Bab 7: Dokter Ayu

1321 Kata
Ayu masih duduk di balik mejanya. Siapapun tahu, tak ada yang bisa mengintimidasi dokter muda ini dengan begitu mudah. Ia mengecek ponselnya seraya mengeluarkan bekal makan siangnya. Membalas beberapa pesan yang masuk ke ponselnya, kemudian membuka bekalnya. “Dokter Ayu,” Reta masuk dan menatap Ayu penuh permohonan. Ayu menghela napas. “Aku selesaikan makanku dulu ya.” “Udah sana temenin pak Bos baru. Ada Reta kok. Kalian gak hanya berdua saja. Iya kan, Ret?” kata Zara. “Iya, Dok. Please,” Reta mengatupkan kedua tangannya di depan. “Biar saya gak diomeli terus nanti kalau di rumah.” Zara tertawa. Dia memberi isyarat agar Ayu mengikuti Reta. Dalam hati ia berandai-andai, jika saja Ayu bertemu Elang lebih dulu, mungkin ia tak perlu menjalani pernikahan yang menurut Zara begitu berat. Ayu yang lebih muda darinya, sudah harus membesarkan anak seorang diri karena suaminya bekerja di luar pulau dan hanya pulang satu hingga dua pekan dalam tiga atau empat bulan. Bahkan Zara bisa menghitung, saat ini ia yakin sudah lebih dari empat bulan suami Ayu tak pulang. Entah bagaimana Ayu bisa bertahan dalam pernikahan jarak jauh seperti itu. Padahal secara fisik, ia cukup cantik dan pantas bersanding dengan seseorang yang lebih tampan dari suaminya yang menurut Zara biasa saja itu. Pendidikan Ayu pun jelas jauh lebih tinggi dari suaminya yang hanya lulusan diploma. Ia yang hanya temannya saja kadang tak rela, melihat Ayu begitu pontang-panting mengurus keempat anaknya hingga potensi karirnya ia abaikan. Dokter muda yang begitu pintar itu, akhirnya hanya berhenti menjadi dokter umum di puskesmas selama ini. “Ayu, kamu gak pingin sekolah lagi? Ambil spesialis?” tanya Zara suatu hari. Ayu hanya tersenyum. “Siapa yang gak pingin, Kak. Semua dokter pasti pinginlah.” “Lalu?” “Aku masih repot, Kak. Anakku kecil-kecil. Aku gak mau melewatkan golden age mereka begitu saja.” “Kalau saja aku kenal kamu sebelum kamu menikah, sudah aku kompori biar putus aja dulu sama suamimu itu.” Ayu hanya tertawa saat itu. “Kok Kak Zara gitu? Kalau aku gak sama suamiku yang sekarang, aku gak akan punya anak-anak hebat seperti anakku. Meskipun melelahkan, tapi mereka adalah oaseku.” Dan sejak itu, Zara tak pernah lagi menyinggung masalah LDM yang dijalani Ayu. Karena ia tak ingin merusak kebahagiaan yang selalu Ayu tunjukkan ketika bersama anak-anaknya. Ayu seakan hidup hanya untuk menjadi ibu yang sempurna, meski suaminya tak pernah ada di dekatnya. * Ayu masuk ke ruangan kepala puskesmas bersama Reta. Di balik mejanya, Elang tampak sedang menghadapi nasi padang dengan tangan belepotan kuah nasi padang. “Dokter kok jorok,” kata Reta. “Jangan berisik. Kamu duduk saja, dan habiskan makanmu. Ingat aku atasanmu di sini. Dan sekarang aku hanya perlu dengan Dokter Ayu,” kata Elang. Ayu duduk tenang menyaksikan bagaimana dua orang bersaudara itu berkomunikasi. Ia memang membawa bekalnya, tapi melihat bagaimana Elang makan, membuatnya enggan membuka bekalnya. “Ayo sambil makan. Setelah itu solat dan langsung ke dinas. Kita gak punya banyak waktu,” kata Elang. “Dokter ingin tahu soal apa?” Ayu akhirnya membuka kembali kotak bekalnya. Meski enggan makan berhadapan dengan laki-laki, tapi ia tak punya banyak pilihan. Mereka harus menghadiri rapat jam satu siang ini. “Kemampuan kita merespon rencana program sehat itu. Dengan durasi waktu yang ada, dan target yang diberikan, tim kita seberapa mampu menurutmu?” “Kita harus jemput bola ke komunitas-komunitas sekitar kalau rencana target dan waktunya tidak berubah. Karena meminta mereka datang sendiri jelas akan lebih lama.” “Komunitas apa yang bisa kita manfaatkan selain posyandu?” “Sementara ini hanya posyandu yang paling efektif. Atau Dokter bisa ke sekolah-sekolah jika mau cepat. Hanya saja perlu dipikirkan tenaga medis yang akan diterjunkan.” “Kamu bisa ingatkan aku nanti soal ini. Karena aku gak bisa mencatatnya sekarang,” Elang menunjukkan tangannya yang belepotan. “Hanya itu yang Dokter ingin diskusikan?” Elang tersenyum. Ia meremas bekas pembungkus nasi padangnya kemudian mencuci tangannya di wastafel. Setelahnya duduk kembali dan menegak minumnya sebelum melanjutkan bicara. “Mestinya, kamu yang jadi kepala puskesmasnya,” Elang duduk kembali di kursinya sambil mengelap tangannya yang basah dengan tissue dengan cueknya. “Kenapa? Hati-hati kalau makan,” Elang menyodorkan botol air mineral pada Ayu yang terbatuk tiba-tiba. Ayu meraih botol mineral yang masih tersegel tersebut, hendak memutar tutupnya. Tapi Elang merebutnya kembali dan memutar tutup botol tersebut kemudian menyerahkan kembali pada rekan kerjanya itu. “Makasih, Dok.” Reta yang menyaksikan kejadian tersebut hanya menghela napas. Tak menyangka kakaknya akan mengatakan hal tersebut pada dokter Ayu. Dengan serangkaian kinerjanya yang telah terbukti sangat baik, Ayu memang layak dipromosikan menjadi kepala puskesmas, tapi posisi itu ditolaknya dengan alasan kerepotannya sebagai ibu yang menjalani LDM dengan tiga orang anak saat itu. Reta sungguh menyayangkan karir cemerlang yang sudah dikorbankan dokter cantik itu karena suaminya yang bekerja jauh di luar pulau. Tak terbayangkan bagaimana sakitnya dokter Ayu jika benar suaminya memiliki wanita lain di sana. “Kenapa kamu gak mau dipromosikan jadi kepala puskesmas.” Ayu menghela napas. Ia tak yakin bisa menghabiskan makanannya jika sudah seperti ini. “Saya seorang ibu, Dokter. Dengan empat orang anak yang masih kecil. Dan suami saya bekerja di Kalimantan,” jelas Ayu setelah berhasil menenangkan diri. Pertanyaan Elang seakan mengingatkan Ayu pada berbagai cita-cita dan kesempatan karir yang terpaksa harus ia pupus sendiri. Tidak. Ayu tidak menyesal memberi prioritas pada anak-anaknya. Tapi teringat kemungkinan bahwa jauh di sana suaminya telah menghianatinya, sungguh merupakan pukulan telak untuknya. “Sorry,” ucap Elang lebih lembut. Ia memang tak tahu jika Ayu menjalani long distance marriage dengan empat orang anak yang ada dalam pengasuhannya. “Berapa usia anakmu yang paling besar?” Elang menyandarkan punggungnya di kursi, tampak lebih santai. “Tujuh tahun.” “Tujuh tahun dengan tiga orang adik? Kamu produktif sekali, Ayu.” “Gak usah menyindir begitu.” Elang terkekeh. Reta menghela napas lega sembari tersenyum. Tampaknya pembicaraan kedua dokter itu sudah mencair. “Minta suamimu sediakan asisten rumah tangga dan baby sitter. Jangan enak-enakan cuma bikin anak saja tapi gak pernah hadir untuk anak kalian.” Ayu tertegun. Begitu pula Reta. Ia mendelik pada kakaknya dari balik punggung Ayu. Sementara Elang hanya bersikap biasa saja, sama sekali tak merasa ada yang salah dengan kalimatnya. “Ada lagi enggak yang mau Dokter Elang bicarakan? Kalau gak ada, saya ijin pamit dulu. Saya perlu solat kemudian menyiapkan dokumen untuk rapat nanti.” “Okay. Kita berangkat bareng nanti.” “Gak perlu, Dok. Saya bisa bawa kendaraan sendiri.” “Suamimu melarangmu satu mobil dengan pria lain meski untuk urusan pekerjaan?” “Bukan begitu, Dok.” “Nanti kita ajak orang lain biar kita gak hanya berdua saja.” “Aku gak mau lho, Mas. Masih ada kerjaan,” kata Reta yang tiba-tiba nyambung tanpa ditanya. “Siapa yang mau ngajak kamu,” ucap Elang. Ayu keluar lebih dulu meninggalkan ruangan atasan barunya itu. “Mas, bisa enggak lebih hati-hati kalau ngomong soal keluarga sama Dokter Ayu?” tegur Reta pada kakaknya setelah yakin Ayu sudah jauh dan tak akan mendengar pembicaraan mereka. “Memang aku ada salah ngomong tadi?” “Dokter Ayu itu gak pernah suka jika orang lain membahas masalah keluarganya. Terutama soal keputusannya lebih mengutamakan anak-anaknya dibandingkan karirnya.” “Aku rasa gak ada yang salah dengan itu. Sebagai perempuan dan sekaligus seorang ibu, mungkin pilihannya tepat. Tinggal suaminya aja penuh pengertian enggak dengan memberi Ayu ruang nantinya untuk mengejar karirnya setelah anak-anaknya lebih besar.” Reta terdiam. Dulu, ia sempat ingin menjodohkan dokter Ayu dengan kakaknya ini saat baru mengenal dokter cantik itu. Tapi siapa sangka, Ayu saat itu telah memiliki suami dan dua orang anak. “Dia punya asisten rumah tangga kan, Ret?” “Setahu Reta ada, satu orang. Sama orang tuanya juga sering bantuin jagain anak-anak. Kok tumben perhatian gitu?” Elang mencibir. Reta tertawa. Kakaknya ini memang perhatian pada orang-orang yang bekerja dengannya, meskipun terkadang terlihat begitu cuek. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN