Aku ingin Ayah

1451 Kata
Tidak terasa, sudah dua bulan aku bersekolah, hariku jadi jauh lebih menyenangkan saat bernyanyi dan belajar bersama teman-teman, apalagi saat pelajaran kesukaanku, menggambar. Aku sedang berada di rumah Tante Aul, menonton televisi dan menemaninya bermain bersama bayi kecilnya. Tante Aul bilang jika dulu juga aku sekecil itu, dan suatu saat aku akan besar seperti Ibu dan juga Tante Aul. Bayi kecil itu dinamai Nindy. Nindy tidak bisa melakukan apa pun selain menangis dan menyusu kepada Tante Aul. Sesekali Om Randi, ayah Nindy ikut bergabung bersama kami dan menggendong Nindy sambil menciumnya dengan begitu sayang. Melihat Om Randi yang mencium Nindy dengan sayang membuatku ingin merasakannya juga. "Ute kenapa?" tanya Tante Aul saat aku menjauhkan Astor kesukaanku yang sebelumnya sedang ku makan. Aku menggeleng pelan. "Tante Aul, Ute mau pulang...." "Ibu belum pulang, nanti Ute sendirian. Sama Tante aja di sini ya? Kan ada baby Nindy sama Om juga di sini." "Iya Ute, bener kata Tante. Sini aja ya sampai Ibu pulang kerja?" bujuk Om Randi. Sepertinya Tante Aul dan Om Randi benar, kalau sendiri di rumah aku akan merasa bosan, jadi aku memilih untuk tinggal. "Tante, Ute boleh nanya?" tanyaku pada akhirnya. "Boleh dong, Sayang." "Dirga punya Bunda sama Ayah. Amar juga punya Papa sama Mama. Kenapa Ute cuma anak Ibu?" Aku kembali mengingat perkataan Ibu saat aku menanyakan nama Ayah. Ibu bilang kalau aku hanya anak Ibu, kenapa aku tidak punya Ayah seperti yang lainnya? Tante Aul membawaku ke pangkuannya, dan mengusap rambutku dengan lembut dan pelan. "Ute punya lebih banyak kok, ada Ibu, ada Tante Aul, ada Bu Guru Rasti, Om Randi, Tante Winda, Paman Zito, Om Yira juga." "Ute juga mau digendong Ayah kayak baby Nindy...” ucapku sedih. Aku menangis. Teman-teman sering menanyakan soal Ayah. Tapi aku bingung bagaimana menjawabnya selain bilang kalau Ayah bekerja, seperti yang Ibu katakan. "Ute bisa panggil Om Randi Ayah," kata Om Randi sambil mengambil alihku dari gendongan Tante Aul. "Beneran boleh Om?" tanyaku tidak percaya. "Iya. Boleh kok. Sekarang Ute mau apa? Mau es krim?" tanya Om Randi yang aku jawab dengan anggukkan. "Ayo kita ke tempat Ibu kerja dan beli Es krim buat Ute!" ajak Om Randi. Om Randi lalu menggendongku dan kami pergi ke luar rumah. Om Randi tinggi, saat aku digendongnya rasanya seperti terbang. Dan aku bisa melihat langit dengan lebih dekat. Aku ingin seperti ini setiap hari. "Kalau besar Ute mau jadi apa?" "Ute mau kayak Ibu." "Kayak Ibu?" "Iya, Ibu kerja di tempat yang banyak jajanannya. Ute suka, Ayah." Om Randi tertawa. Rasanya bahagia bisa memanggilnya dengan sebutan Ayah. Jadi saat Dirga dan Amar bertanya tentang Ayah nanti, aku bisa menjawabnya kalau aku punya Ayah. Mereka selama ini meledekku karena Ayah tidak pernah terlihat. "Selamat datang, selamat berbelanja." Suara Ibu terdengar begitu aku memasuki toko yang memiliki suhu lebih dingin dari luar tadi. "Mas Randi? Ute kenapa?" tanya Ibu sambil menghampiri kami. "Nggak apa-apa kok Sekar, kami cuma mau beli es krim aja." "Ute minta sama Om Randi?" tanya Ibu yang membuatku menggeleng. Aku tidak meminta, tapi Om Randi yang menawarkan. "Nggak kok, Ute nggak minta. Aku sama Aul lagi pengen es krim, jadi sekalian ajak Ute ke sini." Ibu melirikku dan tersenyum, aku tersenyum sambil memamerkan gigi. Aku menuruti Ibu untuk tidak meminta apa pun kepada Tante Aul dan Om Randi. Kalau dibelikan kan tidak minta. "Ute berat Mas, sini biar saya aja yang gendong." Ibu menarikku untuk digendong olehnya, tapi aku menolak. Aku memilih untuk menyangkutkan tanganku ke leher Om Randi. "Mau sama Ayah aja...." "Ayah?" Ibu terkejut. "Sini sama Ibu!" kata Ibu sambil memaksaku untuk beralih ke gendongannya. "Nggak mau! Ute mau sama Ayah!" Om Randi memelukku. Ia menjauhkanku dari jangkauan Ibu. Aku menangis. "Apa maksudnya ini, Mas?" tanya Ibu kebingungan. "Ute butuh seseorang untuk dia panggil Ayah, Sekar. Dan aku nggak keberatan akan itu." Ibu menarikku dari Om Randi dengan gerakan cepat sehingga sangkutan tanganku pada lehernya terlepas. Ibu mencoba menggendongku, tetapi aku terus memberontak dan berteriak. "Ute mau Ayah! Ute mau sama Ayah!" "Ute!" bentak Ibu yang membuatku terdiam. Aku menangis dengan kencang tapi tidak lagi memberontak. "Ute mau Ayah, Bu... Ute mau Ayah...." Ibu menangis. Sepertinya aku salah. Aku cuma ingin Ayah. Kenapa Ibu tidak pernah memanggil Ayah untuk pulang dan bertemu denganku sebentar, agar aku bisa bermain bersama dan digendong olehnya seperti aku digendong oleh Om Randi. Om Randi mengambil alih tubuhku dari gendongan Ibu. Setelah itu Ibu berjongkok dan menyembunyikan wajah dengan tangannya. "Ute mau Ayah...." pintaku sambil terisak. "Sekar, Ute butuh sosok Ayah. Kalau memang Ayahnya nggak ada, Ute bisa menganggap aku sebagai Ayahnya," kata Om Randi ke Ibu. "Mas, tapi─" Perkataan Ibu terpotong oleh seorang Paman pembeli yang masuk ke dalam toko. Dalam tangisnya Ibu masih berusaha menyapa pelanggan itu dengan kalimatnya yang biasa. Paman itu melihat ke arahku sebelum menghilang di balik rak-rak tinggi. "Ayah... Ute mau Ayah...." rengekku. "Mas, maaf aku harus kerja sebentar. Tolong titip Ute sebentar ya," ucap Ibu sambil mengusap air matanya dan kembali ke balik meja tempat pembayaran. Om Randi membawaku ke tempat es krim dan menyuruhku untuk memilih. Aku menggeleng dan memilih untuk menyembunyikan wajahku di kaos Om Randi. Aku hanya ingin bertemu Ayah, kenapa Ibu tidak pernah mengabulkannya? Sebuah sentuhan di tanganku membuat aku menoleh, Paman tadi memberikanku sebuah bungkusan yang bergambar koala dengan isi permen kapas berwarna merah muda di dalamnya. "Ini buat kamu." Tangaku bergerak untuk mengambil permen kapas itu, dan Paman itu lalu menghadiahkan sebuah usapan di kepalaku. Kemudian Paman itu menghampiri Ibu di meja pembayaran. "Mbak, pembersih mulut satu sama permen kapasnya dua ya. Yang satu udah anak Mbak pegang, satunya lagi bisa disimpan kalau anak Mbak nangis lagi nanti. "   *** Hari ini entah mengapa Ibu pulang lebih awal. Tapi wajah Ibu terlihat memerah dan matanya pun bengkak. Apa Ibu habis menangis? Apa ini karena aku yang meminta Ayah tadi? "Bu...." tegurku dengan pelan. Aku menarik sedikit daster yang dikenakannya, dan Ibu masih diam. "Ibu, Ute salah ya?" tanyaku sambil menangis. "Ibu marah ya sama Ute?" Ibu masih terdiam, tapi air matanya mengalir, Ibu mengangis. Hanya Ibu satu-satunya yang aku punya saat malam hari. Aku tidak bisa mengunjungi Tante Aul atau pun Bu Guru Rasti dan Tante Winda. Mereka pasti sudah tidur. Ibu bilang kalau malam semua orang sudah tertidur, makanya aku tidak boleh keluar. Aku takut Ibu marah dan pergi dan meninggalkanku sendirian malam ini. "Ibu... Ibu jangan marah...." rengekku sambil kembali menarik bajunya. Ibu terlihat menghela napas panjang dan menghapus air matanya sebelum berjongkok dan mensejajarkan dirinya denganku. "Ibu nggak marah, Sayang," ucapnya sambil menghapus air mataku. Aku menghambur ke pelukannya dan menangis. Usapannya pada punggung membuatku merasa lebih baik. “Ute udah makan?” tanya Ibu. Aku menggeleng sambil terisak pelan. Ibu menggendongku dan beranjak ke dapur. Dengan satu tangan Ibu menyiapkan telur dadar kesukaanku. Selama Ibu memasak, aku hanya menyandarkan kepalaku di bahunya. "Kalau Ibu nggak suka Ute panggil Om Randi, Ayah. Ute nggak akan manggil Om Randi Ayah lagi." Aku berjanji sambil menunjukkan jari telunjuk dan tengahku kepada Ibu. Ibu hanya tersenyum kecil sebelum menurunkanku kembali. "Ute Sayang, kita makan dulu ya? Ute siapin air minum kayak biasanya. Ibu takut telurnya gosong. Oke?" Tanpa menunggu perintah kedua, aku menuruti Ibu untuk mengambil teko kecil yang terisi air separuhnya, dan membawanya ke depan, tempat kami biasa menonton televisi sambil makan berdua. Setelahnya kami pun makan bersama. Ibu menyuapiku dengan perlahan, sambil sesekali menyuap untuk dirinya sendiri. "Tadi di sekolah Ute ngapain?" "Bu Guru ngajarin lagu baru sama doa baru, terus tadi Ute ngegambar." "Ute gambar apa?" "Gambar rumah, Bu." "Coba mana buku gambarnya? Ibu mau lihat." Aku pun berlari kecil ke dalam kamar, membuka tas gambar barbie berwarna pink milikku dan mengeluarkan buku gambar bergambar winnie the pooh dari dalamnya. Aku memberikan buku gambar itu ke Ibu yang ia terima dengan senyuman. Sementara Ibu membuka buku gambarku, aku mencoba menyuapkan nasi dengan telur yang banyak ke dalam mulut. "Gambhar Uthe baghus khan ya Bhu? (Gambar Ute bagus kan ya Bu?)" kataku dengan mulut penuh makanan. Ibu melirikku dengan ekor matanya yang membuatku sadar bahwa aku sudah melakukan kesalahan karena berbicara dengan mulut penuh. Aku pun mengunyah makananku sampai habis dan meminum air di gelas sampai separuhnya. "Ini apa? Coba jelasin ke Ibu," kata Ibu sambil menunjuk gambarku. "Ini rumah, ini matahari, ini burung, nah yang ini Ute, ini Ibu, dan yang satunya Ayah." "Bu guru nyuruh gambar Ayah?" tanya Ibu, sepertinya ia kesal. Aku menggeleng sebagai jawaban. "Terus kenapa Ute gambar?" "Kata Dirga, di rumah itu seharusnya ada Ibu, Ayah sama Ute. Kayak Dirga sama Ibu Novi dan Ayah Akbar. Jadi Ute ikut gambar Ayah." ***   Saat itu, aku bahkan tidak menyadari bahwa Ibu adalah orang yang paling terluka dengan perkataan dan pertanyaan polos yang aku lontarkan
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN