"Anak-anak bulan depan kita mau pergi wisata ke Taman Safari! Kalian bisa lihat binatang secara langsung di sana. Ada Gajah, Harimau, Badak dan masih banyak binatang lainnya." Bu guru berteriak di depan kelas, dalam waktu singkat kelas berubah menjadi ramai.
"Beruang ada nggak, Bu?"
"Ada."
"Buaya, Bu, Buaya?"
"Buaya juga ada."
"Ikan ada nggak Bu?"
"Kalau lihat ikan di pasar juga ada, Adi bisa lihat sama Mama nggak usah jauh-jauh ke Taman Safari."
"Di rumah Amar juga ada ikan!" sahut Amar dengan kencang.
"Rumah Dirga juga! Ikan cupang punya Abang Rasyid banyak noh!"
Bu guru tertawa sambil menggelengkan kepalanya. Sementara kami mulai sibuk menebak binatang apa saja yang bisa kami temui di sana. "Besok bilang sama Ibu, Mama, atau Bunda kalian untuk dateng ke sini ya!" kata Bu guru dengan semangat.
"Ummi nggak dibilangin nih, Bu?" tanya Arsyad.
"Sama aja, Sayang. Beda nyebutnya aja. Mau Ummi, Amma, Ibu, Bunda, Mama, Mami pokoknya besok suruh ke sini ya!" jelas Bu guru sambil tersenyum.
"Asik jalan-jalan!" teriak Dirga.
Sementara teman-temanku sibuk berceloteh tentang rencana jalan-jalan kami, aku masih diam bingung memikirkan apakah Ibu bisa datang besok. Ibu kan harus kerja setiap hari.
"Dian, Mama kamu besok dateng nggak?" tanyaku pada Dian, salah satu temanku yang Ibunya bekerja seperti Ibuku.
"Aku nggak tau Ute. kalau nggak Mama, Bapak yang ke sekolah. Ute gimana? Ibu Ute dateng?"
Aku menggeleng pelan. Aku tidak tau apa jawabannya karena memang aku harus bertanya dulu kepada Ibu. Mungkin nanti aku akan bilang pada Bu Guru. Bu Guru kan teman Ibuku.
"Ayo siapa yang sudah hapal hapalan doa bercermin kemarin? Ibu punya hadiah buat yang udah hapal. Habis itu baru kita pulang."
"Ute hapal Bu!" sahutku dengan cepat. Aku maju dengan langkah terburu tapi Dirga menghalangi langkahku dengan kakinya hingga aku terjatuh.
"Sakit!" pekikku sambil melihat lututku yang memerah. Aku menangis. Bu guru menghampiriku dan mengomeli Dirga yang tidak hati-hati dalam meluruskan kakinya hingga aku terjatuh. Bu guru menyuruh Dirga untuk meminta maaf kepadaku yang masih menangis. “Dirga, ayo minta maaf, Ute jadi jatuh karena Dirga nggak hati-hati.”
Dirga akhirnya mengulurkan tangannya dan meminta maaf kepadaku. "Maaf ya Ute, tadi Dirga pegel. Jadi nggak sengaja ngelurusin kaki. Ute sakit ya?"
Aku masih terisak, tetapi Bu guru menautkan tanganku dengan tangan Dirga. "Nah, udah maafan kan sekarang. Ute masih mau hapalannya nggak?" tanya Bu guru yang aku jawab dengan gelengan. Akhirnya Bu guru membantuku kembali ke kursi.
"Bu! Dirga mau hapalan!" kata Dirga sambil maju ke depan.
Apa Dirga sengaja supaya dia yang mendapat hadiah dari Bu guru?
Dirga akhirnya melakukan hapalan doa bercermin dengan baik, dan Bu guru memberikannya satu pak kertas origami warna-warni yang indah. Padahal aku ingin sekali kertas origami. Mungkin aku harus bilang kepada Ibu nanti.
Aku masih terus mengucek mataku yang berair sampai menyadari ada satu pak kertas origami di mejaku, dan Dirga kini sedang berdiri di sampingku. "Kertasnya buat Ute aja, kan Ute yang harusnya hapalan. Maafin Dirga ya Ute!"
Aku mengangguk pelan dan memeluk kertas origami itu sambil tersenyum. Ternyata Dirga baik. Bu Guru tersenyum ke arah kami dan mulai memimpin doa pulang sebelum membubarkan kelas.
Seperti biasa, saat pulang aku menunggu Bu Guru Rasti selesai beres-beres, dan aku akan diantar ke rumah Tante Aul dan Om Randi setelahnya.
"Ute tunggu sebentar ya, Tante Rasti mau ketemu Ibu RW yang rumahnya di samping sekolah. Tunggu di sini nggak apa-apa kan? Masih ada temen-temen yang main juga," ucap Bu Guru Rasti.
Aku mengangguk dan mematuhi perintah Bu Guru untuk bergabung bersama teman-teman yang lain. Ia lalu pergi meninggalkan sekolah. Karena mainan perosotan penuh, aku memilih untuk naik ayunan yang kosong.
"Bapaknya si Ute kemana sih?" tanya Ibu-Ibu yang sedang berdiri menunggui anaknya yang sedang bermain.
Ah, mereka membicarakanku. Lagi-lagi tentang Ayah.
"Nggak tau. Dari awal nggak pernah keliatan."
"Ibunya janda?"
"Bukan. Masa sih janda? Muda banget, mana cakep lagi."
"Kata anaknya sih bapaknya kerja. Kerja apaan kali nggak balik-balik gitu."
"Pelaut kali, atau tentara?"
"Eh, di mana-mana pelaut juga pulang! Ini dari si Ute masih bayi merah sampe segede gini Bapaknya nggak pernah nongol sekali pun!"
"Apa anak yatim?"
"Masa sih? Kalau anak yatim mah nggak mungkin anaknya bilang kalau Bapaknya kerja dong, Bu."
"Gue denger gosip sih nih ye, tapi jangan bilang-bilang lo pade ye!"
"Kenapa emangnya, Bu?"
"Katanya sih nih ye, gue denger dari si Serin yang tetangga sebelah rumahnye, si Ute itu anak haram."
"Hush! Ibu ngomongnya ya. Masa sih? Mbak Sekar kelihatannya perempuan baik-baik."
"Ya nggak ada yang tau lah, Bu, tampang kan nggak menjamin kelakuan seseorang."
"Kasian tapi ya, anak segede gitu nggak ada Bapaknya. Mana perempuan lagi."
"Ya kalau emaknya ngegodain laki orang sampe hamil di luar nikah terus nggak dinikahin sampe sekarang sih bukan salah anaknya, salah emaknya!"
"Udah yuk ah Bu, kita pulang aja. Masih pagi ngegibahin orang. Ada anaknya lagi, kasian."
"Anaknya paling nggak ngerti sama yang diomongin."
Setelah Ibu-ibu itu pergi, aku hanya sendirian di sekolah sampai Bu Guru Rasti kembali. Ibu-ibu itu selalu saja membicarakanku dan menyebutku dengan anak haram. Sebenarnya apa arti dari sebutan itu?
"Loh? Ute sendiri? Kenapa nggak teriak panggil Tante tadi?" tanya Bu guru khawatir. Bu Guru mencopot tasku dan memegang tanganku untuk membantuku turun dari ayunan.
"Bu, Ibu kan pinter. Ute boleh nanya nggak?"
"Ute mau nanya apa emang?"
"Anak haram itu apa sih, Bu?"
Wajah Bu Guru tiba-tiba berubah menjadi tidak enak.
***
Ibu guru tidak menjawab pertanyaanku, ia bilang tidak ada yang namanya anak haram, dan Bu guru terus menanyaiku dari mana aku mendengar kalimat itu. Aku hanya menjawab kalau aku mendengar itu dari ibu-ibu yang ada tadi. Bu Guru berdecak kesal dan menyuruhku untuk tidak membahas hal itu lagi.
Apa aku bertanya kepada Ibu saja? Mungkin Ibu lebih tau dari Bu Guru.
"Ute nanti bobok siangnya di rumah Tante Aul aja ya?" kata Bu Guru yang kujawab dengan anggukan. Bu guru Rasti terlihat gelisah, sepanjang jalan ia menengok kanan kiri seolah memastikan sesuatu.
Sesampainya di rumah Tante Aul, aku mencuci kaki, tangan dan juga muka supaya bisa bermain dengan baby Nindy. Tapi ternyata Nindy sedang tidur, jadi aku tidak bisa bermain dengannya.
"Ute ikut bobok ya, ke kamar biasa, nanti kan Ibu pulang anter makan siang," kata Tante Aul yang aku jawab dengan anggukkan. Aku pun memilih untuk tidur di kamar tempat biasa aku tidur di rumah Tante Aul.
Suara ribut di luar membuatku terbangun, sepertinya Ibu sudah datang karena aku mendengar suara Ibu.
"Sekar! Ute udah besar. Kamu mau jawab apa kalau seandainya Ute nanya itu ke kamu?"
"Cepat atau lambat Ute akan nanya soal keberadaan Ayahnya."
"Cukup Rasti, Aul! Ute cukup punya aku!"
"Kamu egois Sekar! Itu menurut kamu! Kamu nggak tau betapa menderitanya Ute saat lihat temen-temennya dijemput sama Ayahnya! Aku yang menyaksikan itu semua dengan mataku!"
"Kalian nggak ngerti!"
"Kami nggak akan pernah mengerti kalau kamu nggak bilang apa pun soal Ayah Ute, Sekar!"
Aku membuka pintu dan melihat Bu Guru Rasti, Tante Aul dan juga Ibu yang kaget saat melihatku. Ibu langsung pergi menuju kamar mandi dengan wajah yang memerah, seperti menangis. Bu Guru Rasti lalu menghampiriku dan menggendongku.
"Ute udah bangun, Sayang?" tanya Bu Guru Rasti yang aku jawab dengan anggukan.
"Ibu kenapa, Tante?" tanyaku sambil melihat ke arah kamar mandi yang masih tertutup.
"Ibu sakit perut Ute," jawab Tante Aul yang membuatku bersedih.
"Ibu sakit?" ulangku yang dijawab anggukkan oleh Bu Guru Rasti. Tidak lama setelahnya Ibu keluar dari kamar mandi dan mengambilku dari gendongan Bu Guru Rasti.
"Aku pulang dulu, Makasih udah jagain Ute." Ibu mengambil tas dan juga sepatuku dan pergi keluar rumah Tante Aul. Meninggalkan Bu Guru Rasti yang terdiam di balik pagar. Aku hanya melambaikan tanganku pelan ke Bu Guru sebagai salam perpisahan, tetapi Bu Guru Rasti malah menangis.
"Ibu sakit apa?" tanyaku sambil melihat wajah Ibu yang terlihat lelah.
"Ibu cuma sakit perut, Ute sering kan sakit perut?" tanya Ibu yang aku jawab dengan anggukkan.
"Bu...," gumamku sambil memeluk leher Ibu.
"Kenapa, Sayang?"
"Besok Ibu disuruh ke Sekolah. Katanya Ute mau ke Taman Safari buat lihat binatang. Ibu mau dateng kan Bu?"
"Ibu izin dulu ya, Ibu usahain dateng buat Ute."
Suara ceklek yang khas membuatku menengok, ternyata aku sudah sampai rumah. Ibu merapikan sepatu milikku di rak. Saat itu aku melihat Tante Serin lewat depan rumah sambil melihat ke arah kami dengan wajah menyeramkannya. Aku pun jadi ingat mengenai perkataan ibu-ibu di sekolah tadi.
Katanya sih nih ye, gue denger dari si Serin yang tetangga sebelah rumahnye, si Ute itu anak haram.
"Ibu, Anak haram itu apa?" spontan aku bertanya pertanyaan yang Bu Guru Rasti belum jawab.
Ibu diam. Ia menurunkanku dari gendongannya secara tiba-tiba dan berjongkok untuk mensejajarkan tubuhnya denganku.
"Ute nggak boleh nanya itu lagi, sama Ibu, Bu Guru, temen Ute atau siapa pun. Oke?"
"Kenapa, Bu?"
"Karena itu pertanyaan buruk. Ute nggak boleh nanya gitu."
"Kata Ibu yang tadi, Ute anak haram, jadi Ute buruk?"
Ibu menarikku ke dalam rumah dengan tarikan yang cukup kencang. Ibu terlihat sangat marah saat ini. Bahkan pintu rumah sedikit terbanting akibat Ibu menutupnya dengan sedikit kasar.
"Ibu! Tangan Ute sakit!"
Ibu menarikku ke dalam kamar dan menutupnya sementara ia berada di luar kamar. Kemudian aku mendengar suara pintu yang terkunci. Aku mencoba membuka pintu kamar, tapi tidak bisa.
"Ibu buka!"
Tidak ada jawaban dari Ibu yang membuat aku takut.
"Ibu buka!" jeritku sambil menangis. Aku menggedor pintu dengan sekuat tenaga. Tapi Ibu tidak membukakan pintu. "Ibu buka! Ute takut!"
"Ute harus janji jangan nanya itu lagi sama siapa pun!" suara Ibu terdengar dari luar.
"Ute janji bu! Ute janji! Ibu buka pintunya!" teriakku sekuat tenaga.
Ibu lalu membuka pintu kamar yang membuatku langsung memeluknya. Aku menangis sesenggukan, begitupun dengan Ibu. Ibu juga menangis.
"Tolong janji sama Ibu ya Ute...."
***
Nyatanya, aku tidak pernah menepati janji itu dan terus bertanya lagi dan lagi, tanpa menyadari jika setiap kali aku bertanya hal itu hanya menambah luka pada Ibu. Yang bisa aku lakukan hanya merengek dan merengek…