Bab 6: Cuti

1236 Kata
Ali akhirnya mengurus cutinya setelah lima bulan tak pernah pulang. Ada rasa bersalah di hatinya pada keluarga yang ditinggalkannya. Ia telah salah melangkah. Salah mengambil keputusan. Beberapa bulan ini ia sudah mencoba mencari jalan keluar. Tapi semua rasanya tak mungkin. Ia belum siap jika Ayu tahu. Apa yang harus ia katakan pada mereka? Keluarganya sendiri mungkin akan memaklumi. Toh beberapa laki-laki di keluarganya juga melakukan poligami. Tapi bagaimana dengan keluarga istrinya? “Jadi ambil cuti juga, Li?” tanya temannya saat mereka istirahat. “Iya,” jawab Ali singkat. “Sudah siap memberitahu istrimu?” Ali terdiam. Kepalanya mendadak sakit setiap kali mengingatnya. Beberapa temannya akhirnya memang tahu petualangan cintanya. Memang tak satupun dari mereka yang menyarankan Ali untuk menikahi Wulan. Tapi Ali tak bisa membiarkan dirinya terjerumus dalam jurang dosa. Dengan menikahi Wulan, setidaknya ia tak lagi melakukan zina setiap kali berhubungan dengan perempuan itu. Itulah dulu yang ada di pikiran sempit Ali. Ia sama sekali tak berpikir panjang bahwa semua akan menyulitkan untuknya ketika tiba saatnya Ayu tahu. Berapa lama ia bisa menyimpan semuanya dari keluarganya? Bahkan, setiap kali teringat bahwa ia memulai semuanya saat Ayu hamil anaknya saja sudah membuatnya merasa bersalah. Tapi ia tak kuasa menolak godaan itu. Wulan sudah menjeratnya dengan erat. Membuatnya kecanduan. Ali memasuki rumah kontrakannya saat hari sudah gelap. Wulan, tampak menunggunya dengan cemas. Ia mengambil perlengkapan Ali dengan sigap dan menyimpannya. “Ada masalah, Mas?” Wulan mengikuti suaminya ke dalam kamar dan membantunya melepas pakaiannya. “Aku akan mandi dulu.” “Sebentar aku panaskan air lagi. Yang tadi sudah dingin sepertinya.” “Gak usah. Aku pakai air dingin saja.” Sejak ada Wulan, Ali memang kerap mandi dengan menggunakan air hangat. Perempuan itu selalu mempersiapkan semua keperluannya. Ali tak lagi menjadi anak perantauan yang harus mengurus semua keperluannya sendiri. Ia seakan melihat ibunya yang selalu mengurus keperluan ayahnya dalam diri Wulan. Dari sejak Ali bangun membuka matanya di pagi hari, hingga ia kembali bersiap menutup kembali matanya di malam harinya, semua kebutuhannya terpenuhi dengan cukup baik dalam rumah sederhana mereka. Termasuk kebutuhan biologisnya. Wulan selalu memenuhinya kapanpun Ali menginginkannya. Tak pernah sekalipun Wulan menolaknya. Bahkan Ali mendapatkan pengalaman yang tak pernah ia dapatkan dalam delapan tahun pernikahannya dengan Ayu. Wulan benar-benar membawanya berpetualang ke sudut-sudut yang tak pernah ia jamah sebelumnya. Seperti malam ini. Wulan kembali membuatnya lupa akan segala persoalannya di lapangan tadi. Pun dengan percakapannya dengan temannya tadi. Ali mengambil sarungnya, kemudian membuka jendela kamarnya. Ia duduk di dekat jendela dan menyulut rokoknya. Wulan yang masih berusaha mengumpulkan sisa-sisa tenaganya menghela napas begitu udara di sekelilingnya bercampur dengan bau rokok. Ia tak pernah melarang karena seumur hidupnya, ia sudah akrab dengan asap rokok. “Aku akan ambil cuti minggu depan.” Ayu bangkit seketika. Ia duduk di atas ranjang, membiarkan tubuh bagian atasnya terekspos. Ali hanya meliriknya sekilas. Lalu kembali mengalihkan pandangannya pada kegelapan malam di luar sana. “Mas sudah pesankan tiket juga buat aku kan?” “Aku gak bisa dapatkan pesawat yang sama.” “Lalu aku?” “Kamu akan pakai pesawat yang berbeda. Hubungi keluargamu dan pastikan mereka bisa menjemputmu.” “Kita akan sama-sama di bandara kan?” “Di sini iya. Tapi tidak setelah di Yogya.” “Tapi, Mas?” “Itu kesepakatan kita, Wulan,” Ali menatap Wulan dengan sengit. Tapi kemudian menelan ludah mendapatkan pemandangan di atas ranjang mereka yang berantakan. Dua buah da-da yang menggantung padat itu membuatnya kembali berpaling. “Kamu adalah istriku di sini. Tapi di Yogya dan di hadapan semua keluarga, Ayu adalah satu-satunya istriku,” tegas Ali. Wulan menghela napas. Dia kemudian kembali merebahkan diri dan membungkus tubuhnya dengan kain yang mereka gunakan sebagai selimut. Bagaimana pun ia hanya yang kedua. Mereka bahkan tak memiliki selimut yang layak. Seluruh gaji suaminya dikirimkannya pada anak dan istri pertamanya. Wulan hanya menerima sedikit bagian dari yang selama ini menjadi pegangan Ali dan uang lembur. Suaminya itu, tak mau mengurangi bagian istri pertamanya yang selama ini selalu diberikannya karena tak ingin istrinya itu tahu ia telah menikah lagi. Wulan terkadang merasa ia tak ubahnya seperti seorang wanita simpanan. Padahal ia menikah sah secara agama dengan Ali, dengan wali nikah kakak kandungnya sendiri yang saat itu masih tinggal di kota ini. * Ayu baru saja sampai di puskesmas saat sebuah pesan masuk ke ponselnya. Nama suaminya terpampang di sana. Ia membukanya. Sebuah pemberitahuan bahwa suaminya akan cuti pulang pekan depan. Ayu duduk di kursinya. Kali ini, tak ada perasaan antusias mendapatkan kabar suaminya akan pulang. Semua tiba-tiba terasa hambar. Padahal Ayu belum mendapatkan semua bukti valid tentang dugaannya. Tapi rasanya kebenaran itu terasa begitu nyata. Ayu menghela napas. Ia menyimpan ponselnya tanpa berniat membalasnya. Pintu ruangannya diketuk. Reta muncul dengan wajah ceria. “Bu dokter mau mulai sekarang?” “Sudah banyak pasiennya?” “Seperti biasanya. Oh iya, Dokter Ayu nanti siang ada undangan rapat di dinas kesehatan.” Ayu mengangguk. “Terimakasih sudah mengingatkan.” “Dan Dokter Elang tadi berpesan agar Dokter Ayu menunggu beliau.” Ayu mengernyit. “Kapan dia kasih pesan?” “Katanya sudah kirim pesan ke Dokter belum dibalas, Dok. Jadi saya disuruh menyampaikan.” “Oh iya? Nanti coba saya cek.” Ayu menuju ruangan periksa diikuti Reta. Ia memang tadi sempat melihat ada pesan lain dari nomer yang tak dikenal. Mungkin itu pesan yang dimaksud Reta. Dia memang belum menyimpan nomor dokter Elang di ponselnya. Ayu tersenyum ramah pada beberapa pasien lama yang tersenyum padanya dan menyapa santun. Sebagian besar pasien di puskesmas adalah kelompok masyarakat menengah ke bawah yang menjadikan puskesmas sebagai akses pertama mereka mendapatkan layanan kesehatan. Sebagai dokter umum, area kerja Ayu memang lebih banyak di puskesmas. Sudah beberapa puskesmas yang pernah menjadi tempat tugasnya. Karena Ayu adalah dokter yang terdaftar sebagai pegawai negeri untuk pemerintah kota, maka tempat tugasnya masih relatif terjangkau. Itu sebabnya Ayu memilih rumah juga di daerah kota. Meski dengan harga yang relatif lebih tinggi dibandingkan jika ia memilih rumah di daerah pinggiran, tapi hal tersebut memudahkannya beraktivitas sehari-hari. Terlebih bagi Ayu yang lebih banyak ditinggal oleh suaminya. Begitu jam istirahat tiba, Ayu kembali ke ruangannya. Badannya terasa pegal karena klinik umum selalu ramai. Tapi ia selalu senang bisa membantu banyak orang. Jika tidak dibatasi durasi waktu layanan mungkin pasien-pasiennya akan kebablasan bercerita pada Ayu. Elang sudah ada di ruangan Ayu saat ia masuk. Laki-laki itu tampak duduk menyilangkan kakinya dengan santai sambil memainkan game di ponselnya. “Dokter Elang?” “Ada yang perlu aku bicarakan sebelum rapat di dinas nanti.” “Soal apa?” “Soal puskesmas ini. Kamu lapar enggak?” “Saya bawa bekal, Dok.” “Bawa ke ruangan saya. Kita ngobrol sambil makan. Aku akan suruh Reta beli makan siang.” “Tapi, Dok?” “Undangan rapatnya jam satu, Dokter Ayu. Dan saya belum tahu banyak tentang puskesmas ini. Dokter mau saya terlihat seperti kerbau bodoh saat rapat nanti karena tidak tahu apa-apa?” Elang bangkit dan menyimpan ponselnya di saku. Ia keluar meninggalkan ruangan Ayu dengan angkuh. Ayu menghela napas. “Kenapa, Dok?” tanya Zara, dokter gigi sejawat Ayu yang baru masuk ruangan. Di puskesmas, Ayu memang harus berbagi ruangan dengan beberapa dokter lain. “Tau tuh, mau rapat di dinas aja ribet.” Zara tersenyum. “Dokter Elang masih single kan. Hati-hati deh yang LDM-an, takut kegoda yang lebih bening di sini,” goda Zara. Ayu terdiam. Apa itu yang terjadi dengan suaminya? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN