Ayu menatap bayi mungil yang terlelap di atas kasurnya. Tegar Arif Al-hakim. Demikian ia akhirnya memberi nama pada bayi laki-laki yang tak ditunggui ayahnya saat terlahir. Bahkan sejak masih dalam kandungan, ayahnya tak lagi rutin menelpon dan pulang kala tiba waktu cuti.
Da-da Ayu terasa sesak. Benarkah semua karena suaminya punya perempuan lain? Bagaimana bisa? Sampai umroh bersama? Bagaimana caranya? Nalar Ayu tak sampai ke sana.
Suaminya yang tahu hukum agama, tak mungkin berani mengajak perempuan yang bukan mahramnya ke tanah suci. Apa mereka?
Sebuah pemikiran menghantam Ayu begitu keras. Napasnya seakan tercekat. Jantungnya berdegup kencang.
“Mama, Adek menangis. Mama kenapa? Sakit?” suara putra sulungnya membuat Ayu menggeragap kaget.
“Astaghfirullah hal adzim,” Ayu memohon ampun beberapa kali, kemudian meraih bayi mungilnya dan menimangnya. “Maaf ya, Sayang.”
“Mama sakit? Mau Kakak bantu gendong adek?”
Ayu tersenyum mendapati wajah khawatir Azka. Anak sulungnya ini memang paling pengertian. Ia kerap kali membuat Ayu merasa terharu dan bersalah di saat bersamaan. Azka seakan tumbuh menjadi lebih dewasa sebelum waktunya.
“Terimakasih ya, Kak Azka. Maaf, Mama bikin Kakak khawatir.”
“Mama beneran enggak sakit? Mau Kakak periksa?”
“Enggak. Mama sedikit melamun aja tadi. Kakak mau coba periksa Mama? Sebentar ya tunggu Adek tenang dulu.”
Azka duduk di samping ibunya. Ia tampak memegang sebuah buku dan pinsil di tangannya.
“Kak Azka ada PR?”
Azka mengangguk. “Sudah Kakak kerjain kok, Ma. Cuma enggak tahu bener apa enggak.”
“Nanti Mama bantu cek. Tunggu sebentar ya.”
“Iya. Kakak bisa menunggu kok.”
Ayu mengulurkan satu tangannya mengelus kepala Azka. Satu doa dia lambungkan dalam hati untuk anak sulungnya itu. Berharap setiap doanya akan mengetuk pintu langit.
Kehadiran Azka, sedikit membuat Ayu melupakan masalah suaminya.
*
“Ayu, sudah ya, jangan hamil lagi. Sudah cukup empat anak. Mama gak sanggup rasanya lihat kamu pontang-panting sendirian setiap hari,” ucap ibunya Ayu yang pagi itu menginap di rumah putrinya sejak dua hari lalu.
“Iya. Tegar yang terakhir insya Allah. Maaf ya bikin Mama ikut repot.”
“Mama sih seneng bisa bantuin kamu. Tapi suamimu itu lho, kebangetan. Ini aja sudah berapa bulan gak pulang?”
“Ma,” Ayu memberi isyarat pada ibunya, ada Azka yang sudah mulai bisa membaca situasi.
Halimah, ibu Ayu, menghela napas. Ia sedang menimang cucunya yang masih bayi, sementara Ayu sedang sarapan bersama ketiga anaknya yang lain.
“Kamu mau pakai motor lagi?” tanya ibunya.
“Iya. Biar lebih cepat dan irit. Aku titip anak-anak ya, Ma.”
“Iya. Papamu nanti mau nyusul ke sini kok. Apa Rayhan sama Naufal biar ikut Mama Papa aja dulu? Jadi kamu gak terlalu repot. Tari juga repot kan kalau kamu berangkat ditinggali anak tiga,” kata ibunya menyebut nama asisten rumah tangga Ayu.
“Cuma ngurus dua kok, Bu. Mas Rayhan kan sekolah. Mas Naufal juga sering ikut Bu Dokter ke puskesmas. Ini karena ada Bu Halimah jadi ditinggal semua,” kata Tari.
“Aku ra mbayangke dadi kowe, Nduk. Tenan lho, wis ra sah nambah meneh,” kata bu Halimah. (Aku gak membayangkan jadi kamu, Nduk. Bener lho, sudah gak perlu nambah lagi)
Ayu hanya tersenyum. “Inggih, mboten. Tegar yang terakhir insya Allah. Ayu berangkat ya, Ma. Ayo Azka, pamit dulu sama Eyang.”
“Yang rajin ya belajarnya, Azka,” pesan bu Halimah.
Ayu kemudian mencium anaknya satu persatu sebelum berangkat. Tempat kerjanya tidak begitu jauh dari rumah. Begitu pula sekolah Azka. Saat waktu istirahat, setelah pelayanan, Ayu akan pulang terlebih dahulu sambil menjemput Azka di sekolahnya.
Pekerjaan administrasi kerap ia bawa pulang dan kerjakan di rumah sambil menunggui anak-anaknya. Begitu setiap hari aktivitas bekerjanya. Sore hari, ia akan buka praktek di klinik. Itupun hanya dari jam lima sore hingga jam tujuh malam, agar ia tetap memiliki waktu bersama anak-anaknya.
Jika mau, Ayu bisa saja membuka praktek sore hingga jam sembilan malam. Hanya saja ia tak ingin mengorbankan hak anak-anaknya. Suaminya tak bisa membersamai mereka setiap hari. Karenanya ia harus hadir untuk mereka agar anak-anaknya tak kehilangan sosok orang tua selama masa keemasan tumbuh kembang mereka.
Ali, sebenarnya ingin sekali agar Ayu bisa ikut dengannya ke Kalimantan. Tapi pekerjaan dan karir Ayu tak mungkin ditinggalkan begitu saja. Apalagi, saat Ali ke Kalimantan, mereka sudah memiliki Azka, dan Ayu sedang mengandung Rayhan. Pendidikan anak-anak juga menjadi pertimbangan bagi Ayu.
Mereka sepakat untuk menjalani long distance marriage dengan segala konsekuensinya. Ayu percaya sepenuhnya pada suaminya itu. Mereka sudah berkomitmen untuk bersama bertumbuh dan saling mensupport karir masing-masing dengan tetap mengutamakan anak-anak mereka.
Tiga bulan sekali, setiap kali mendapatkan cuti, Ali akan selalu pulang. Menghabiskan waktu dua pekannya untuk menebus pekan-pekan yang harus ia lewati jauh dari keluarganya. Baik Ayu maupun Ali, selalu merasa seperti pengantin baru setiap kali mereka bersama. Jarak membuat keduanya selalu mesra menaut rindu.
“Mama, Mama jangan sedih ya,” ucap Azka ketika motor Ayu sampai di depan sekolah anaknya.
“Enggak. Mama kan punya anak sehebat Azka. Kakak belajar yang rajin ya. Nanti Mama jemput setelah Mama selesai memeriksa pasien.”
Ayu berjongkok untuk memeluk anak sulungnya itu. Azka Julian Pratama. Anak pertamanya yang ia lahirkan tujuh tahun yang lalu.
“Iya. Kakak akan tunggu Mama. Mama gak usah buru-buru naik motornya nanti.”
Ayu mengangguk. Ia kerap merasa anaknya tumbuh lebih cepat dari seharusnya. Azka jauh lebih dewasa dari anak seusianya.
“Kakak harus happy ya di sekolah,” Ayu menempelkan telapak tangannya di pipi Azka.
Bocah itu mengangguk. Mencium tangan ibunya dengan takzim. Lalu berbalik memasuki gerbang sekolahnya. Ayu masih menunggu di sana. Ia tersenyum saat Azka menengok ke arahnya dan melambaikan tangannya. Ayu balas melambai. Baru setelah itu ia melanjutkan perjalanannya menuju puskesmas tempat ia bertugas dengan sepeda motornya.
***