Bab 5: Telepon dari Jawa

913 Kata
Ali menyeruput kopinya, bergantian dengan asap rokok yang mengepul pekat. Malam sudah semakin larut. Sunyi sudah menyelimuti bumi malam itu. Ali menatap kalender yang tergantung di dinding rumah kontrakannya yang kecil itu dengan tatapan nanar. Sudah hampir enam bulan ia belum mengambil cuti. Bahkan ia sudah jarang menghubungi keluarganya. “Mas, merokok lagi?” seorang perempuan muncul dari kamar dengan pakaian tidur yang minimalis, menampilkan setiap lekukan tubuhnya yang padat menggoda. “Udah dong merokoknya, katanya sekarang ada rutin medical check-up. Kalau parunya ketahuan ada masalah gimana?” perempuan itu mengambil puntung rokok yang masih separuh dari jemari Ali dan mematikannya di atas asbak, menambah deretan puntung lain yang sudah habis lebih dulu. “Kenapa?” perempuan itu duduk di sampingnya, mengelus lembut pipi Ali, lalu tersenyum manis. “Aku akan ambil cuti bulan ini,” kata Ali datar. Wulan, perempuan di hadapan Ali terlihat gelisah. Tapi ia menguasainya dengan cepat dan berusaha memasang senyum semanis mungkin. Menganggukkan kepala seakan memberi dukungan sepenuhnya pada rencana Ali. Ali seakan melihat kabar bagus di wajah Wulan. Sebuah harapan untuk bertemu keluarganya. “Aku ikut ya, Mas,” suara manja itu menghempas Ali tiba-tiba. “Wulan, aku…” “Aku tahu, Mas. Aku mengerti. Mas akan menemui keluarga Mas Ali kan? Aku juga bisa menemui Bapak dan Ibuku. Kita pulang ke Jawa sama-sama. Aku akan pulang ke tempat Bapak Ibu.” Tak ada cemburu yang Ali tangkap dari wajah perempuan muda di hadapannya. Wulan terlihat begitu baik dan pengertian. Kedua tangannya kemudian melingkar manja di leher Ali. “Aku mengerti kok, Mas, kalau kita belum bisa sama-sama kalau di Jawa. Toh Mas Ali gak lama kan cutinya. Setelah itu, saat kembali ke sini, Mas Ali sepenuhnya milikku.” Suara itu mengalun manja. Wulan kemudian mendekatkan bibirnya ke bibir Ali. Mencecap sisa nikotin di bibir yang mulai menggelap itu. Mengecup dalam. Membuat Ali kuwalahan membalas. “Bibir Mas bau rokok dan kopi,” Wulan menjeda, memberi keduanya waktu untuk menghirup udara. Lalu ia berpindah ke atas pangkuan Ali dan memulai lagi dengan binal. * Ali sedang menyiapkan perlengkapannya untuk berangkat bekerja saat teleponnya tiba-tiba berbunyi. Dia menjawabnya tanpa melihat siapa yang menelpon. Biasanya telepon di pagi seperti ini datang dari tempat kerjanya. “Hallo.” “Hallo, Papa? Ini Azka.” Jantung Ali seakan berhenti sedetik. Entah kapan ia terakhir kali mendengar suara itu. Nama itu bahkan seakan memudar dalam ingatannya. Ada apa sebenarnya dengannya? “Azka?” suara Ali bergetar. Dia seperti ditampar oleh sebuah kenyataan. “Iya. Papa kenapa tidak pernah telepon Azka lagi? Papa gak lupa sama Azka kan?” Pertanyaan itu seperti petir yang tiba-tiba memecahkan ketenangan langit. Bagaimana Ali bisa lupa? Ia tentu saja ingat. Hanya saja ia telanjur menyepakati bahwa ketika sampai di rumah, mereka, ia dan Wulan, akan meletakkan ponselnya masing-masing dan tak akan menyentuhnya di malam hari hingga sampai esok paginya saat Ali berangkat bekerja. Entah bagaimana dulu ia bisa mengiyakan begitu saja kesepakatan itu, tanpa berpikir ia memiliki keluarga yang ada di Jawa. Apa Wulan sengaja melakukannya agar intensitas komunikasi Ali dengan keluarganya berkurang? “Papa? Papa masih di sana?” “Iya. Ini nomer siapa, Azka?” “Nomor Eyang Kakung yang baru. Nomor yang lama hangus kata Eyang.” “Kamu sedang di rumah Eyang? Gak sekolah?” “Libur, Papa. Ada ujian kelas enam.” “Oooh.” “Maaaas,” suara teriakan Wulan terdengar dari arah belakang. “Siapa, Papa?” “Oh itu tetangga manggil orang.” “Tetangga kerja Papa? Kok seperti suara perempuan. Di tempat Papa kerja sekarang ada yang perempuan ya? Bukannya Papa kerja di hutan, Pa?” Ali menghela napas. Keluarganya memang tahunya ia tinggal di mess karyawan yang dekat dengan hutan. Dan memang seperti itulah Ali sebelumnya. Sebelum dirinya mengenal dan terjerat oleh sosok Wulandari yang kini menjadi istrinya. “Azka, Papa mau berangkat kerja. Sebentar lagi mobil jemputan karyawan datang. Kalau Papa terlambat…,” Ali tak tega meneruskan kalimatnya. Ia masih ingin berbicara dengan anaknya itu. Tapi ia juga khawatir Wulan akan kembali berteriak. “Sayang sekali, padahal Azka masih pingin ngomong.” “Nanti Papa telepon lagi ya.” “Maaas Aliiii,” suara itu kembali terdengar saat Ali menekan tombol bergambar telepon berwarna merah. Ali menghela napas. Buru-buru ia masuk ke belakang ke arah sumber suara. Di dapur, tampak Wulan hanya mengenakan handuk melilit dadanya hingga pertengahan paha sedang mencari sesuatu. “Kamu ngapain?” tanya Ali. Ia sungguh kesal melihat kebiasaan Wulan yang menurutnya teledor dalam berpakaian. Tubuhnya yang padat berisi jelas merupakan pemandangan yang ranum bagi laki-laki manapun. “Nyari gunting,” Wulan menunjukkan sachet kecil shampo di tangan kirinya dan sebuah gunting di tangan kanannya. “Aku berangkat dulu,” Ali berbalik sebelum pikirannya kemana-mana dan membuatnya terlambat. “Jangan diulangi keluar kamar mandi dengan seperti itu,” pesannya ketus. Wulan hanya mencibir lalu masuk kembali ke kamar mandi. Baginya, tak ada yang berlebihan dalam tindakannya. Toh ia berada di rumahnya sendiri. Dan hanya berdua dengan suaminya. Bukankah Ali bahkan sudah melihat dan mencecap setiap sudut tubuhnya, lalu apa yang salah? Ali menyimpan ponselnya. Ia akan menelpon Ayu nanti dan mengurus cutinya. Kepalanya tiba-tiba terasa pusing. Apa yang harus ia katakan pada Ayu nanti? Ali menghembuskan napas kasar. Mobil jemputannya terlihat di ujung jalan. Ia bergegas menuju ke pinggir jalan. Bekerja menjadi caranya melupakan kepelikan dari kesalahannya beberapa waktu lalu. Ia sudah tak bisa mundur lagi. Ibarat prajurit perang, posisinya jelas-jelas tidak menguntungkan. Baik maju terus atau mundur, taruhannya tetap sama. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN