Lutte Wandan Putri
Aku melihat cermin dengan senang. Seragam biru cerah dengan rok kotak-kotak ini membuatku terlihat jauh lebih cantik dari biasanya, Ibu juga bilang begitu. Hari ini, Lutte Wandan Putri jauh lebih cantik dengan kuncir kepang yang Ibu buat dan jepitan rambut bergambar stroberi berwarna merah yang menghiasi.
"Ute sekarang udah masuk TK. Nanti di sana ada tante Rasti yang ngajarin Ute. Baik-baik sama temen-temen Ute ya, Nak. Ibu harus kerja." Ibu memberikan nasihat.
"Siap Ibu!" Aku mengangguk dengan semangat. Ibu sudah membelikan tas, pensil warna, kotak pensil, bahkan penghapus dengan wangi permen karet untukku. Semuanya berwarna pink, warna kesukaanku. Hal itu tentunya membuatku semakin bersemangat untuk pergi ke sekolah.
"Kalau Tante Rasti bilang Ute jadi anak baik di sekolah, Ibu bawain coklat kesukaan Ute saat pulang nanti."
"Asik!" Aku berteriak senang. Selama ini Ibu bekerja di tempat penuh jajanan, tetapi Ibu tidak pernah membawa pulang jajanan itu. Ibu bilang uangnya harus ditabung untuk sekolahku. Sepertinya sekarang Ibu sudah lupa.
Aku paling suka saat memasuki tempat Ibu bekerja, dengan ramahnya Ibu menyapa semua orang dengan kalimat ‘Selamat datang, selamat berbelanja’. Senyumannya yang indah menyambut para tamu yang datang ke toko. Ah, Ibu bilang mereka pembeli bukan tamu. Apa pun namanya yang jelas aku menyukai pekerjaan Ibu. Mungkin saat besar aku ingin menjadi sepertinya.
Ibu menggandeng tanganku dan berjalan ke arah kiri, di ujung jalan ada bangunan sekolah yang berisi anak-anak yang memakai seragam sama denganku. Aku tidak sabar untuk bertemu dan bermain bersama teman-teman. Ah, tapi Ibu bilang aku bersekolah untuk belajar, bukan bermain.
“Ras, aku titip Ute ya?” ucap Ibu.
“Tenang Sekar, aku akan bantu jaga Ute.”
Kemudian Ibu berjongkok untuk mensejajarkan tubuhnya dengan tinggiku. “Sayang, Tante Rasti sekarang jadi guru Ute. Ute harus nurut apa kata Bu Guru ya?”
Aku mengangguk mengiyakan perkataan Ibu. Aku harus menurut agar disayang. Ibu bilang kalau anak yang penurut akan disayang oleh semua orang.
Setelah mengantarku dan menemui Tante Rasti, Ibu pergi bekerja. Aku melihat Tante Rasti dengan penuh harap. Aku ingin diperbolehkan untuk bermain bersama yang lain. Mainan berbentuk mangkuk yang berputar-putar itu sepertinya cukup seru.
"Adit! Jangan kencang-kencang! Nanti temen kamu pusing!" teriak Tante Rasti. Ia lalu melepas tas milikku dan menyuruhku untuk bergabung dengan yang lainnya.
Aku mendekati mainan berbentuk mangkuk yang berputar-putar, tapi tiga anak laki-laki yang ada di dalamnya tidak berhenti memutar roda di tengah mereka sehingga mangkuk itu terus berputar. Aku mecoba melihat permainan lain dan menemukan satu ayunan yang sedang kosong. Saat menghampirinya, ayunan itu sudah diisi oleh anak perempuan bersama ibunya. Ibunya kini mendorong ayunan itu dengan pelan, dan anak perempuan itu tersenyum senang. Satu-satunya mainan yang tersisa adalah perosotan. Jadi aku mencoba berbaris di belakang anak-anak yang sedang mengantri untuk naik perosotan.
"Ayo anak-anak baris!" Baru saja aku ingin naik tangga perosotan, Tante Rasti sudah menyuruh kami untuk baris. Rasanya sedih, tapi mungkin aku bisa mencobanya lain kali. Seperti yang Ibu selalu bilang, jika tidak bisa mendapatkan yang kuinginkan, akan selalu ada lain kali.
Aku berlari kecil untuk menghampiri Tante Rasti yang sedang mengatur barisan teman-teman. Beberapa ada yang baris bersama ibu mereka, bahkan ada yang menangis tidak mau baris. Ibu bilang aku tidak boleh seperti itu, kalau aku begitu ibu tidak akan bisa bekerja, dan aku tidak bisa makan lagi nantinya. Tetapi kenapa teman-temanku seperti itu? Apa mereka tidak takut kalau mereka tidak akan bisa makan lagi?
Tante Rasti bertepuk tangan dan mulai bernyanyi sambil menggoyang-goyangkan badannya. Aku pun melakukan hal yang sama karena Tante Rasti menyuruhnya.
"Ikutin Bu guru ya!" kata Tante Rasti dengan semangat. Aku baru ingat kalau ibu menyuruhku untuk memanggil Tante Rasti Bu Guru saat di sekolah. Aku pun mulai bernyanyi mengikuti Bu Guru bersama teman-teman, rasanya menyenangkan.
Setelah acara baris-berbaris, akhirnya aku memasuki ruang kelas yang penuh dengan kertas origami warna-warni. Ada yang berbentuk bebek, burung, pohon, bahkan ikan. Mereka semua terlihat lucu saat menggantung di jendela. Di dalam kelas terdapat banyak meja, dan aku memilih satu yang berada di tengah-tengah.
"Sekarang kita mulai perkenalan ya, Sayang. Yang berani duluan angkat tangan!" suara Bu Guru membuatku yang sibuk mengeluarkan kotak pensil dan buku bersiap.
Satu anak laki-laki dengan senyum cerah dan telinga lebar mengangkat tangannya dengan penuh percaya diri. Bu Guru mengacungkan jempolnya dan menemani anak itu di depan kelas.
"Ayo, kenalin namanya, Sayang," titah Bu Guru.
"Namaku Dirga, Bu!" jawab anak laki-laki itu semangat.
"Dirga tau nama panjangnya?"
Anak laki-laki itu mengangguk sambil menunjukkan giginya yang bagus, tidak kehitaman seperti sebagian anak lain. Pasti dia rajin sikat gigi sepertiku. "Dirgahayu Pamungkas," jawabnya.
"Wah, namanya bagus!"
"Iya dong Bu! Kan Dirga lahir pas tujuh belasan."
Ucapan Dirga membuat anak-anak lain bertepuk tangan, beberapa ada yang kagum karena tanggal ulang tahun Dirga yang sama dengan negara Indonesia.
"Nama Ibunya siapa, Sayang?" tanya Bu Guru.
"Bunda Novi," jawab Dirga.
"Kalau Ayah?"
"Ayah Akbar."
"Ayo siapa lagi yang mau perkenalan dan berani kayak Dirga?" tanya Bu Guru dengan ceria.
Anak-anak lain satu persatu mengacungkan jarinya dengan semangat. Ada juga yang tidak mau, tapi akhirnya mereka tetap maju ke depan.
"Ayo, siapa lagi yang belum?" tanya Bu Guru.
Dirga dan Amar menunjuk ke arahku. Aku sebetulnya ingin saja maju sejak awal, tapi aku takut.
"Ute, sini! Ayo kenalan sama temen-temennya!"
Aku masih diam sampai Bu Guru menghampiri dan menggandengku untuk maju ke depan kelas. "Kenalin diri Sayang, ayo," bisiknya di telingaku.
"Namaku Ute," jawabku singkat.
"Nama panjangnya, Sayang?"
"Lutte Wandan Putri."
"Namanya bagus ya?" tanya Bu guru ke teman-teman yang dijawab anggukan oleh mereka semua.
"Nama Ibu siapa, Sayang?"
"Ibu namanya Asri Sekar."
"Nah, Ute pinter!" puji Bu guru, "sekarang Ute boleh duduk lagi!"
Aku baru saja ingin berjalan bangku berwarna merah milikku, sebelum Dirga berkata, "Ute belum ngenalin nama Ayahnya Bu! Ibu lupa ya?"
Aku berhenti berjalan, teman-teman melihatku penasaran. Setelah itu Bu Guru datang menghampiriku dan menyuruhku untuk duduk di kursi.
"Sekarang kita lanjutin pelajaran pertama kita ya! Nanti Ibu kasih permen yang bisa jawab pertanyaan."
Kata-kata Bu Guru membuat teman-temanku berteriak senang dan melupakan pertanyaan Dirga tentang siapa nama ayahku.
Sejak tadi aku ingin maju ke depan, tetapi aku tidak tau siapa nama ayah, jadi aku memilih untuk diam sampai bu guru memanggil. Sejak kecil aku hanya memiliki Ibu. Aku tidak pernah melihat dan mendengar tentang Ayah, termasuk namanya.
Ayah, Ayah ada di mana? Kapan Ayah pulang dan mengajakku bermain seperti anak-anak yang lain?
Aku pulang ke rumah dan menyetel televisi, di televisi ada film tentang dua orang yang menyebut diri mereka sebagai pacar. Ibu bilang aku tidak boleh mencontoh hal-hal yang ada di televisi. Tidak ada acara yang seru saat ini. Biasanya kalau siang aku menumpang di rumah Tante Aul untuk menonton televisi bersama. Televisi milik Tante Aul sangat besar, salurannya juga banyak. Jadi aku bisa menonton kartun sepuasku.
Tapi lagi-lagi aku ingat perkataan Ibu untuk tidak mengganggu Tante Aul yang sedang membawa bayi di dalam perutnya. Bayi itu sebentar lagi akan keluar dan kehadiranku bisa saja mengganggunya. Jadi Ibu bilang lebih baik aku di rumah dan berlatih menggambar.
Semua kegiatan terasa membosankan sampai akhirnya aku memilih untuk tidur siang. Ibu pasti akan datang untuk membawakanku makan siang sebentar lagi.
"Ute, Sayang." Suara lembut Ibu membangunkanku, Ibu masih dengan seragam kerjanya kini berada di hadapanku dengan sebuah piring di tangannya. "Makan yuk," ajak Ibu sambil membantuku untuk bangun. Aku mengangguk dan pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka sebelum makan bersama Ibu.
"Gimana tadi sekolahnya?" tanya Ibu begitu antusias.
"Tante Rasti baik, temen-temen Ute banyak yang nangis tapi, Bu."
"Ute nggak nangis kan?" tanya Ibu khawatir.
Aku menggeleng dan melahap suapan yang diberikan oleh Ibu. Meski aku sudah bisa makan sendiri, suapan Ibu memang yang terbaik, selain makanku menjadi lebih cepat, rasa makanan yang kumakan pun berubah menjadi sangat enak saat Ibu yang menyuapi.
"Anak pintar," puji Ibu yang membuatku tersenyum. Aku suka saat Ibu memanggilku dengan sebutan anak pintar. Rasanya begitu bahagia.
"Bu?" tanyaku yang membuat Ibu menghentikan suapannya.
"Kenapa Sayang?"
"Tadi perkenalan, dan Ute seharusnya nyebut nama Ibu sama Ayah. Tapi Ute cuma tau nama Ibu."
Ucapanku membuat raut wajah Ibu berubah. Ibu terlihat bersedih.
"Nama Ayah Ute siapa, Bu?"
Ibu diam. Ia hanya tersenyum, tetapi matanya berair seperti ingin menangis.
"Ute salah ya Bu? Ute nakal?" tanyaku bingung.
Ibu malah membawaku ke pelukannya dan memelukku dengan erat. "Ute anak Ibu. Cuma Ibu."
***
Saat berumur lima tahun, aku hanyalah anak polos dan naif yang tidak mengerti akan semua perkataan Ibu.