Beberapa hari ini, Ayu tak berhenti memikirkan informasi yang didapatkannya dari Reta. Tapi, ia masih tetap berpura-pura bahwa informasi itu tak berpengaruh apapun baginya. Anak-anaknya, entah mengapa begitu teliti terhadap perubahan ekspresi ibunya sekecil apapun.
Ketika Ayu tiba-tiba sering melamun dan terlihat sedih, anak-anaknya pasti akan bergantian menanyakannya bahkan meminta maaf. Mereka seakan tak ingin melihat kesedihan di wajah ibunya yang setiap hari selalu kerepotan sendiri mengurus semuanya di rumah.
“Eyang di sini aja. Gak usah pulang ke rumah,” pinta Azka suatu hari pada kakek neneknya.
“Nanti sapi Yangkung gak ada yang kasih makan.”
“Ada Pakde Sugeng,” sahut Rayhan.
“Ya tetep harus Eyang cek. Biar Yangti saja yang di sini. Yangkung pulang dulu, nanti ke sini lagi. Papa kalian belum kasih kabar kapan pulang?”
Ayu yang sedang berada di dapur bersama ibunya saling melirik.
“Nduk, ini sudah mau lima bulan lho. Waktu Tegar lahir dia pulang juga cuma sebentar. Kamu tanyakan baik-baik ada apa. Anak-anak itu butuh bapaknya. Mereka tanggung jawab bersama suami istri, bukan cuma kamu saja yang pontang-panting ngurus mereka.”
Ayu menghela napas. Ibunya sejak dulu memang tak terlalu menyukai hubungannya dengan Ali. Menurut ibunya, keluarga Ali terlalu fanatik dan tidak mau memasyarakat. Ketika akhirnya Ayu memaksa, ibunya tetap memberi restu, hanya tak pernah bisa dekat dengan menantu dan keluarga besannya itu.
“Nanti Ayu tanyakan.”
“Dan kalau dia pulang, ingat untuk pakai kontrasepsi,” bisik ibunya tegas.
Ayu mengangguk. Ia bahkan sudah memiliki rencana lain. Ayu hanya belum memiliki kesempatan saja untuk mencari bukti valid yang ia butuhkan. Waktunya sudah terlalu padat oleh pekerjaan dan anak-anak.
Ia beruntung kedua orangtuanya masih mau turun dari Gunungkidul untuk menengoknya. Ibunya akan pulang saat akhir pekan ketika Ayu libur, dan kembali lagi ketika hari Senin. Sedang ayahnya hanya akan menginap satu atau dua malam kemudian kembali ke rumah untuk mengurus ladang dan ternaknya.
Kedua orang tua Ayu sudah pensiun. Ibunya yang merupakan tenaga kesehatan, pensiun sejak tiga tahun lalu, sedang ayahnya yang guru baru pensiun setahun lalu. Keduanya kini hanya sibuk mengurus ladang dan ternak yang memang sudah mereka miliki sejak lama, bahkan sejak Ayu masih sekolah.
*
Ayu sudah mengirimkan pesan pada suaminya siang tadi, menanyakan kapan akan pulang, tapi sampai malam, tak juga ada balasan. Dia enggan menelpon duluan jika belum mengkonfirmasi Ali melalui pesan singkat.
Sejak ia hamil keempat, intensitas komunikasi mereka memang berkurang. Anak-anak yang biasanya begitu antusias menelpon ayahnya pun seakan memudar semangatnya. Mereka tak lagi sering menanyakan ayahnya, dan lebih sering mencari eyangnya.
“Mama, aku tadi bantuin Yangkung bersihin kandang sapi. Ya ampun, Ma, kotorannya gede-gede banget,” lapor Rayhan suatu hari saat mereka menginap di rumah eyangnya saat liburan sekolah terakhir.
Bahkan saat liburan sekolah pun, suaminya tak menyempatkan pulang. Padahal biasanya Ali akan berusaha menggeser jadwal cutinya agar bertepatan dengan liburan sekolah Azka dan Rayhan. Ali beralasan ia sudah mengambil cuti agak panjang saat Ayu melahirkan. Padahal Ali baru pulang dua minggu setelah bayi mereka lahir. Ia bahkan tak ada saat acara selamatan dan aqiqah putranya.
Anak-anaknya memang dekat dengan orang tua Ayu. Karena hanya kakek nenek dari ibu mereka saja yang kerap menengok dan menggantikan Ayu menjaga anak-anaknya. Tidak demikian dengan keluarga Ali. Hingga anak keempat Ayu, tak pernah sekalipun keluarga Ali menawarkan diri untuk membantu Ayu.
Selepas dari tempat praktek, Ayu akhirnya mampir ke rumah Reta. Kerap mengobrol santai dengan Reta di luar masalah pekerjaan, membuat Ayu yakin Reta ada di rumahnya. Gadis itu jarang sekali nongkrong atau pergi malam-malam. Kegiatannya setelah bekerja adalah membaca novel dan menonton drama korea.
Ayu mampir terlebih dahulu di penjual martabak pinggir jalan. Ia membeli satu martabak telor spesial dan satu martabak manis dengan keju minta dilebihkan untuk Reta, dan juga pesanan serupa untuk anak-anaknya. Ia beberapa kali melihat Reta memakan makanan varian coklat keju dengan keju yang selalu meluber.
Ia ingin bertemu dengan orang tua Reta dan menanyakan kebenaran cerita di balik foto yang Reta tunjukkan. Tapi ketika ia memencet bel rumah Reta, justru sosok lain yang ditemuinya.
“Dokter Ayu?” laki-laki itu tak bisa menyembunyikan kekagetannya, sama seperti Ayu.
“Dokter Elang?”
Elang mengangguk. Dia mundur satu langkah dan memindai penampilan Ayu. “Habis praktek?”
“Iya. Saya mau ketemu Reta. Boleh?”
“Tentu saja. Reta,” teriaknya sambil tetap berdiri bersandar pada pintu yang terbuka sementara tamunya masih berdiri di teras di depan pintu.
“Ya, Mas,”sahut Reta dari dalam, tak kalah keras.
“Ada tamu,” Elang kembali berteriak.
Tak lama terdengar langkah kaki berlari, dan muncul sosok Reta dengan baju rumahan. “Dokter Ayu? Sebentar saya ganti baju dulu,” Reta tampak terkejut melihat sosok atasannya itu di depan pintu rumahnya.
“Eh, tidak usah. Saya cuma sebentar.”
“Mas Elang, kenapa gak disuruh masuk sih,” omel Reta. “Ayo, Dok, silakan masuk,” Reta mempersilakan.
Elang hanya mengangkat alis sembari melirik bingkisan yang ditenteng tamu adiknya.
“Buat kamu. Semoga berkenan ya,” Ayu menyerahkan tentengan yang dibawanya.
“Kok jadi ngerepotin Dokter,” Reta mengintip isi tas kresek itu. “Wah ini sih favorit Mas Elang, Dok.”
Elang ikut mengintip. “Alhamdulillah rejeki anak soleh. Gak jadi keluar duit.”
Reta menyenggol lengan kakaknya. “Maaf, apa ada yang penting, Dok?” tanyanya.
Ayu tersenyum. “Ada yang ingin saya tanyakan,” Ayu melirik Elang yang ikut duduk bersama mereka. “Masalah pribadi.”
Reta melirik kakaknya. Sepertinya ia tahu masalah pribadi apa yang dimaksud Ayu. “Mas, masuk gih. Ada yang perlu Reta obrolin sama Dokter Ayu. Gak enak kalau Mas Elang di sini.”
“Ya anggap aja aku gak ada.”
“Mas, bawa deh ke dalam. Makan sepuasnya. Tapi jauh-jauh, jangan nguping,” Reta meletakkan bingkisan yang dibawa Ayu di atas pangkuan Elang.
Elang menatap Ayu sejenak. Ia merasa ada sesuatu yang memberat dalam ekspresi wajahnya. Ia pun bangkit ke dalam, tak ingin membuat Ayu semakin terbebani dengan kehadirannya.
Ayu menghela napas begitu Elang masuk ke dalam. Ia sungguh tak tahu ada dokter seniornya itu di rumah Reta.
***