bc

Not Siblings

book_age16+
1.3K
IKUTI
4.8K
BACA
family
HE
fated
goodgirl
aloof
confident
brilliant
childhood crush
first love
gorgeous
like
intro-logo
Uraian

Cinta akan tumbuh jika selalu bersama, memang benar adanya. Seperti yang dirasakan Arkanza pada saudarinya sendiri--Eleena. Dia dan Eleena bukanlah saudara kandung. Dia diangkat menjadi anggota keluarga Prayudha.

Perasaan cintanya semakin lama semakin besar. Namun, dia hanya mampu memendamnya. Hingga suatu hari, Eleena jatuh cinta pada lelaki lain yang membuatnya merasa kecewa.

Di dalam hidupnya, tidak ada kata menyerah. Dia akan tetap memperjuangkan cintanya.  Meskipun, Eleena telah membencinya. Karena dia yakin, usaha tak akan mengkhianati hasil.

Gambar : by Canva

Font : by Canva

chap-preview
Pratinjau gratis
01. Masa Lalu
Seorang anak berusia delapan tahun tengah berkutat dengan buku-buku pelajarannya. Tepat saat mendengar suara pintu yang terbuka membuatnya langsung menoleh pada pintu utama. Dia menyunggingkan senyumnya menyambut kedatangan sang ayah. Namun, senyumnya memudar saat melihat kehadiran seorang anak laki-laki seusianya yang dirangkul oleh Hardi--- ayahnya. Eleena bangkit dari duduknya dengan tatapan sinis yang menyergap anak laki-laki tersebut. "Leen, Bunda mana?" tanya Hardi seraya mengedarkan pandangannya ke penjuru rumah. Eleena tak menjawab. Netra hitamnya masih menyergap anak laki-laki yang tak berani mengangkat wajahnya.   "Bun... Ayah udah pulang..." teriak Hardi. Seorang wanita muncul dari arah dapur dengan sebuah nampan di tangannya. Heni meletakkan nampan tersebut yang di atasnya terdapat kopi hitam kesukaan suaminya di atas meja. Dia menatap bingung ke arah anak laki-laki yang tiba di rumah bersama suaminya.   "Siapa, Yah?" Heni mendekati suaminya dan mengelus pipi anak laki-laki tersebut. Hardi menyunggingkan senyum manisnya. Dia merangkul tubuh kecil anak yang ditemukannya di jalan. Sewaktu dia pulang dari kantor, dia melihat seorang anak laki-laki yang tidur beralaskan kardus sambil memegangi perutnya. Karena tak tega, dia pun menghampirinya dan memberinya makanan. Setelah selesai, dia mulai mengajukan pertanyaan padanya. Namun, tak ada jawaban yang diberikannya dari semua pertanyaan yang dilontarkannya. Akhirnya, Hardi memutuskan untuk membawa anak tersebut ke rumah dan berencana untuk mengangkatnya sebagai anak. Mengingat, dia dan istrinya hanya dikaruniai satu orang anak, itu pun seorang putri. Padahal, dia sangat menginginkan seorang putra yang nantinya akan dijadikan sebagai penerus bisnisnya. Namun, setelah kelahiran Eleena, Heni tak kunjung hamil. Mungkin anak laki-laki inilah jawaban dari do'a-do'anya. "Nanti Ayah ceritakan, sekarang Bunda mandiin dia dulu ya?!" titahnya yang diangguki oleh istrinya. Heni mengajak anak laki-laki tersebut menuju kamar mandi. Tanpa menjawab, anak tersebut mengikuti langkahnya dari belakang. Kini, tatapan Hardi beralih pada putrinya. Dia berjongkok menghadap malaikat kecilnya.   "Eleena, kalo Ayah angkat dia sebagai saudaramu bagaimana? Supaya Eleen tidak kesepian lagi?" tanyanya yang tak digubris sama sekali oleh putrinya. Eleena menatap tajam sang Ayah. Di sama sekali tak menyangka jika anak laki-laki itu akan menjadi saudaranya. Selama ini kasih sayang kedua orangtuanya hanya tercurah kepadanya saja, dan sekarang dia harus membagi kasih sayang dengan anak laki-laki bisu itu. Dia mengatainya bisu, karena tak mendengar sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. "Eleena nggak mau, Yah!" tolaknya. Hardi mengelus sayang pucuk kepala putrinya. "Eleena nggak boleh kayak gitu, anak itu kasihan loh, hidup di jalanan. Kalo kita angkat dia jadi anggota keluarga Prayudha, dia nggak akan lagi kehujanan, kepanasan, kelaparan, dan diusir dari emperan toko yang jadi tempat dia tidur. Dia bisa jagain Eleena kalo di sekolah ada yang nakalin, Eleen." jelasnya yang berusaha memberi pengertian pada putrinya. Bagaimana pun, dia sudah menyukai anak laki-laki itu dan bertekad mengangkatnya sebagai anak. Beberapa menit kemudian..... "Ayah... Eleena... Liat deh, udah ganteng 'kan?!" teriak Heni membuat keduanya menoleh. Dada Eleena memburu saat melihat busana yang dipakainya. Itu adalah pakaiannya. Karena putrinya tomboy, membuat Heni tak kesulitan untuk memberinya pakaian. Dan dia terlupa akan kemarahan putrinya yang enggan jika barang-barang miliknya tersentuh oleh orang lain. Sedangkan saat ini, pakaian miliknya sudah melekat di tubuh anak laki-laki itu. "Bunda! Itu 'kan, baju Eleen!! Kenapa dipake sama dia?!" teriaknya membuat Heni mendesah pelan. "Nggak papa, nanti Eleen beli yang baru." Hardi mengelus rambut putrinya agar tenang. Eleena mendecak sebal menatap Ayah dan Bundanya yang menggiring anak laki-laki tersebut menuju ruang keluarga. Kemudian, ikut menyusul mereka dengan langkah yang dihentakkan di lantai. Sesampainya di ruang makan, Eleena mendaratkan pantatnya dengan kasar di sofa yang berhadapan dengan Hardi dan anak tersebut. Dia memandang anak laki-laki tersebut dengan pandangan tak suka. Bagaimana tidak, dia berhasil menarik perhatian kedua orangtuanya dengan terus merapatkan mulutnya. "Bisu kayaknya, Yah!" celetuk Eleena yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari kedua orangtuanya. Eleena menghela napas. Entahlah, sudah banyak pertanyaan yang terlontar dari mulut Hardi namun tak ada satu pun pertanyaan yang dijawabnya. Eleena semakin yakin, jika anak tersebut memanglah bisu. Tak bisa berbicara. Hardi menatap lekat manik matanya. Dia bisa merasakan rasa takut yang dirasakannya. "Siapa namamu?" tanyanya seraya mengelus pucuk kepalanya. Anak laki-laki tersebut menggeleng pelan. Dia masih tak berani menatap ketiga orang yang tengah menatapnya penasaran.   "Bagaimana kalau Ayah memberimu nama Arkanza Aydan Prayudha?" pungkas Hardi membuat sudut bibirnya terangkat. Sepertinya, dia menyukai nama yang diberikan oleh Ayah angkatnya. Eleena menatap tajam Ayahnya. Dia tak setuju. Nama yang diberikan Hardi terlalu bagus untuknya. "Ayah! Nama itu terlalu bagus untuk dia yang bisu!" protes Eleena.   Senyum yang semula terukir, kini memudar. Semua itu akibat ulah Eleena. Heni bangkit dari duduknya menghampiri putri kecilnya yang semula duduk di sofa yang sama dengan suaminya. Dia mengangkat tubuh Eleena ke pangkuannya. Dia dapat merasakan jika putrinya menolak kehadiran Arkanza di keluarga mereka. Tetapi, dia juga sudah terlanjur menyukainya sama seperti Hardi. Mungkin setelah mengurus surat adopsi dan sebagainya, mereka akan sedikit demi sedikit mendekatkan putri mereka dengannya. "Bunda... Ayah nggak beneran angkat dia jadi anak 'kan, Bunda?" tanyanya lirih. Matanya berkaca-kaca. Dia tak mau kasih sayang kedua orangtuanya akan terbagi. Atau bahkan melupakan keberadaannya karena kehadiran Arkanza. Hardi bangkit dari duduknya mendekati anak dan istrinya. Dia memeluk mereka. Tak lupa, dia merentangkan satu tangannya ke arah Arkanza yang menatapnya. Hardi melambai-lambaikan tangannya---memberi isyarat bahwa Arkanza harus menghampirinya. Dengan ragu, Arkanza melangkah dan jatuh ke dalam pelukannya. Untuk pertama kalinya, dia merasa kehangatan sebuah keluarga.   "Eleena, mulai sekarang Arkanza akan menjadi saudaramu. Dia akan menjagamu seperti seorang kakak laki-laki pada adik perempuannya." jelas Hardi yang tak disahuti sama sekali oleh putrinya. Eleena sudah terisak di dalam pelukan sang ibunda. Hardi menunjukkan senyum manisnya menatap Arkanza yang tampak begitu bahagia. "Arkanza, mulai sekarang kamu memanggilku Ayah dan memanggilnya Bunda." ucapnya menunjuk dirinya lalu beralih menunjuk Heni yang tersenyum ke arahnya. "Apa kalian yakin, akan mengangkatku sebagai anak?"   Mereka semua tercengang. Arkanza membuka mulutnya yang sedari tadi tertutup rapat. Eleena yang semula menyembunyikan wajahnya di d**a sang ibunda pun mulai menunjukkan wajahnya. Dia juga mendengar suaranya.   Arkanza menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dia ragu, jika mereka akan benar-benar mengangkatnya sebagai anak mereka.   Hardi dan Heni tak bisa menyembunyikan rasa bahagia mereka. Sebelumnya, mereka juga berpikir jika Arkanza memang benar-benar bisu. Tetapi, sekarang tidak lagi sejak Arkanza melontarkan pertanyaannya.   "Kami sangat yakin. Jika kamu setuju!" seru Hardi mengelus punggungnya. Arkanza mendongakkan kepalanya menatap wajah Hardi yang berseri-seri. Dia tak mengerti apa yang membuatnya begitu bahagia saat mengangkatnya sebagai anak. Sama halnya dengan wanita yang kini telah menjadi ibundanya. Sedangkan anak perempuan seusianya tampak tak menyukainya. Dia dapat melihat jelas dari sorot matanya. "Aku mau."   **** Tanpa terasa sudah satu minggu Arkanza berada di dalam keluarga Prayudha. Dia merasa ketulusan dari orangtua angkatnya. Meskipun saudari angkatnya selalu menghindar darinya. Dia merasa wajar akan hal itu. Bagaimana pun, dia adalah orang yang muncul di tengah-tengah keluarga ini.   Arkanza berjalan mendekati saudarinya yang duduk di bangku taman belakang rumahnya dengan membawa segelas s**u di atas nampan. Sebenarnya, dia merasa ragu untuk memulai interaksi dengannya, tetapi sang ibunda memaksanya.   "E-Eleena, ini s**u dari Bunda." ucapnya gugup. Baru pertama kali, dia berbicara dengan Eleena. Anak perempuan berambut cokelat itu menoleh ke arahnya. Dia menghela napas, lalu mengambil s**u vanila kesukaannya. Arkanza tak berani mengangkat wajahnya, dia tak kuasa menghadapi tatapan mematikan dari Eleena yang tertuju padanya.   "Di bawah nggak ada duit." tegur Eleena meletakkan gelas di atas nampan. Kemudian, berlalu meninggalkan Arkanza. Eleena selalu merasa suasana hatinya tak baik sejak kehadirannya. Sungguh, dia belum bisa membuka hati untuk menerimanya. Berbeda dengan Arkanza yang kegirangan karena untuk pertama kalinya Eleena berbicara padanya. Dia berlari menuju dapur menghampiri sang ibunda untuk menyampaikan kabar baik ini. "Bunda..." teriaknya saat memasuki dapur.   Heni yang sedang mencuci piring pun segera menoleh ke sumbernya suara. Dia penasaran dengan putranya yang tampak begitu senang. Arkanza meletakkan nampan di atas meja, lalu memeluk tubuh Heni dari belakang. Heni tak bisa menyembunyikan gurat senyumnya. Setelah mencuci tangan, dia membalikkan tubuh---refleks Arkanza melepas pelukannya. Heni mensejajarkan tubuh dengan putranya dan memegang bahunya. "Ada apa sih? Kok kayaknya Arkan bahagia banget?" tanyanya antusias. Senyum Arkanza semakin melebar. Dia kembali mengingat perkataan yang terlontar dari mulut saudarinya. "Bunda! Tadi Eleena bicara ke aku!" lapornya dengan senyum lebar hingga menular kepada Heni. "Oh ya? Bagus dong!" seru Heni yang ikut merasa bahagia juga. Kemungkinan, jika Eleena sudah membuka mulut kepada orang yang dianggapnya asing, maka tak lama lagi dia akan akrab dengan orang tersebut. Itu juga berlaku bagi Arkanza. Dia harap, Eleena memang benar-benar akan menerimanya.   "Memangnya, Eleena bicara apa?" lanjutnya bertanya. Jujur saja, dia penasaran dengan kalimat pertama yang diucapkan Eleena pada putra angkatnya. Seketika, Arkanza terdiam. Membuat Heni mengerutkan keningnya. Wajah yang semula begitu sumringah, kini tampak murung. "Tadi, waktu aku kasih s**u ke Eleena aku nggak berani tatap muka dia, Bun. Jadi aku nunduk, dan dia bilang, dibawah nggak ada duit." jelasnya membuat tawa Heni menggema. Sore ini, Arkanza membuntuti saudarinya tanpa berkata apa-apa. Dia hanya mengikuti langkahnya menuju lapangan bola yang letaknya tak begitu jauh dari rumah mereka. Sekejap, dia merasa bingung dengan saudarinya yang tak pernah bermain bersama teman-temannya. Eleena selalu menghabiskan waktu bermain atau membaca buku-bukunya di kamarnya. "Leen, hati-hati." ujarnya memperingati saudarinya yang berlari mendekati lapangan bola. Terlihat ada banyak anak seusianya yang tengah bermain bola atau menonton. Arkanza berdiri tepat disebelah saudarinya yang memandang orang-orang dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia rasa Eleena memiliki suatu dendam pada mereka semua.   "Kamu tau, kenapa mereka tatap aku kayak gitu?" tanya Eleena yang masih membalas tatapan tak ramah dari mereka semua. Arkanza menggeleng, dia masih menatap wajahnya dari samping. Eleena menampilkan senyum sinisnya, "Mereka itu iri dengan kecerdasan otakku." ujarnya merasa bangga dengan dirinya sendiri. Arkanza dapat melihat sisi lain dari saudarinya yang ternyata memiliki sifat sombong.   Arkanza mengakui jika saudarinya itu memanglah anak yang cerdas. Terbukti dari berbagai macam piala dan piagam yang dimilikinya. "Biarin aja, Lin! Masih ada aku disini kok!" sahutnya yang langsung mendapat tatapan tajam darinya. Arkanza pun segera menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Kini, dia tengah merutuki perkataannya barusan. Dia rasa tak ada yang salah.   "Za, beliin aku minum! Aku haus!" suruhnya yang langsung diangguki oleh Arkanza. Eleena memicingkan matanya memandang punggung Arkanza yang semakin menjauh.   Tak lama, segerombol anak seusianya mendekati Eleena yang tampak tak gentar sama sekali. Mereka pikir, Eleena akan takut?. Tidak sama sekali. Eleena sangat menyukai mencari keributan dengan orang yang tidak menyukainya.   "Ngapain kamu disini! Kamu itu mending di rumah, belajar!!" pekik salah satu anak perempuan dengan sinisnya. Eleena menampilkan senyum smirk-nya. "Kamu suruh aku belajar, supaya bisa nyontek jawabanku 'kan?" sahut Eleena sembari melipat tangannya di depan d**a. Anak perempuan itu terdiam, ia skakmat. Karena memang benar adanya, selama sekolah Eleena selalu dimanfaatkan oleh teman-temannya yang memaksa melihat jawaban tugas-tugas sekolahnya. Hingga akhirnya, Eleena geram dan tak lagi memberikan contekan pada teman-temannya. Sejak saat itu, dia dijauhi dan dibenci oleh teman sekelasnya. Eleena tak mempermasalahkan hal tersebut, karena tanpa mereka dia masih bisa menjalani hari-harinya di sekolah. "Makanya belajar! Biar nggak bodoh!" celetuk Eleena mengundang amarah mereka. Satu dari mereka mendorong tubuh Eleena hingga membuat sedikit terdorong ke belakang. Eleena semakin geram, dia pun membalas dengan menjambak rambut anak perempuan yang mendorongnya tadi. Perseteruan tak bisa dihindari. Anak laki-laki yang semula sedang bermain bola pun berhenti dan menghampiri Eleena yang dikeroyok.   "Heh, udah-udah!!" teriak salah satu anak laki-laki mencoba melerai mereka. Tetapi, itu tak berguna. Mereka masih bertengkar dengan mengeluarkan kata-k********r. "Cemen kalian! Beraninya, keroyokan!!" teriak Eleena mundur beberapa langkah. Napasnya terengah-engah, begitu juga dengan tiga orang temannya. Bukan teman, melainkan musuhnya. "Kalo berani, satu lawan satu!" tantang Eleena melipat lengan bajunya hingga siku.   "Oke, kalo nggak ada yang berani!" ucapnya saat ketiga temannya tak menjawab tantangannya. Dia beranjak meninggalkan mereka. Namun, baru beberapa langkah, seseorang mendorong tubuhnya dari belakang hingga membuatnya tersungkur. "Sialan!" umpat Eleena saat lututnya terluka karena batu yang menggores lutut mulusnya.   "Kasian deh!! Makanya, jangan cari gara-gara sama kita!" serunya pergi meninggalkan Eleena yang masih memandangi lututnya. Eleena merasa orang-orang dibelakangnya sudah pergi. Dia tersenyum getir, keberadaan teman laki-lakinya pun tak membantunya sama sekali. Dia sadar, jika teman laki-lakinya takut terhadap tiga orang teman perempuannya itu.   "Eleena!!" teriak seorang anak laki-laki yang terkejut melihat saudarinya yang duduk terdiam di atas tanah. Dia melihat lutut Eleena bterluka. "Leen, kamu kenapa?" tanyanya khawatir. Eleena mengulurkan tangannya pada saudaranya agar membantunya untuk berdiri. "Pelan-pelan, Leen." titah Arkanza memapahnya berjalan. Eleena meringis kesakitan, dia tak kuat untuk berjalan lagi. "Za, sakit!" keluhnya dengan menggigit bibir bawahnya. Arkanza melepas papahannya dan membantunya duduk perlahan. Dia membuka sebotol air yang dibelinya tadi, lalu memberikannya pada Eleena.   "Makasih." ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Arkanza mengambil duduk di sebelahnya. Kemudian, mengeluarkan botol air mineral lagi dari dalam kresek. Sesekali, dia menoleh ke arah saudarinya sembari meneguk airnya. Dia baru sadar, jika Eleena terlihat sangat menggemaskan saat menahan tangisnya. "Lutut kamu kenapa bisa lecet kayak gitu, Leen?" tanya Arkanza menunjukkan lututnya yang berdarah.  "Kamu jatuh?" terkanya yang mendapat gelengan darinya. "Terus?" tanyanya yang masih penasaran.   Eleena tersenyum kecut. "Aku di dorong dari belakang." tuturnya membuat amarah seseorang mendidih. Eleena dapat merasakan aura tak enak yang terpancar dari saudaranya. Tetapi, dia tak terlalu mempedulikannya. "Udahlah, aku mau pulang!" pungkas Eleena yang merasa sedikit takut melihat lapangan bola yang sepi. Hanya ada mereka berdua saja.   Arkanza berjongkok di depan saudarinya. Eleena yang tak mengerti pun mengerutkan keningnya. "Aku gendong kamu, Leen. Supaya kamu nggak kesakitan lagi.!" ucap Arkanza yang tak ingin mendengar ringisan saudarinya yang menahan sakit. Dengan ragu, Eleena melingkarkan tangannya di leher saudaranya. Perlahan, Arkanza berdiri. Eleena menggigit bibir bawahnya, dia harap Arkanza kuat menggendongnya sampai ke rumah.  "Kamu enteng banget sih, Leen?!" ejeknya yang langsung mendapat pukulan pelan dibahunya. "Beneran, Leen, kamu enteng banget!" lanjutnya lagi, kali ini tak ada reaksi apapun dari saudarinya.   "Za, mulai sekarang, kamu jadi kakakku meskipun kita seumuran. Aku nggak mau, keliatan tua kalo aku yang jadi kakak kamu!" tuturnya membuat seorang anak laki-laki mengembangkan senyum sempurnanya.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.8K
bc

TERNODA

read
198.7K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.4K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.8K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
58.9K
bc

My Secret Little Wife

read
132.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook