Bagian 1
***
“Aku mau kamu jelasin soal ini.”
Mahira mengerutkan kening setelah beberapa lembar foto dilemparkan Danan dengan sedikit kasar di atas meja. Entah foto apa yang ingin Danan dengar penjelasannya, Mahira tak tahu karena foto tersebut dilempar dalam kondisi terbalik.
Sebenarnya tidak hanya foto yang membuat Mahira bingung, tapi tujuan Danan memanggilnya pun masih belum dia mengerti. Tiba-tiba pulang dari luar kota usai pamit dinas selama beberapa hari, Danan mengetuk pintu kamarnya dengan sedikit kasar.
Tidak menjawab saat ditanya alasan pulang tanpa memberitahu, Danan langsung memintanya duduk di ruang tengah untuk membicarakan sesuatu. Mahira tak mengerti, tapi karena Danan adalah suaminya, dia manut pada setiap perintah yang pria itu berikan.
“Ini foto apa, Mas?” tanya Mahira sambil menyentuh foto di atas meja, sementara matanya tertuju pada Danan. “Kenapa kamu minta aku jelasin semuanya?”
“Lihat aja dulu fotonya, terus habis itu Mbak jelasin, tapi jangan bohong. Mas Danan butuh kejujuran Mbak Mahira soalnya.”
Bukan Danan, yang barusaja berbicara adalah Luna—istri kedua Danan yang dinikahi pria itu empat belas bulan yang lalu. Jika ditanya alasan Danan berpoligami, jawabannya adalah karena anak yang belum bisa diberikan oleh Mahira usai empat tahun menikah.
Butuh penerus untuk perusahaan yang dikelola, Danan menikahi Luna atas perintah orang tuanya. Namun, semakin lama pria itu mencintai Luna yang langsung memberikannya keturunan dalam waktu cepat.
“Ini aku bingung lho,” ucap Mahira dengan senyuman samar yang terukir. “Enggak ada masalah apa-apa, aku tiba-tiba disidang dan disuruh jelasin sebuah foto. Ada apa sih sebenarnya? Apa enggak bisa aku dikasih tahu dulu dan—”
Brak!
Tidak selesai Mahira bicara, Danan lebih dulu menggebrak meja dengan raut wajah yang terlihat marah. Tak hanya itu, Danan juga berkata,
“Jelasin foto itu sebelum aku kehabisan kesabaran, Mahira. Selama ini aku sudah sangat percaya sama kamu, tapi diam-diam kamu malah mengkhianati aku. Jadi selagi rasa sabarku masih ada, kamu jelaskan semuanya.”
Mahira kaget, tapi setelahnya dia membalik foto-foto yang dilemparkan Danan ke meja. Boom! Kedua mata Mahira membelalak setelah foto yang dia balik ternyata berisi dirinya dengan seorang pria di atas tempat tidur. Tidak hanya tidur bersebelahan, Mahira didekap pria tersebut, bahkan di foto lainnya, Mahira dicium pria itu yang kebetulan tak memakai baju.
“Mas, ini bukan aku,” ucap Mahira dengan kedua mata yang tiba-tiba saja berair. “Aku enggak pernah tidur sama siapa pun selain kamu dan—”
“Jadi kamu lebih memilih bohong dibanding jujur, Mahira?” tanya Danan, sebelum Mahira selesai bicara. “Kamu lebih mengutamakan keselamatan pria itu dibanding suami kamu sendiri? Iya?”
“Mas, aku enggak bohong,” ucap Mahira, dengan suara yang bergetar. “Aku bahkan enggak kenal sama pria itu dan—”
“Kamu tidur sama dia, Mahira!” bentak Danan, lagi-lagi memotong penjelasan Mahira. “Wanita sinting mana yang tidur sama laki-laki enggak dikenal, hah?”
“Aku enggak tidur sama dia, Mas Danan,” ucap Mahira terus berusaha membela diri, karena jawabannya pada Danan tidak bohong. Mahira sakit hati saat Danan berpoligami, tapi tak pernah sedikit pun dia punya niat untuk berselingkuh dari suaminya itu. “Aku enggak bohong sama sekali, jawabanku jujur. Kamu tolong percaya sama aku, karena aku enggak mungkin khianatin kamu.”
Danan tidak menjawab, sementara raut wajahnya terlihat memerah begitu pun deru napasnya yang nampak memburu. Dia murka usai melihat foto Mahira tidur dengan seorang laki-laki, karena meskipun berpoligami, Danan merasa selalu mengutamakan perempuan itu.
“Kamu tolong percaya sama aku, Mas, aku enggak pernah menghianati kamu sedikit pun,” ucap Mahira, kali ini sambil mendekati Danan yang masih berada di depannya. “Aku sakit hati saat kamu menikahi Luna dan lebih mementingkan dia, tap—”
“Jangan sentuh aku,” desis Danan, persis ketika Mahira hendak meraih tangannya. “Kalau kamu jujur, aku mungkin akan mempertimbangkan pernikahan kita yang hampir enam tahun ini, tapi kamu malah bohong, Mahira. Kamu mendustai aku. Padahal, selama ini aku menghargai kamu sebagai istri pertamaku. Aku membela kamu ketika Mama dan Papa memojokkan dan membahas kekurangan kamu, tapi kenapa justru pengkhianatan yang kamu kasih? Kalau memang kamu sudah tidak mau bersama aku, bilang, Mahira. Bukan malah main belakang dan bertingkah seperti perempuan murahan. Kamu enggak ada bedanya dengan perempuan malam di luaran sana kalau seperti ini. Kamu enggak tahu diri.”
“Mas ….”
“Apa? Kamu enggak terima sama apa yang aku omongin?” tanya Danan dengan rahang yang masih mengeras.
“Aku enggak pernah tidur sama siapa pun, Mas, aku enggak pernah selingkuhin kamu,” ucap Mahira, kali ini sambil terisak, karena ucapan Danan sebelumnya cukup membuat dia terluka. “Kalau kamu tahu aku, kamu seharusnya percaya sama ucapanku dan—”
“Gimana aku bisa percaya kalau bukti perselingkuhan kamu sejelas ini, Mahira?” tanya Danan, emosional. “Kamu tidur dengan pria lain ketika suami kamu pergi jauh untuk bekerja. Di mana harga diri kamu? Apa sudah putus urat malu kamu sampai berani lakuin ini?”
“Jujur aja kenapa sih, Mbak?” tanya Luna, yang kembali bicara usai sebelumnya menyimak. “Mas Danan bisa maafin Mbak lho kalau Mbak jujur. Lagian Mbak ini kurang bersyukur. Udah diterima dengan baik di sini, tapi malah khianatin Mas Danan, enggak tahu diri banget kesannya.”
“Kalau kamu enggak tahu apa-apa, enggak usah sok tahu, Luna,” desis Mahira dengan raut wajah emosi. “Kamu cuman istri kedua di sini dan—”
“Kamu enggak berhak bicara seperti itu ke Luna, Mahira,” ucap Danan—membuat atensi Mahira beralih padanya. “Meskipun dia istri kedua, tapi harga dirinya lebih mahal dari kamu. Dia bisa menjaga marwahnya sebagai istri, sementara kamu justru menjual diri.”
“Mas Danan ….”
“Angkat kaki kamu dari rumah ini,” ucap Danan—membuat Mahira spontan membulatkan mata. “Selain mandul, kamu juga enggak tahu diri. Jadi enggak ada lagi alasan untuk aku mempertahankan kamu. Perceraian kita akan segera kita urus.”
Mahira menegang, sementara hatinya tergores begitu dalam. Enam tahun mengarungi rumah tangga bersama Danan, dia tidak menyangka momen ini akan datang. Dia pikir Danan masih sama seperti dulu; mencintai dan mempercayainya dengan begitu hebat, tapi ternyata tidak. Danan sudah berubah, dan tak peduli seberapa keras dia menjelaskan, suaminya itu pasti tak akan percaya.
“Kenapa masih diam, Mbak?” tanya Luna. “Mas Danan ngusir Mbak Mahira. Silakan pergi.”
“Ini pasti ulah kamu, kan, Luna?” tanya Mahira dengan atensi yang tertuju pada Luna. Bukan tanpa alasan, dia melayangkan tuduhan karena sikap Luna selama ini tak sebaik ketika di depan Danan. “Kamu pasti jebak aku biar Mas Danan benci aku. Iya, kan?”
“Mbak jangan asal nuduh ya, Mbak. Aku enggak mungkin sejahat itu.”
“Kamu bohong,” ucap Mahira. “Selama ini kamu enggak suka sama aku dan selalu minta aku pergi dari Mas Danan dan—”
“Mahira cukup!” bentak Danan lagi yang berhasil membuat Mahira membisu. “Yang salah di sini itu kamu, jadi jangan menyalahkan orang lain. Sekarang kemasi barang-barang kamu dan pergi. Aku enggak sudi lihat kamu di sini. Aku muak.”
Mahira tidak menjawab, tapi perlahan dia beranjak. Memandang dulu Danan dengan perasaan yang sakit, Mahira akhirnya pasrah dan berbalik. Tak membawa banyak barang, dia hanya mengemas baju-bajunya ke dalam sebuah koper besar. Sambil menangis, Mahira keluar dari kamarnya.
Tak ada larangan sama sekali, Danan benar-benar membiarkannya pergi. Padahal, di luaran sana hujan mulai turun, membasahi jalanan malam yang mulai sepi. Mahira meninggalkan rumah dengan luka yang menganga. Mengabaikan tanya yang diberikan satpam, dia menjauh sambil menggerek kopernya.
“Aku enggak pernah selingkuh meskipun pernikahanku sama Mas Danan beberapa bulan terakhir enggak seromantis dulu,” ucap Mahira lirih. “Demi Tuhan, aku enggak menduakan Mas Danan.”
Mahira berjalan diiringi tangis. Meskipun di dompetnya terdapat sejumlah uang, dia sama sekali tak punya niat untuk memesan taksi atau kendaraan lain. Pikirannya kalut, sementara rasa sakit mulai menyelimuti seluruh tubuhnya. Tanpa tahu kemana harus pergi, Mahira menyusuri jalanan komplek, kemudian keluar ke jalanan yang lebih besar dan sepi.
Tak ada keramaian, Mahira menembus dingin dan sepinya jalanan malam dengan luka yang menyelimuti. Dia tidak tahu harus pulang kemana karena orang tua pun Mahira tak punya.
“Aku cuman punya Mas Danan, tapi sekarang aku kehilangan dia. Aku kehilangan orang yang awalnya selalu melindungi aku.”
Mahira bermonolog pilu dengan kedua kaki yang terus berjalan. Menyusuri jalanan sepi, dia mengerutkan kening setelah lampu sorot mulai menerangi jalannya. Dalam hati, Mahira berpikir Danan mungkin menyusulnya karena tak tega. Namun, ketika dia berbalik untuk mengecek, mobil tersebut justru melaju ke pinggir seperti akan menabraknya.
Mahira blank, sementara mobil tersebut semakin dekat kemudian BRAK! Dalam waktu yang sangat cepat, mobil yang Mahira pandangi, menabrak tubuhnya hingga terpental jauh di aspal jalanan.
Cairan merah segar keluar dari kepala Mahira, tapi kesadarannya belum sepenuhnya hilang. Dengan posisi tergeletak di atas jalanan, samar-samar Mahira melihat seorang perempuan mendekat ke arahnya kemudian berjongkok sambil mengukir senyuman.
“M—mama.”
Mahira memanggil gagap sosok perempuan tersebut yang tidak lain adalah Jenia, mertuanya.
“Semua berjalan sesuai rencana, Mahira,” ucap Jenia sambil tersenyum. “Enggak cuman pergi dari rumah Danan, tapi kamu juga pergi dari dunia ini. Luna pasti bahagia dengar kabar menggembirakan ini. Mati ya. Kehadiran kamu di dunia ini cuman menghambat kebahagiaan Luna.”