“Dokter Elang sudah selesai pendidikan spesialisnya?” tanya Ayu pada Reta sembari menata kembali pikirannya.
“Baru selesai, Dok. Senin depan katanya mulai masuk lagi. Dokter Ayu ada perlu apa ya sama saya?”
Ayu menjadi ragu setelah melihat Elang tadi. Meski hubungan kerjanya dengan Elang dulu cukup baik, tapi ia tak ingin laki-laki itu tahu masalah pribadi yang hendak ia tanyakan pada orang tua Reta.
“Hmmm, sebenarnya, saya ingin mengkonfirmasi berita dari kamu sama Bapak dan Ibu,” ucap Ayu lirih.
“Oh itu. Saya panggilkan Mama dan Papa ya, Dok?”
Ayu menggeleng. “Reta, tidak perlu. Mungkin lain kali saja.”
“Tapi, Dok. Dokter udah jauh-jauh ke sini.”
“Tidak apa. Anggap aja memang harus silaturahmi kemari.”
“Apa mau saya bantu tanyakan sama Mama Papa?”
“Hmmm,” Ayu tampak berpikir.
“Maaf kalau saya malah nambah pikiran, Dokter Ayu. Saya juga berharap itu tidak benar. Tapi kalau memang benar, saya rasa Dokter harus tahu.”
Ayu mengangguk. Ia tahu maksud baik Reta. “Bisakah nanti kamu infokan, nama agen dan waktu keberangkatannya, biar saya bisa kroscek.”
“Iya. Nanti saya kumpulkan infonya sedetail mungkin.”
“Makasih ya, Reta. Maaf mengganggu. Saya permisi, gak bisa lama-lama. Takut anak-anak nyariin.”
“Hati-hati ya, Dok. Makasih banget martabaknya. Itu favorit Mas Elang. Sayang banget Dokter bukan jodohnya Mas Elang,” Reta menutup mulutnya yang keceplosan.
Ayu hanya tersenyum tipis sembari berpamitan.
*
Di teras rumah, Azka tampak menunggu ibunya dengan wajah mengantuk. “Mama, Mama kenapa telat pulang? Pasiennya banyak?” Azka terlihat khawatir.
“Iya. Maaf ya. Kok belum tidur?”
“Nunggu Mama.”
Ayu menyodorkan bungkusan martabak yang sama dengan yang diberikan pada Reta tadi. “Buat Kakak dan adik-adik.”
Wajah Azka berbinar. “Makasih Mama.”
“Ayo, masuk. Mama kunci pagar dulu ya.”
Begitu Ayu masuk, ketiga anaknya sedang merubung martabak yang dibawanya. Tegar yang berada di atas pangkuannya neneknya langsung mengulurkan tangan begitu melihat ibunya.
“Sebentar ya, Sayang. Mama dari tempat praktek, Mama ganti baju dulu ya,” ucap Ayu.
Ayu bergabung dengan anak-anaknya setelah berganti baju dan membersihkan diri. “Sini, Tegar. Eyang pasti pegel pegangin kamu terus,” Ayu meraih putra bungsunya yang begitu ceria menyambutnya.
“Dia belum lama bangun kok. Tadi sempet heboh nangis,” lapor eyangnya. “Ini buat Eyang sama Bik Sarni mana nih?”
“Oh iya? Kenapa nangis?”
“Nyari Mama kayaknya, Ma. Terus kita kasih mainan biar diem,” jelas Rayhan seraya menjilati jari-jarinya.
“Rayhan jorok,” kata Azka.
“Ini enak, Ma. Coklat kejunya banyak,” kata Rayhan.
“Mama,” Naufal mendekat menunjukkan tangannya yang belepotan membuat Ayu tertawa.
“Ambil tissue itu di meja, Mama bantu bersihkan.”
Naufal, anak ketiganya, menurut. Ia mengambil tissue dan menyerahkannya pada Ayu yang langsung membersihkan mulut dan tangan Naufal sambil memegangi Tegar.
“Mas Naufal kenapa belum tidur? Gak ngantuk?”
Naufal menggeleng. “Tunggu Mama boboknya.”
“Tadi sudah mau tidur, tapi adiknya nangis, dia jadi bangun lagi,” eyangnya menjelaskan.
“Oh iya? Maafin Adek sama Mama ya. Naufal sudah belum makannya? Ayo sama Mama kalau mau bobok?”
Naufal mengangguk.
“Minum dulu, Fal,” eyangnya menyodorkan segelas air putih.
“Minum dulu, terus Mama antar gosok gigi. Azka, Rayhan, habis itu minum air putih terus gosok gigi ya. Ditemenin Eyang dulu tidurnya, Mama nemenin adek-adeknya dulu.”
“Iya, Ma,” jawab Azka dan Rayhan hampir berbarengan.
*
Setelah menidurkan Naufal dan Tegar di kamarnya, Ayu keluar untuk menengok dua anaknya yang lain di kamar yang berbeda.
“Ada Mama, sama Mama ya. Eyang mau bikin herbal dulu. Kamu mau juga, Nduk? Mama bikinin ya.”
Bu Halimah bangkit dan meninggalkan kedua cucunya bersama ibu mereka. Ia menuju dapur hendak membuat minuman herbal untuk pegal-pegal.
“Ibu mau nyeduh jahe?” tanya asisten rumah tangga Ayu yang tengah mencuci gelas kotor bekas anak-anak tadi.
“Iya. Kamu mau sekalian? Kamu sudah ambil martabak belum tadi?”
“Sampun kok, Bu.”
“Barangkali mau ambil lagi dibawa ke kamar sambil nonton sinetron.”
“Bisa tambah melebar nanti saya, Bu. Anak-anak kelihatan suka sekali kalau yang belikan Bu Dokter, jadi tadi saya masukkan kulkas sisanya.”
“Memang kalau bapaknya yang belikan enggak?”
“Kalau Papanya seringnya belinya coklat kacang, anak-anak tidak terlalu suka. Kecuali belinya sama Bu Dokter pasti dibelikan coklat keju dengan isian yang banyak sampai meluber.”
“Dan yang coklat kacang dimakan sendiri kan sama bapaknya?”
Tari tersenyum canggung. Di rumah itu memang hanya majikan perempuannya yang begitu perhatian. Ayu tak segan mengeluarkan uang lebih banyak untuk makanan yang benar-benar disukai anak-anaknya. Baginya, tak apa lebih mahal sedikit yang penting rasanya anak-anak suka dan dihabiskan.
Berbeda dengan Ali yang hampir selalu menjatuhkan pilihannya pada barang maupun makanan dengan harga lebih murah. Hingga anak-anak mereka akhirnya meminta ayahnya untuk tak usah membelikan apapun. Biar nanti sama Mama aja belinya, begitu alasannya.
Begitu pula dengan perkara martabak. Jika ayahnya menawarkan martabak, anak-anak akan meminta agar Ali pergi dengan mama mereka membelinya. Atau meminta Tari untuk membelikannya. Jika Tari yang pergi, maka ia akan meminta uangnya pada Ayu dan Ayu yang akan memberi tahu apa yang harus dibeli.
Hanya martabak coklat keju dengan toping meluber itulah yang mereka sukai.
***