Ali menarik napas panjang begitu sampai di bandara Jogjakarta. Dia belum memberitahu dengan tepat kapan ia akan pulang. Hanya sempat memberitahu istrinya ia akan mengambil cuti.
Ia duduk di kursi bandara sejenak. Menyadari bahwa sudah beberapa bulan ini komunikasinya tak cukup baik dengan Ayu. Ia jarang menghubungi keluarganya. Tak seperti dulu yang hampir setiap malam menyempatkan diri menelpon keluarganya.
Alasan apa yang harus ia berikan pada Ayu?
Ali melirik jam tangannya, kemudian bangkit. Ia bergegas mencari taksi. Biasanya, istrinya sudah ada di rumah setelah jam satu siang. Ia bahkan merasa tak perlu mencari tahu kabar Wulan, apakah perempuan itu sudah bertemu keluarganya atau tidak. Ali sengaja mematikan ponselnya.
Dia turun dari taksi dengan jantung berdebar. Serupa seorang pencuri yang hendak ketahuan polisi. Rumah itu tampak lengang. Rumah yang dipilih Ayu untuk menjadi tempat tinggal mereka setelah tiga tahun mereka berpindah-pindah kontrakan.
Ali mendoron pintu gerbang bercat hitam itu. Ada mobil Ayu dan sebuah sepeda motor yang terparkir di carport. Ali masih bisa merasakan hawa panas yang terpancar dari knalpot sepeda motor tersebut, pertanda benda itu belum lama terparkir di sana.
Ia berdiri terpaku di sana. Dadanya sesak oleh rindu. Bagaimana bisa ia tak berkabar lama dengan penghuni rumah ini. Ada apa sebenarnya dengan dirinya.
“Papa,” seorang anak laki-laki berdiri di depan pintu menatapnya dengan wajah terkejut.
“Azka?” Ali bergegas menyongsong Azka. Ia meletakkan tasnya kemudian menekuk kakinya di hadapan putra sulungnya itu dan memeluknya erat.
Azka terdiam. Biasanya, ia selalu tahu jika ayahnya akan pulang. Ibunya pasti memberi tahunya terlebih dahulu dan mengajaknya berbelanja untuk memenuhi isi lemari pendingin mereka. Tapi kenapa sekarang ibunya bahkan tak memberitahunya bahwa ayahnya akan pulang?
“Azka, siapa?” terdengar suara Ayu dari dalam.
Ali tersenyum mendengar suara itu. Suara yang telah membuatnya jatuh hati sejak usia remaja. Betapa ia merindukan pemilik suara itu.
Ali bangkit berdiri ketika terdengar suara langkah mendekat. Ayu muncul dengan daster rumahan. Wajah ayunya tampak sederhana tanpa polesan make-up.
“Ayu,” Ali memeluk erat perempuan itu. Ada rasa yang membuncah yang tak bisa ia ungkapkan. Ia tak mau kehilangan Ayu. Tidak untuk alasan apapun.
“Mas Ali?” jantung Ayu berdegup kencang. Ia hendak mengangkat tangannya balas memeluk suaminya, tapi bayangan foto yang ditunjukkan Reta membuat dadanya sesak.
Ayu menurunkan kembali tangannya ke sisi tubuhnya. Membiarkan suaminya itu memeluknya, tanpa ia membalasnya.
“Kenapa gak ngabari kalau akan pulang?” tanya Ayu setelah Ali melepas pelukannya.
“Mama?” Rayhan muncul menyusul ibunya yang terlalu lama keluar untuk mengecek kakaknya tadi.
“Rayhan?” Ali memeluk putra keduanya itu sebelum Rayhan benar-benar menyadari kehadirannya.
Rayhan hanya terdiam. Ia seperti seorang anak kecil yang tak terlalu ingat siapa yang dihadapinya.
“Ini Papa, Rayhan. Kamu gak kangen Papa?” Ali selalu merasa canggung setiap kali mengucapkan kata Papa. Ia sejak awal tak terlalu menyukai panggilan itu. Sejujurnya, dulu, Ali ingin anak-anaknya memanggilnya Abi. Tapi Ayu menolaknya mentah-mentah.
“Enggak ah. Panggilan itu lebih cocok kalau istrimu perempuan dengan kerudung lebar. Kita udah sepakat lho, kamu gak akan paksa aku, dan akan beri aku ruang untuk perlahan belajar,” Ayu beralasan saat itu. Dan Ali, selalu dibuat tak bisa menolak permintaan istrinya.
“Kok Papa gak bilang kalau mau pulang. Papa juga gak pernah telepon lagi kayak dulu. Aku pikir, Papa kayak Papanya temenku yang gak pernah pulang lagi setelah ke Kalimantan,” kata Rayhan panjang lebar.
“Rayhan,” tegur Ayu sembari menggelengkan kepalanya. “Ayo masuk, kita ngobrol di dalam, Papanya juga perlu istirahat dulu,” ajak Ayu.
“Naufal, kasih salam sama Papa,” ucap Ayu pada anak ketiganya yang baru berusia tiga tahun.
Naufal menatap penuh selidik pada ayahnya, sebelum akhirnya bangkit mengikuti permintaan ibunya. Ali berjongkok menyambut tangan putranya kemudian memeluk dan membawanya ke dalam gendongannya.
“Wah kamu sudah tambah berat dari terakhir kali Papa menggendongmu,” Ali membawa Naufal duduk di sofa di depan televisi diikuti kedua anaknya yang lain.
“Tegar baru aja tidur. Papa sudah makan?” tanya Ayu sembari beranjak ke dapur. Ibunya muncul kemudian menyapa menantunya.
“Mama?” Ali mencium tangan ibu mertuanya itu.
“Syukurlah kamu pulang. Mama jadi bisa istirahat. Dari sana pagi?”
“Iya, Ma. Maaf merepotkan Mama terus.”
“Tidak apa. Mereka cucu-cucu Mama. Mama senang bantuin Ayu jagain mereka.”
“Papanya biar makan dan istirahat dulu ya. Nanti sore biar dilanjut ngobrolnya. Kalian juga harus bobok siang dulu. Azka dicek dulu PR-nya ya, Sayang.”
“Iya, Mama,” jawab Azka tanpa melepas pandangannya dari ayahnya, seakan khawatir jika sewaktu-waktu ayahnya itu akan menghilang.
“Papa akan di rumah selama dua minggu, Azka,” kata Ali. Ada rasa bersalah yang kembali menghantuinya.
“Kenapa cuma dua minggu? Papa kan perginya kemarin lebih lama,” protes Azka.
Ali terdiam. Ia melirik istrinya hendak meminta bantuan, tapi tatapan Ayu juga seakan meminta penjelasan yang sama seperti putra mereka.
“Jatah cuti Papa hanya dua pekan. Tapi nanti coba Papa telepon kantor ya.”
Azka tersenyum kemudian bangkit sembari mengajak kedua adiknya ke kamarnya diikuti oleh nenek mereka, sementara Ali dan Ayu beranjak ke meja makan.
“Kamu sudah makan?” tanya Ali.
“Sudah. Mas makanlah. Aku bereskan tempat tidur dulu, tadi anak-anak nemenin Tegar main di kasur.”
“Di sini aja,” Ali meraih tangan Ayu yang hendak beranjak. “Temani aku makan. Setelah itu kita bereskan mainan anak-anak bareng.”
Ayu menatap sejenak suaminya, kemudian duduk kembali. Entah apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka berdua. Ayu memang merindukan laki-laki ini. Suaminya. Ayah dari keempat anak laki-lakinya. Tapi entah mengapa ia merasa ada jarak yang lebar di antara mereka. Atau itu semua hanya prasangkanya saja?
“Tegar bagaimana?” tanya Ali.
“Baik. Dia cukup pengertian ketika aku harus bekerja. Dan kakak-kakaknya juga banyak membantu mengajaknya bermain ketika aku harus beberes.”
“Maaf ya, Sayang,” Ali mengulurkan tangannya meraih tangan Ayu yang berada di atas meja.
Ada sesuatu yang menggelegak ketika kata sayang itu terlontar. Ali seakan ditarik pulang dari perjalanan panjangnya yang tanpa arah. Ia seakan menemukan kembali labuhan yang selama ini tertutup awan tebal. Sauhnya terlempar sempurna. Inilah pelabuhan yang dicarinya selama ini setelah berbulan-bulan ia berlayar tanpa arah.
Ayu hanya tersenyum tipis. Ia membiarkan Ali menggenggam tangannya. Ada yang mencubit hatinya. Meninggalkan bekas sakit yang tak kentara tapi cukup memberinya kejutan. Apa yang sebenarnya terjadi dengan hubungan mereka?
Ia ingin bertanya banyak hal. Tapi ibunya selalu mengajarinya, agar membiarkan dulu suaminya kenyang dan cukup istirahat baru mengajaknya bicara.
Ayu menghela napas. Satu helaan berat yang tak luput dari pandangan mata Ali.
“Ayu,” panggil Ali saat isi piringnya sudah kosong. Diraihnya kedua tangan istrinya dan digenggamnya erat. “Maaf, membuat kamu mengurus anak-anak sendirian. Pasti berat ya,” ia menatap manik bening istrinya.
Perempuan ini, sosok yang telah mengorbankan masa mudanya untuknya. Yang rela menghabiskan waktunya untuk mengurus anak-anaknya dibandingkan mengejar karir yang cemerlang. Bagaimana bisa Ali lupa hingga menduakannya?
Perempuan yang dulu ia perjuangkan sepenuh hati untuk mendapatkan restu kedua orang tuanya. Tak hanya orang tua Ayu yang awalnya tak bisa menerimanya karena Ayu belum menyelesaikan pendidikan kedokterannya kala itu, sementara ia baru saja lulus dari program diploma.
Tapi orang tuanya juga enggan bermenantu calon dokter dengan pikiran terlalu moderat. Orang tua Ali menginginkan seorang menantu yang paham posisinya di sisi laki-laki, bersedia bertahan di rumah tanpa perlu mengejar karir di luar sana. Yang akan mengurus anak laki-laki mereka dan menyediakan segala kebutuhannya dari Ali membuka mata hingga terlelap.
Ayu hanya tersenyum tipis. Ia mengerti betul konsekuensi ketika melepas Ali menerima pekerjaan di pertambangan. Dengan latar belakang pendidikan suaminya, memang sulit mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang bersaing di Jogjakarta.
Mereka membutuhkan rumah dan kehidupan yang layak untuk anak-anak mereka. Dan rasanya itu semua terlalu jauh jika bertahan hanya dengan upah minimum yang bahkan tak sebanding dengan biaya kontrakan mereka kala itu.
“Ini sudah konsekuensi dari pilihan kita dulu. Kita hanya butuh untuk berkomitmen. Tak hanya untuk anak-anak, tapi juga kita berdua ke depannya.”
Ali mengangguk. Meski kalimat Ayu serupa tamparan keras baginya.
“Tegar ada di kamar, barangkali Mas mau lihat. Aku taroh ini dulu ke belakang,” Ayu meraih piring kosong suaminya dan membawanya ke dapur.
Ali mengangguk. Meneguk air minumnya sekali lagi, kemudian menuju kamar tidur mereka.
***