Bab 8: Pulang

1350 Kata
Ali sudah mengepak barangnya. Seperti kepulangannya saat mengambil cuti waktu-waktu sebelumnya, ia hanya membawa satu back pack. Ia jarang membawa oleh-oleh, karena Ayu kerap berpesan agar tidak perlu repot memikirkan oleh-oleh. Istrinya itu hanya menginginkan ia pulang dengan selamat. Tapi kali ini, ia ingin memberi hadiah pada anak dan istrinya. Ali sudah membelinya diam-diam kemarin. Benda-benda kecil yang bisa ia selipkan di antara tumpukan bajunya agar Wulan tak perlu melihatnya. “Mas hanya bawa itu saja?” tanya Wulan melihat bawaan Ali yang begitu sedikit sementara ia terlihat begitu repot. “Iya. Memang mau bawa apa? Semua bajuku kan ada di rumah.” Wulan mendadak cemberut saat Ali menyebut rumah. Seakan dirinya hanyalah sebuah persinggahan. Ali akan pulang ke rumahnya. Tempat pulangnya dimana ada istri dan anaknya. Sedang dia hanyalah serupa kamar kost yang sementara ditempati. Ada yang membuat Wulan marah dan sakit hati. Dia sudah memberikan segalanya. Mengurus segala kebutuhan Ali selama ini. Memenuhinya segenap jiwa raganya. Wulan tak ingin menjadi yang sementara. Jika ia tak bisa menjadi yang pertama dan satu-satunya, ia tak mau semua ini hanya sementara. Wulan ingin selamanya. Dan istri pertama Ali harus bisa menerimanya. Wulan melirik suaminya yang sedang mengecek ponselnya. Wajahnya begitu serius dan kesal. Sepertinya, Ali sedang menunggu kabar dari seseorang. Wulan merasa ikut kesal mengingat siapa kemungkinan yang Ali tunggu melalui ponselnya. “Mas, kita bener gak akan ketemu selama dua minggu?” “Hmmm.” “Mas gak akan nengok aku di rumah orang tuaku?” “Wulan, cuma dua minggu kan? Jangan buat semuanya jadi sulit buatku. Aku bahkan belum tahu bagaimana cara menghadapi Ayu dan anak-anakku jika mereka mengetahui pernikahan kita.” “Kita menikah sah secara agama, Mas. Jadi mau tak mau Mbak Ayu harus menerimaku sebagai madunya.” “Kamu pikir itu mudah buat Ayu?” “Bukannya keluarga Mas Ali memang ada yang sudah melakukannya lebih dulu? Jadi mestinya Mbak Ayu juga bisa menerima ketika Mas berpoligami.” Ali melirik Wulan. Dulu, ketika ia akhirnya memutuskan menerima tawaran pekerjaan di tambang dengan penempatan di Kalimantan, sementara Ayu enggan untuk ikut serta, keluarga Ali memang yang begitu keras menentang Ayu. Memaksa Ayu mengikuti Ali dan meninggalkan karirnya yang baru dimulai. “Dia itu istrimu. Sudah semestinya dia mengikutimu. Bukan malah mementingkan karirnya. Kamu harus tegas, Ali. Jangan mentang-mentang dia berpendidikan tinggi lalu bisa membantah suaminya seenaknya,” kata ibunya suatu hari saat Ali menyampaikan rencananya bersama Ayu. “Ayu sudah jadi pegawai pemerintah, Ummi. Dan dia gak bisa mundur atau pindah seenaknya.” “Biar nanti Ummi yang bilang sama istrimu.” Dan sejak hari itu, hubungan istrinya dengan keluarga Ali semakin memburuk. “Ayu, Ummi mau bicara,” kata ibu Ali saat Ayu baru pulang dari puskesmas. “Sebentar ya, Mi, Ayu ganti baju dulu,” jawab Ayu. “Kamu itu kalau ada orang tua mau ngomong pasti banyak alasan.” “Ummi, Ayu baru pulang,” Ali mengingatkan. “Ini nih kalau perempuan dibiarkan kerja dan punya karir, jadi seenaknya.” “Maksud Ummi apa?” Ayu tak terima dengan omongan mertuanya. “Kamu itu istri. Mestinya suamimu kerja ke Kalimantan ya kamu ikut. Karena tugasmu ngurus suami. Memangnya kamu mau suamimu diurus perempuan lain?” “Mas, maksud ibumu apa sih?” Ayu yang lelah sepulang bekerja mulai emosi dengan omongan mertuanya. “Gak ada. Ayo,” Ali menarik Ayu ke kamar mereka untuk menghindari pertengkaran. Ali menghela napas. Tak menyangka semua itu akhirnya benar terjadi. Bagaimana bisa ia justru terjebak dalam permainannya sendiri seperti ini. “Mas Ali,” panggilan Wulan membawa pikiran Ali kembali ke masa kini. “Jangan mempersulitku. Aku sudah menghianati pernikahanku dengan Ayu. Jadi tolong jangan memperkeruh selama kita pulang ke Jawa. Kamu istriku di sini. Di Jawa, aku suami Ayu.” “Baiklah,” Wulan akhirnya mengalah. Toh waktunya dengan Ali jauh lebih panjang dibandingkan Ayu. “Lan, bisakah kamu berpakaian lebih rapat lagi mulai sekarang?” Wulan mengernyit. “Maksud, Mas?” “Gunakan pakaian yang lebih longgar dan rapat.” “Seperti ustadzah yang di sebelah sana?” Ali hanya mengangguk. “Kenapa? Mas Ali gak suka cara berpakaianku?” “Aku gak mau kamu keluar dengan pakaian terbuka.” Wulan hanya terdiam. Dia merasa tak punya pilihan selain mengikuti kemauan suaminya itu. Entah apa maksud Ali sebenarnya. * Wulan mendorong kopor dan tasnya menuju terminal keberangkatan. Jadwal penerbangannya selisih hampir dua jam dengan suaminya. Meski sebenarnya ia cukup kecewa karena tak bisa pulang bersama, tapi ia tak bisa protes. Bisa pulang ke Jawa setelah sekian lama jelas kebahagiaan tersendiri bagi Wulan yang sudah sejak lama tak pernah pulang kampung. Dulu, ia merantau ke Kalimantan mengikuti kakak laki-lakinya yang juga bekerja di pertambangan. Hanya saja, perusahaan tempat kakaknya bekerja tak sebagus Ali. Wulan pun akhirnya ikut bekerja, dari menjaga toko, menjadi pelayan di rumah makan, hingga akhirnya menjadi SPG berkat kecantikan dan kemolekan tubuhnya. Wulan sempat menikah dengan seseorang yang kemudian berakhir dengan perceraian dalam usia pernikahan yang tak genap dua tahun. Ia sempat menjadi SPG beberapa produk hingga akhirnya menjadi SPG sebuah showroom mobil yang mempertemukannya dengan Ali. Sosok Ali yang sederhana dan terkesan alim membuat Wulan terpesona hingga rela menyerahkan dirinya dan menjadi yang kedua. “Mas,” dia menatap Ali. Tiba-tiba khawatir ini akan menjadi pertemuannya yang terakhir. Bagaimana jika setelah ini Ali ingkar? Bagaimana jika setelah bertemu dengan keluarganya, Ali melupakannya. “Kita akan bertemu lagi kan?” Ali mengernyit. Tapi kemudian menyadari kemana arah pertanyaan itu. “Kamu sudah punya tiket kembali kan? Kita ketemu lagi di sini. Di sana kamu gak perlu menungguku.” Wulan memeluk erat suaminya. Dengan pakaian Wulan yang berupa gamis longgar dan kerudung lebar, sebagian besar orang mungkin menyangka, Wulan adalah seorang istri yang akan bepergian tanpa suaminya. Tak ada yang akan mengira, bahwa perempuan itu adalah perempuan kedua yang menikahi suami dari wanita lain tanpa sepengetahuan istri pertamanya. Ali melepas cepat pelukan Wulan. Membantu Wulan melakukan check in, kemudian meninggalkannya karena ia terbang melalui terminal yang berbeda. Ali bergegas, tanpa menengok lagi ke belakang. Wulan menghela napas. Ia ingin mengejar suaminya, tapi sudah terdengar pengumuman dari pengeras suara. Ia pun harus segera bergegas jika tak ingin tertinggal. Berulang kali ia mengingatkan dirinya sendiri bahwa perpisahan ini hanya sementara, tapi toh rasa khawatir itu tetap saja ada. Bagaimana jika setelah kembali pada istrinya, ia dilupakan begitu saja? Atau bahkan dibuang? Wulan lebih banyak menunduk menyimpan semua kekhawatirannya. Ia tentu saja tak pernah berencana menjadi yang kedua. Tapi hidup kadang tak memberi banyak pilihan. Ia sudah lelah hidup sendiri. Bekerja keras sendiri untuk mencukupi semua kebutuhannya dan mengirimkan sedikit pada keluarganya. Karenanya, ketika ia mulai dekat dengan Ali, ia tak ingin terlalu lama menunda pernikahan. Meski kemudian, ia hanya bisa menjadi yang kedua. * Ali duduk menatap jendela dengan hamparan awan di kejauhan. Ada yang berbeda dalam kepulangannya kali ini. Sesuatu yang memberat di hatinya. Rasa bersalah yang mengganggunya sejak beberapa waktu lalu. Sejak hari ia mengucapkan ijab qabul di depan kakak Wulan. Ali menghela napasnya yang terasa berat. Ia tak siap jika Ayu mengetahui semuanya. Ia tahu betul istrinya. Ayu bukanlah tipe perempuan yang bisa menerima perempuan lain dalam kehidupan mereka. Perempuan itu begitu mandiri. Begitu setia menjaga diri. Ali seperti tertampar kenyataan. Bayangan reaksi penolakan Ayu yang selama ini menghantuinya terasa begitu nyata. Dia seakan lupa, bahwa istrinya itu bukanlah perempuan yang akan merendahkan dirinya untuk laki-laki. Ia ingat betul bagaimana reaksinya ketika mengetahui salah seorang famili Ali akan menikah lagi. “Mas, benar Paman kamu akan menikah lagi?” “Iya.” “Bukannya perekonomiannya lagi gak bagus ya?” “Biarkan aja. Mungkin nanti ada rejekinya sendiri.” “Kok gitu. Harusnya kamu ingetin dong, Mas. Gak kasihan tuh sama anak-anaknya. Hidupnya aja pas-pasan begitu kok, pakai nambah istri lagi.” “Setiap orang kan bawa rejekinya sendiri-sendiri, Yu.” “Gak gitu juga konsepnya kalau kamu sebagai kepala keluarga. Satu keluarga aja belum beres kamu cukupi dengan layak, mau nambah. Layak itu gak cuma bisa makan hari ini aja, Mas. Tapi tempat tinggal, pendidikan, kesehatan semua bisa didapatkan dengan baik.” Ali kembali menghela napas. Ayu tak boleh tahu semuanya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN