal. Bisa lo periksa ulang?” ucap Sabian datar, sambil menunjuk beberapa berkas pada Jesslyn.
Jesslyn menghela napas, agak judes ini jam istirahat kenapa juga dia harus ngurusin urusan kantor lagi. “Yaudah, kasih ke gue. Nanti gue cek lagi.”
Rhea dan Elina saling senggol, Noah pura-pura sibuk tapi kupingnya pasang radar. Situasi yang tegang yang membuat mereka semakin penasaran. Secara semua orang tahu kedekatan Sabian dan juga Jesslyn, belum lagi Christian yang ikut-ikutan juga menambah bumbu plus dalam hubungan mereka.
Christian menyeringai tipis. “Wah, ternyata lo sekarang nggak cuma kerjaan sendiri yang diurus, sampai HRD pun direpotin juga, ya?” ucapnya dengan nada mencibir.
Sabian melirik tajam, tenang. “Ini memang urusan HRD, Tian. Kebetulan Jesslyn yang tangani.”
Christian menyilangkan tangan, menatap Jesslyn sekilas. “Heran aja, kenapa harus repot-repot minta Jesslyn.” Dari nafasnya saja sudah jelas Christian tidak suka. “Jangan-jangan… lo cuma cari alasan buat ngobrol sama dia?” ujarnya.
Jesslyn langsung mendelik ke Christian, sementara Rhea hampir keselek minumannya. Elina menahan tawa, Noah bersiul pelan seolah nonton drama live. Bahkan mereka semua tidak ada niatan untuk membantu Jesslyn berbicara sepatah katapun. Dan sialnya mereka seolah menikmati pertunjukan ini dengan cemilan di depan mereka.
“Tian! Ini kantor, bukan tempat lo bikin gosip murahan.” dengus Jesslyn kesal.
Christian menatap Jesslyn sejenak, lalu tersenyum tipis. “Gue cuma nggak mau ada yang manfaatin lo, Jess. Apalagi dengan embel-embel kerjaan.”
Jesslyn tahu tapi masalahnya ini bukan waktu yang tepat untuk mereka debat. Mungkin saja laporan itu memang penting untuk Sabian, mengingat kantor ini milik Sabian dan Christian beda kantor kenapa juga dia harus marah jika Sabian ingin hal itu? Harusnya dia tahu diri tapi sepertinya Sabian tidak mau menyadari hal itu. Dia terlalu percaya diri dengan apa yang dia lakukan meskipun salah.
Sabian menahan senyum sinis. “Kalau gue butuh Jesslyn, ya karena dia memang capable. Bukan alasan lain.”
Rhea berbisik ke Elina: “Capable apa… capable nyuri hati? Wkwk.” Elina langsung nutup mulut biar nggak ketawa keras.
Suasana makin panas. Jesslyn jadi pusat perhatian, wajahnya sudah merah campur malu dan kesal. Christian jelas cemburu, Sabian tetap cool, sementara geng gosip puas karena dapat bahan cerita baru buat seminggu.
***
Setelah kejadian di depan Sabian, Rhea, Elina, dan Noah, Jesslyn nggak bisa nahan diri lagi. Begitu ada kesempatan, dia langsung narik Christian ke ruang meeting kecil yang kosong. Ekspresinya udah jelas—siap meledak. Apa Christian lupa Jesslyn di kantor ini sebagai apa? Apa dia lupa tugas HRD itu apa sampai dia bilang begitu? Jesslyn tahu jika pria itu tidak suka atau mungkin cemburu tapi bisa tidak jangan terlalu kelihatan? Minimal diam aja gak sih, kayak Jesslyn yang diam dan pergi ketika melihat Christian bersama dengan Hanna?
Jesslyn menutup pintu keras-keras, lalu menatap Christian tajam. “Apa maksud lo bikin malu gue di depan semua orang tadi, hah? Lo lupa tugas HRD itu apa?”
Christian angkat alis, santai. “Bikin malu? Gue cuma bilang apa yang gue pikirkan. Lagian, kenapa harus marah kalau nggak ada apa-apa sama Sabian?”
“Lo itu selalu seenaknya! Kantor ini penuh orang. Sekali Lo ngomong kayak tadi, gosipnya bisa kemana-mana!”
Dan Jesslyn tidak mau hal itu terjadi. Mungkin masih satu kantor, bagaimana jika kabar itu terdengar oleh keluarga Hanna dan juga Christian. Siapa yang salah? Jesslyn kan!!
Christian mendekat, menatap tajam. “Dan emangnya gue salah kalau gue nggak suka lo terlalu dekat sama dia?”
Tidak ada yang salah. Jesslyn hanya ingin Christian mengontrol diri itu saja tidak lebih. Minimal menahan diri untuk tidak marah. Walaupun masih marah, yuk, bisa yuk balik ke kantor dia ketimbang disini bikin emosi Jesslyn terus.
“Lo itu siapa, Tian, sampai ngatur-ngatur gue?” kata Jesslyn melotot.
“Gue orang yang nggak pernah berhenti peduli sama lo, Jess. Itu cukup jadi alasan?”
Jesslyn tercekat. Dia ingin balas nyolot, tapi tatapan Christian terlalu serius, terlalu dalam. Sekilas hatinya bergetar—walau lidahnya tetap pedas.
Jesslyn memalingkan wajahnya, dadanya sesak. “Peduli? Cara lo peduli itu nyebelin. Kalau terus-terusan kayak gini, orang bakal salah paham, Chris.”
Christian menunduk sedikit, bisikannya dekat telinga Jesslyn. “Biarin orang salah paham… asal lo tahu yang sebenarnya.”
Jesslyn buru-buru menjauh, wajahnya panas. Untuk pertama kalinya dia nggak punya jawaban cepat. Sementara Christian hanya tersenyum kecil, puas sudah berhasil bikin pertahanan Jesslyn retak sedikit.
***
Begitu pintu ruang meeting terbuka, Jesslyn melangkah keluar lebih dulu dengan wajah sedikit merah. Christian menyusul santai di belakangnya, bahkan sempat melirik sekilas ke arah teman-teman Jesslyn yang sudah nongkrong strategis di pantry. Dia bersiul santai, seolah hal itu tak membuatnya mundur.
Rhea langsung menutup mulutnya pakai tangan, Elina melotot nggak percaya, dan Noah nyengir kayak baru nonton episode drama gratis.
Rhea berbisik kencang. “Gue nggak salah lihat kan? Mereka barusan keluar… bareng… dan mukanya Jess merah banget?”
Elina mendekat ke Rhea, setengah menjerit. “Merahnya tuh bukan merah biasa, Mbak Rhee. Itu merah abis adu argumen—atau jangan-jangan…” Elina menggantungkan ucapannya dan tersenyum nakal di hadapan mereka. Rasanya tidak mungkin jika hanya berdebat biasa, apalagi Christian bukan tipe orang yang suka debat. Jelas ada hal lain yang membuat kedua pipi Jesslyn hingga memerah padam. Entah sebuah ciuman atau mungkin sebuah sentuhan yang membuat wanita itu meledak.
Noah menyilangkan tangan, senyum lebar. “Kalau gue sih vote ‘abis dicium’. Muka Christian itu muka puas, bro. Terlalu obvious.”
Dan Elina setuju dengan apa yang dikatakan oleh Noah. Benar ya kata orang jodoh itu mirip dari wajah beserta otaknya. Begitu juga dengan Elina dan juga Noah yang nempel terus kayak perangko.
“Eh jangan asal gosip! Tapi… kalau beneran, ya ampun, gawat sih ini.” sahut Rhea sambil memukul lengan Noah. “Kalau tante Yoora denger bisa habis hidup Jesslyn.”
Mata Elina berbinar, penuh semangat gosip. “Gawat kenapa? Justru seru banget! Lo bayangin, HRD judes kita sama bos besar yang nggak ada obat itu—ciuman di kantor, men! Ini bahan gosip sebulan penuh!” wanita itu menutup mulutnya setelah memikirkan banyak hal. “Iya juga ya kalau ini Tian tahu apa gak habis itu hidup Jesslyn.”
Noah mengangguk-angguk, gaya sok bijak. “Tapi kasihan Bang Sabian sih. Dia udah jelas-jelas sering deket sama Jess, eh ditikung adiknya sendiri.” bahkan pria itu tidak memikirkan nasib Jesslyn sama sekali.
Rhea dan Elina langsung terdiam sepersekian detik, lalu saling pandang penuh arti. Elina malah senyum makin lebar.
Rhea berbisik pelan, dramatis. “Aduh, segitiga udah klasik. Ini kayaknya bakal jadi… persegi.”
Sementara geng gosip heboh, Jesslyn yang sudah duduk di mejanya cuma bisa menutup wajah pakai tangan. Dia tahu banget kalau detik ini juga gosip tentang dirinya dan Christian sudah menyebar ke setengah lantai kantor.
Christian? Dia malah tenang-tenang aja di ruangan Jesslyn, pura-pura sibuk dengan kopi dan juga Ipad-nya . Tapi bibirnya tersungging senyum tipis—seolah tahu kalau gosip itu justru menguntungkan dirinya.
****