02. Sekolah Baru

2048 Kata
Sembilan tahun kemudian.... Seorang gadis keluar dari sebuah mobil, tak lama disusul oleh saudaranya. Arkanza merangkul saudarinya yang tengah menatap sekolah baru mereka. Sebenarnya, mereka sudah betah di sekolah lama. Tetapi, karena pekerjaan sang Ayah membuat mereka pindah ke ibukota. "Ayo, jalan!" titah Arkanza yang diangguki oleh saudarinya.   Arkanza terkekeh saat banyak kaum hawa yang terpana akan ketampanannya. Berbeda dengan Eleena yang merasa risih dengan tatapan-tatapan yang tertuju padanya. Ia yakin, pasti mereka semua mengira jika dirinya dan Arkanza adalah sepasang kekasih. "Gue tau kok, gue ganteng." gumam Arkanza menyugar rambutnya. Tidak dipungkiri jika Arkanza memang memiliki ketampanan di atas rata-rata. Maka tidak aneh, bila ada banyak kaum hawa yang jatuh hati padanya. Eleena melepas rangkulannya. Tampak, Arkanza memanyunkan bibirnya yang semakin membuatnya terlihat menggemaskan. Eleena menghela napas, "Gue nggak mau dikira pacar lo, Za!" tutur Eleena memalingkan wajahnya ke arah lain.   Setelah berjalan menyusuri koridor, akhirnya mereka sampai di kelas XI MIPA 3---kelas Eleena. Sedangkan Arkanza berada di kelas X IPS 4. Karena Arkanza telat masuk sekolah, mengakibatkan dirinya menjadi adik kelas saudarinya. Tetapi, tak mengapa, selagi masih satu sekolah dia masih bisa menjaganya dari para buaya darat.   "Leen, gue ke kelas. Nanti istirahat, gue ke kelas lo!" ucap Arkanza sebelum meninggalkan kelas bersama salah satu guru yang ditugaskan mengantar mereka. Eleena mengangguk, lalu berjalan ke dalam kelas setelah guru yang mengajar di kelasnya mempersilahkan masuk. Eleena tersenyum canggung saat guru tersebut memintanya untuk memperkenalkan diri. "Pagi semua..." sapanya.   "Pagi..." sahut semua siswa serempak. Eleena menarik napas panjang. Dia merasa sedikit gugup. "Perkenalkan nama saya Eleena Afrin Prayudha, kalian bisa panggil saya Eleena. Senang bertemu kalian, semoga kita bisa menjadi teman baik." tuturnya. Eleena masih diam di tempat, dia merasakan tatapan mengintimidasi dari salah satu teman perempuan di kelasnya. "Ada yang ingin ditanyakan kepada Eleena?" ujar sang guru menatap siswa-siswinya bergantian. Sekejap, suasana menjadi riuh saat siswa-siswa berteriak menanyakan nomor telepon, status, alamat rumah, dan masih banyak lagi. Eleena hanya mampu menggigit bibir bawahnya karena bingung harus menjawab pertanyaan yang mana dulu.   "Sudah-sudah, kalian tidak perlu ribut seperti ini! Eleena, silakan duduk di bangku yang kosong di belakang." ucapnya menunjuk bangku kosong. "Bapak akan keluar sebentar, tolong kalian jangan ribut!" lanjutnya kemudian meninggalkan kelas dengn tergesa-gesa. Eleena berjalan menuju bangkunya. Tiba-tiba saja, perasaannya menjadi tak enak. Tanpa ia sadari seorang gadis dengan sengaja meluruskan kakinya hingga Eleena tersandung dan tersungkur di lantai. Semua teman sekelasnya menertawakan dirinya. Eleena menggeram merasakan lututnya yang nyeri. Dia yakin, jika gadis itu sengaja ingin mempermalukannya. Eleena menghela napas, lalu berdiri menghadap orang yang telah sengaja mencari masalah dengannya.   "Gue tau, lo sengaja!" teriak Eleena menghentikan tawa semuanya. Mereka tak menyangka jika murid baru itu akan melawan, biasanya murid baru akan diam menerima segala perlakuan dari pribumi kelas yang ditempatinya. Namun, kali ini berbeda. Eleena tahu jelas siapa orang yang sengaja mencelakakannya, dia adalah Tasya gadis yang sembilan tahun lalu mendorong tubuhnya dari belakang hingga mengakibatkan lututnya terluka. Tasya bangkit dari duduknya. Mereka saling menatap. Seisi kelas memandang keduanya dengan tak percaya. Eleena mengepalkan tangannya, kali ini ia tak akan mengalah.   Eleena memajukan wajahnya, "Kita ketemu lagi, Tas. Lo yakin, bisa menyaingi gue?" Eleena menyombongkan kecerdasan yang dimilikinya pada teman sekolah dasarnya dulu. Tasya satu sekolah dengan Eleena hanya sampai kelas tiga, setelah itu ia pindah ke Jakarta. Sama seperti Eleena sekarang. Tasya tersenyum sinis. Kali ini ia tak akan kalah bersaing dengannya. "Kita lihat nanti, siapa yang akan jadi peringkat satu di kelas ini." Tasya memandang remeh ke arah Eleena. Dia merasa yakin, jika dirinya akan kembali mendapatkan peringkat satu di kelas ini sama seperti semester sebelumnya. Tepat saat dia berada di kelas X.   Eleena mengangkat sebelah alisnya, kemudian berlalu meninggalkan Tasya yang menggeram. Eleena membalas tatapan yang mengarah padanya dengan tatapan tajam. Lalu, orang-orang yang menatapnya pun mengalihkan pandangan ke arah lain. Eleena mendudukkan pantatnya di kursi, tak lupa memasang headset di telinganya. Sepertinya, perjalanan masa sekolah akan sangat seru setelah bertemu Tasya--musuh bebuyutannya. Setelah kejadian tadi, tak ada seorang pun yang mengajak Eleena berkenalan. Eleena tak merasa keberatan dengan hal itu. Malahan, ia merasa senang karena tak perlu mengenalkan dirinya kepada mereka. Di sisi lain, Eleena merasa yakin jika kelas ini telah berada digenggaman Tasya. Dimana pun orang pintar berada, maka orang-orang akan menghargainya untuk dimanfaatkan. Itu yang pernah dirasakan Eleena. Sebenarnya, Eleena tak keberatan jika teman-temannya meminta dirinya untuk menjelaskan cara mengisi soal yang diberikan oleh guru, tetapi di zaman sekarang orang lebih menyukai hal instan. Yaitu dengan menyalin langsung jawabannya tanpa berpikir dirinya paham atau tidak. Itulah yang tak diinginkan Eleena, dia tak mau nantinya teman-temannya akan bergantung pada dirinya. Jika sudah bergantung, maka bagaimana cara mereka menggapai cita-cita?. Tak lama bel istirahat berbunyi. Satu persatu siswa di kelasnya mulai berhamburan keluar kelas. Ada yang menuju kantin, perpustakaan, mengunjungi kelas sebelah, dan masih banyak lagi. Eleena masih duduk di tempatnya. Tanpa merasa tertarik untuk keluar kelas. Mungkin dia akan menunggu Arkanza mengunjunginya. Tanpa disadari, seorang gadis berponi menghampirinya. Merasa kehadiran seseorang, Eleena pun mendongak. Dia mendapati seorang gadis yang tersenyum manis padanya. "Hai, boleh kenalan?" Gadis tersebut menyodorkan tangannya. Tanpa berpikir lama, Eleena menjabat tangannya.  "Boleh, nama gue Eleena." Eleena melepas jabatan tangannya. Gadis tersebut beralih duduk di bangku milik siswa lain yang berhadapan dengan Eleena. "Gue Meisya."   Meisya memandang takjub gadis dihadapannya yang tengah membereskan buku-bukunya. "Eleena, lo kenal sama Tasya?" Meisya menggigit kukunya saat ekspresi wajah Eleena berubah kesal. Eleena mengangkat kedua bahunya. "Ya begitulah!" Eleena tampak mengamati tas-tas milik teman sekelasnya.   Suasana kelas sangat sepi, hanya ada dirinya dan Meisya. Setelah beberapa lama mengamati, dia menyimpulkan bahwa di kelas ini paling banyak adalah siswi. Pantas saja tak ada yang berani mendekatinya setelah kejadian tadi. Dan kebetulan juga, ketika dia sampai di tempatnya bertepatan dengan kembalinya Pak guru.   Kali ini, Meisya berpindah di depan tempat duduk Eleena. "Lo tau nggak, Tasya itu paling disegani di kelas ini. Selain otaknya encer, dia juga anak wakasek." bisik Meisya pada kawan barunya.   Eleena mendengus pelan. Pantas saja tak ada yang mengajaknya kenalan karena tak mau berurusan dengan musuhnya itu. "Terus, lo kenapa nggak gabung sama Tasya?" Eleena menatapnya intens. Meisya cemberut. "Gimana lagi, gue orang nggak punya. Mana mau Tasya tenenan sama gue!" Tampak raut sedih di wajah Meisya.   Eleena memejamkan matanya. Lagi, masalah kasta. Ini bukanlah kasus pertama yang ditemuinya. Dia sering mendengar kasus seperti ini. Orang kasta bawah yang dikucilkan. "Tenang, gue mau kok jadi temen, lo." tutur Eleena membuatnya berbinar. Tok tok tok Suara ketukan pintu mengalihkan pandangan mereka. Tampak, seorang pemuda bersandar pada daun pintu tak lupa dengan senyumnya. "Ngantin yuk!" ajaknya berjalan mendekati Eleena.   "Ayo cepetan!" teriaknya menarik lengan saudarinya, Eleena.   "Nggak, gue nggak mau ke kantin, Za!" tolak Eleena.   Arkanza menaikkan sebelah alisnya. Tumben sekali, Eleena tak mau diajak ke kantin. Biasanya, dia paling semangat. Tak lama, dua orang siswa tiba dan langsung menepuk pundak Arkanza. Eleena menatap mereka dengan intens. Dia menebak jika dua orang siswa itu adalah kawan baru saudaranya. "Kenalin, mereka Arya dan Aditya. Temen gue di kelas." ucapnya menunjuk dua teman barunya. Eleena memanggut.   "Cewek lo, Ar?" tanya Arya menunjuk Eleena.   "Bukan." jawab Arkanza singkat. Arya dan Aditya mengangguk bersamaan. Setelah itu, mereka tersenyum licik. Masih ada kesempatan mendapati gadis cantik berambut panjang itu, Eleena. Arkanza merangkul saudarinya dan menariknya keluar kelas. Eleena hanya bisa pasrah, karena tubuh Arkanza yang lebih besar dan tinggi darinya membuatnya tak bisa melawan. "Lo mau bawa gue kemana sih, Za?" geram Eleena yang tak nyaman bila berdekatan dengan saudaranya saat berada di sekolah ataupun tempat umum. Dia tak mau jika orang-orang menganggap keduanya berpacaran. "Udah, ikut aja." balasnya. Eleena mencubit pinggang saudaranya, ia tak peduli dengan ringisannya. Arkanza melepas rangkulannya dan mengelus pinggangnya. Eleena mendapat kesempatan untuk melarikan diri, maka dia tak akan menyia-nyiakannya. Eleena terus berlari dengan menatap ke belakang beberapa kali. Eleena merasa sudah cukup jauh melarikan diri, dia memperlambat langkahnya dengan wajah yang menoleh ke belakang hingga tak menyadari jika di depannya ada segerombol siswa. Dugh! Dahi Eleena berdenyut. Dia memegangi dahinya, lalu mendongakkan wajahnya. Dan.... Dia menabrak seorang pemuda tampan yang tengah menatapnya. Manik mata mereka saling bertemu. Mereka bertatapan selama beberapa detik. Setelah Eleena tersadar, dia langsung meminta maaf. "Maaf, maaf, aku nggak sengaja." ucapnya yang tak berani menatapnya lagi. Eleena tak mendengar suaranya sama sekali, yang terdengar hanya derap kaki yang meninggalkannya. Syukurlah, dia selamat. Dia pikir, pemuda tampan tersebut akan memberinya hukuman karena kecerobohannya. Tetapi, kenyataannya tidak.   Di dalam hatinya, dia terus mengumpati Arkanza yang entah dimana keberadaannya saat ini. Namun, itu juga salahnya yang kabur darinya. Sekarang, dia jadi bingung sendiri. Dia tak ingat, letak kelasnya dimana. Ditambah dengan siswa-siswi yang ramai berlalu-lalang di koridor ini. "Apa gue nanya aja, ya?" lirihnya melirik pada gadis-gadis yang tengah bergerombol. "Nanya aja deh. Dari pada tersesatnya di jalan, eh bukan, tersesat di sini." gumamnya sembari berjalan mendekati mereka. Eleena mengambil napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. "Permisi, kelas sebelas MIPA 3 di sebelah mana ya?" tanyanya yang berhasil mengambil perhatian mereka semua.   "Oh, di sebelah sana. Lurus, terus belok kanan." jelas salah satu dari mereka.   Eleena mengangguk. Ia masih sibuk dengan pikirannya. Mengapa dirinya bisa lupa? Tetapi, sewaktu dia berlari, dia rasa belok ke kiri bukan ke kanan. Lalu, mengapa gadis tersebut mengatakan jika dia harus belok kanan untuk ke kelasnya?. Sudahlah, dia memang tidak ingat. Secara dia adalah murid baru. Mungkin, itu salah satu jalan pintas menuju kelasnya. "Oke, makasih ya." ucapnya tersenyum manis. "Sama-sama." jawabnya. Eleena berjalan pelan dengan membaca nama-nama kelas yang terpampang di atas pintu setiap kelas. Ia tersenyum canggung saat tak sengaja bertatapan dengan beberapa siswa atau siswi. Tampaknya, ia tersesat di area kelas 12. Karena sedari tadi ia berjalan hanya menemukan kelas 12 MIPA saja. Entah dimana keberadaannya kelasnya. "Lo ngapain disini?" Eleena segera memutar tubuhnya. Jantung seperti berhenti berdetak saat melihat sesosok pemuda yang sama. Pemuda yang ditabraknya tadi.   "Aku lagi cari kelas sebelas MIPA 3." jawabnya mengundang tawanya. Apa yang lucu? Memang benar kenyataannya bukan?.   "Lo murid baru?" terkanya yang diangguki oleh Eleena. "Ikut gue," lanjutnya berjalan menuju koridor yang sama dengan kejadian dimana dia menabrak tubuhnya. "Belok kiri," tuturnya berbelok kiri. Eleena mengepalkan tangannya, gadis itu telah mengerjainya. Tega sekali, bukan?. Sepertinya, dia harus membalas dendam padanya.   Arkanza yang sejak tadi menunggu di kelas saudarinya pun akhirnya bisa bernapas lega. "Eleena!" teriaknya berlari menghampirinya. Arkanza menangkup wajah saudarinya, lalu meneliti setiap inci tubuhnya.   "Gue nggak papa, Za. Tadi cuma kesasar di kelas dua belas." ucap Eleena yang merasa saudaranya terlalu berlebihan.   "Kok bisa kesasar sih, Leen?" Arkanza menatap lekat manik matanya.   Eleena menghela napas, "Lo 'kan tau tadi gue lari, kabur dari lo. Eh, malah gue nggak inget jalan balik ke kelas. Lo tau 'kan, gue itu pelupa." jelas Eleena. Arkanza mengacak rambutnya membuat saudarinya mengerucutkan bibir. "Siapa tuh?" ujar Arkanza menunjuk pemuda yang sedari tadi hanya menyaksikan keduanya. Eleena hampir terlupa dengan seseorang yang telah menolongnya. "Makasih, ya! Maaf masalah tadi." ucap Eleena yang hanya diangguki olehnya.   "Gue balik ke kelas." pamitnya mengundurkan diri. Eleena memandang punggungnya yang semakin menjauh.   Arkanza tersenyum licik, ia merangkul saudarinya tiba-tiba. "Makanya jangan suka tidur sore, jadi pikun 'kan lo?" ejeknya.   "Gue nggak pikun. Lo pikir aja sendiri. Semua kelas dan jendela catnya sama semua. Terus rame juga. Udah tadi gue 'kan lari-lari, mana bisa merhatiin jalan. Terus, asal lo tau Za, gue dikerjain sama cewek-cewek rumpi di sana. Gue nanya baik-baik, eh malah dia kasih alamat palsu." celotehnya. "Kayak judul lagu tuh." balas Arkanza.   "Ke sana kemari membawa alamat." lanjut Arkanza bernyanyi. "Jeng jeng." seru Eleena tertawa.   Eleena tersenyum pada saudaranya. Hanya Arkanza yang mampu membuatnya bahagia setelah orang tuanya. Sekarang, dia bersyukur karena Tuhan memberikan Arkanza pada keluarganya. Arkanza adalah sesosok anak yang mudah diatur, penurut, penyayang, dan tidak mudah marah. Hanya satu sikap yang tidak disukai Eleena, yaitu kejahilannya.   "Za, lo nggak takut apa, kalo nggak ada cewek yang deketin lo karena nyangkanya kita berdua pacaran?" tanya Eleena. Jujur saja, selama ini dia tidak pernah melihat Arkanza dekat dengan seorang gadis, kecuali dirinya.   "Nggak. Malah baguslah, kalo nggak ada cewek yang deketin gue." jawabnya dengan santai. Eleena menautkan kedua alisnya. Dia harap, Arkanza masih normal yang menyukai lawan jenis. "Jadi, gue 'kan bisa fokus belajar untuk raih cita-cita gue. Ya, menurut gue pacaran juga bisa buat kita jadi males belajar." lanjutnya membuat Eleena merasa bangga padanya. "Makin sayang deh, sama Arkanza." ucap Eleena bak anak kecil. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN